Musik sebagai Alat Dakwah Syaikh Maulana Makdum Ibrahim (2)
loading...
A
A
A
Syaikh Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok dan anak buahnya hanya mempergunakan tambang dan gending. Dharma dan irama Mocopat.
Buku "Kisah dan Ajaran Wali Sanga" karya H. Lawrens Rasyidi menceritakan, suatu ketika, rombongan santri dipimpin Sunan Bonang melintasi hutan jati di kawasan Tuban , Jawa Timur. Tiba-tiba mereka dicegat gerombolan begal yang dipimpin Kebondanu . Kepala rombongan dipaksa menyerahkan uang dan harta yang dibawa.
“Kami cuma membawa gamelan,” kata Sunan Bonang yang memimpin rombongan santri.
“(Penampilan) Kalian bukan wiyaga (pemain gamelan jawa)! Coba kalian mainkan gamelan itu. Kalau kalian bohong, bukan hanya harta kalian tapi nyawa kalian juga kami cabut!” bentak Kebondanu. ( )
Rombongan mulai memainkan perangkat musik Jawa itu. Sang pemimpin rombongan melantunkan suluk dalam macapat dengan merdu. Suluk itu berisi pesan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, atau dandanggula.
Suluk itu begitu menggetarkan hati yang mendengar. Tak terkecuali para garong. Kaki Kebondanu seketika lemas, tubuhnya menggelosor ambruk ke tanah.
“Tobaaat….ampun. Hentikan tembang kalian!” teriak Kebondanu.
Musik masih terus dimainkan.
“Tidak ada yang salah dengan tembang ini. Kalian mungkin terlalu banyak punya niat buruk dalam hidup,” kata Sunan Bonang.
“Saya nyerah….saya nurut perintah kisanak,” kata Kebondanu dengan tubuh menggeliat-geliat di atas tanah seperti cacing kepanasan. ( )
Musik pun dihentikan. Kebondanu bernafas lega. Dengan tubuh yang masih lemah dia bersimpuh dan memohon kepada Sunan Bonang untuk bersedia menjadi guru dan membimbing jalan hidupnya. "Tapi..." Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
“Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu!” ujar Sunan Bonang.
“Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung lagi banyaknya,” kata Kebondanu dengan ragu. “Kami sudah sering merampok, membunuh dan melakukan tindak kejahatan lainnya.”
“Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja,” kata Sunan Bonang. “Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan Penerima tobat.”
“Walau dosa kami setinggi gunung?” anya Kebondanu. “Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir di laut.”
Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian pula anak buahnya.
Sejak saat itu Kebondanu menjadi pengikut setia dan santri yang taat. ( )
Sunan Bonang memang dikenal sebagai penyebar Islam yang tak pernah lama menetap di satu wilayah. Beliau lebih sering mengembara dalam menyebarkan ajaran Islam di Tanah Jawa. Wajar jika muridnya banyak tersebar di berbagai wilayah.
Kisah Kebondanu hanyalah salah satunya. Tak kalah penting juga peristiwa pencegatan Sunan Bonang oleh Berandal Lokajaya . ( )
Buku "Kisah dan Ajaran Wali Sanga" karya H. Lawrens Rasyidi menceritakan, suatu ketika, rombongan santri dipimpin Sunan Bonang melintasi hutan jati di kawasan Tuban , Jawa Timur. Tiba-tiba mereka dicegat gerombolan begal yang dipimpin Kebondanu . Kepala rombongan dipaksa menyerahkan uang dan harta yang dibawa.
“Kami cuma membawa gamelan,” kata Sunan Bonang yang memimpin rombongan santri.
“(Penampilan) Kalian bukan wiyaga (pemain gamelan jawa)! Coba kalian mainkan gamelan itu. Kalau kalian bohong, bukan hanya harta kalian tapi nyawa kalian juga kami cabut!” bentak Kebondanu. ( )
Rombongan mulai memainkan perangkat musik Jawa itu. Sang pemimpin rombongan melantunkan suluk dalam macapat dengan merdu. Suluk itu berisi pesan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, atau dandanggula.
Suluk itu begitu menggetarkan hati yang mendengar. Tak terkecuali para garong. Kaki Kebondanu seketika lemas, tubuhnya menggelosor ambruk ke tanah.
“Tobaaat….ampun. Hentikan tembang kalian!” teriak Kebondanu.
Musik masih terus dimainkan.
“Tidak ada yang salah dengan tembang ini. Kalian mungkin terlalu banyak punya niat buruk dalam hidup,” kata Sunan Bonang.
“Saya nyerah….saya nurut perintah kisanak,” kata Kebondanu dengan tubuh menggeliat-geliat di atas tanah seperti cacing kepanasan. ( )
Musik pun dihentikan. Kebondanu bernafas lega. Dengan tubuh yang masih lemah dia bersimpuh dan memohon kepada Sunan Bonang untuk bersedia menjadi guru dan membimbing jalan hidupnya. "Tapi..." Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
“Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu!” ujar Sunan Bonang.
“Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung lagi banyaknya,” kata Kebondanu dengan ragu. “Kami sudah sering merampok, membunuh dan melakukan tindak kejahatan lainnya.”
“Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja,” kata Sunan Bonang. “Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan Penerima tobat.”
“Walau dosa kami setinggi gunung?” anya Kebondanu. “Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir di laut.”
Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian pula anak buahnya.
Sejak saat itu Kebondanu menjadi pengikut setia dan santri yang taat. ( )
Sunan Bonang memang dikenal sebagai penyebar Islam yang tak pernah lama menetap di satu wilayah. Beliau lebih sering mengembara dalam menyebarkan ajaran Islam di Tanah Jawa. Wajar jika muridnya banyak tersebar di berbagai wilayah.
Kisah Kebondanu hanyalah salah satunya. Tak kalah penting juga peristiwa pencegatan Sunan Bonang oleh Berandal Lokajaya . ( )
(mhy)