Ketika Tumpukan Mayat Muslim Bergelimpangan di Sekitar Kaki Unta Siti Aisyah
loading...
A
A
A
Tanpa membuang-buang waktu Ali bin Abu Thalib r.a. memimpin serbuan ke tengah pasukan "Jamal". Setelah melakukan serangan beberapa saat lamanya, menangkis dan memukul musuh, Ali bin Abu Thalib kembali ke induk pasukan.
Sahabat-sahabat dan putra-putranya berkerumun. "Ya Amirul Mukminin," desak Al Asytar, "cukuplah kami saja yang melaksanakan tugas itu!"
Desakan Al Asytar itu tak ditanggapi oleh Ali bin Abu Thalib. Menoleh saja pun tidak, darahnya masih mendidih. Sedemikian meluapnya sampai semua orang yang ada di sekitarnya ketakutan. Pandangan matanya yang berapi-api tetap mengarah ke pasukan musuh.
Tak lama kemudian ia menyerahkan kembali panji pasukan kepada putranya, Muhammad Al Hanafiyah. Segera ia maju lagi menyerang musuh untuk kedua kalinya. Dengan gagah berani Ali bin Abu Thalib menerjang pasukan lawan sambil memainkan pedang dengan gesit dan cekatan.
Anggota-anggota pasukan Thalhah yang menjadi sasaran serangannya lari terbirit-birit menyelamatkan diri. Banyak yang mati terbunuh di ujung pedangnya. Tanah menjadi merah dibasahi darah.
Selesai melancarkan serangan kedua, Ali bin Abu Thalib kembali lagi ke induk pasukan. "Kalau anda sampai gugur," puji sahabatnya, setelah Ali bin Abu Thalib r.a. berada di tengah barisannya, "barangkali akan lenyap agama Islam. Berhentilah, cukup kami saja yang menyerang dan bertempur!"
"Demi Allah," jawab Ali bin Abu Thalib r.a. atas pujian sahabat-sahabatnya itu. "Aku sangat tidak setuju dengan pikiran kalian. Yang kuinginkan bukan lain hanyalah keridhoan Allah dan kampung akhirat!"
Selanjutnya kepada Muhammad Al Hanafiyah ia berkata: "Seperti akulah seharusnya engkau berbuat!"
Muhammad Al Hanafiyah tidak menjawab sepatah kata pun ucapan ayahnya itu. Dari orang-orang yang berkerumun di sekitar Ali bin Abu Thalib r.a. terdengar sura bergumam: "Siapa orangnya yang sanggup berbuat seperti Amirul Mukminin!"
Ketika sedang sengit-sengitnya pertempuran, unta yang di kendarai Sitti Aisyah r.a. terputar-putar sedemikian rupa seperti penggilingan gandum. Pasukan kedua belah pihak berjubel dan saling mendesak beradu senjata di sekitarnya. Unta sampai meringkik-ringkik keras sekali karena tali kekangnya ditarik ke sana ke mari.
Pasukan Ali bin Abu Thalib r.a. makin maju menerjang untuk lebih mendekat kepada unta. Gerakan pasukan Ali bin Abu Thalib terhambat tumpukan manusia yang berada di sekelilingnya. Setiap anggota pasukan yang mati, penggantinya datang berlipat ganda.
Melihat situasi itu Ali bin Abu Thalib berteriak memberi perintah: "Celakalah kalian! Tembak saja unta itu dengan panah! Bantailah unta celaka itu!"
Unta yang dikendarai Sitti Aisyah r.a. itu segera dihujani anak-panah. Tetapi tak sebuah pun anak-panah yang menembus, karena di sekujur badannya dipasang tijfaf. Semua anak panah menancap pada tijfaf sampai unta itu kelihatan seperti seekor landak raksasa.
Terdengar lagi suara orang berteriak: "Hai penuntut balas darah Utsman!" Yang berteriak ialah Al Azd dan Dhabbah. Kalimat itu diulang-ulang dan akhirnya menjadi semboyan yang diteriakkan pasukan Thalhah.
Semboyan pasukan Thalhah itu dijawab Ali bin Abu Thalib r.a. dengan semboyan: "Hai Muhammad!" Nama putera Ali bin Abu Thalib r.a. yang memegang panji pasukan.
Pasukan Ali bin Abu Thalib r.a. segera mengikuti semboyan yang diserukan Ali bin Abu Thalib r.a.
Pasukan kedua belah pihak semakin tambah bergumul mengadu senjata. Peristiwa tersebut terjadi pada hari kedua perang Unta. Semboyan yang diserukan Ali bin Abu Thalib ternyata besar sekali pengaruhnya di kalangan pasukannya, sehingga mereka berhasil menggoyahkan sendi-sendi kekuatan lawan.
Pasukan Thalhah makin payah menghadapi tekanan-tekanan berat yang terus-menerus dilancarkan pasukan Ali bin Abu Thalib. Namun demikian mereka sama sekali tidak berusaha melarikan diri atau meletakkan senjata.
Pasukan yang makin lama makin mengecil itu kemudian bergerak memusat di sekitar unta yang ditunggangi Sitti Aisyah. Mereka telah bertekad, pasukan Ali bin Abu Thalib baru akan berhasil merebut Sitti Aisyah sesudah melewati mayat-mayat mereka.
Perlawanan yang diberikan oleh pasukan Makkah dan Bashrah itu sungguh dahsyat sekali. Nyawa, sudah tidak mereka pedulikan. Dengan semangat berkobar-kobar penuh fanatisme mereka rela menghadapi maut. Demikian banyaknya korban sehingga di sekitar unta yang besar itu bergelimpangan tumpuk-menumpuk manusia yang luka dan mati.
Sahabat-sahabat dan putra-putranya berkerumun. "Ya Amirul Mukminin," desak Al Asytar, "cukuplah kami saja yang melaksanakan tugas itu!"
Desakan Al Asytar itu tak ditanggapi oleh Ali bin Abu Thalib. Menoleh saja pun tidak, darahnya masih mendidih. Sedemikian meluapnya sampai semua orang yang ada di sekitarnya ketakutan. Pandangan matanya yang berapi-api tetap mengarah ke pasukan musuh.
Tak lama kemudian ia menyerahkan kembali panji pasukan kepada putranya, Muhammad Al Hanafiyah. Segera ia maju lagi menyerang musuh untuk kedua kalinya. Dengan gagah berani Ali bin Abu Thalib menerjang pasukan lawan sambil memainkan pedang dengan gesit dan cekatan.
Anggota-anggota pasukan Thalhah yang menjadi sasaran serangannya lari terbirit-birit menyelamatkan diri. Banyak yang mati terbunuh di ujung pedangnya. Tanah menjadi merah dibasahi darah.
Selesai melancarkan serangan kedua, Ali bin Abu Thalib kembali lagi ke induk pasukan. "Kalau anda sampai gugur," puji sahabatnya, setelah Ali bin Abu Thalib r.a. berada di tengah barisannya, "barangkali akan lenyap agama Islam. Berhentilah, cukup kami saja yang menyerang dan bertempur!"
"Demi Allah," jawab Ali bin Abu Thalib r.a. atas pujian sahabat-sahabatnya itu. "Aku sangat tidak setuju dengan pikiran kalian. Yang kuinginkan bukan lain hanyalah keridhoan Allah dan kampung akhirat!"
Selanjutnya kepada Muhammad Al Hanafiyah ia berkata: "Seperti akulah seharusnya engkau berbuat!"
Muhammad Al Hanafiyah tidak menjawab sepatah kata pun ucapan ayahnya itu. Dari orang-orang yang berkerumun di sekitar Ali bin Abu Thalib r.a. terdengar sura bergumam: "Siapa orangnya yang sanggup berbuat seperti Amirul Mukminin!"
Ketika sedang sengit-sengitnya pertempuran, unta yang di kendarai Sitti Aisyah r.a. terputar-putar sedemikian rupa seperti penggilingan gandum. Pasukan kedua belah pihak berjubel dan saling mendesak beradu senjata di sekitarnya. Unta sampai meringkik-ringkik keras sekali karena tali kekangnya ditarik ke sana ke mari.
Pasukan Ali bin Abu Thalib r.a. makin maju menerjang untuk lebih mendekat kepada unta. Gerakan pasukan Ali bin Abu Thalib terhambat tumpukan manusia yang berada di sekelilingnya. Setiap anggota pasukan yang mati, penggantinya datang berlipat ganda.
Melihat situasi itu Ali bin Abu Thalib berteriak memberi perintah: "Celakalah kalian! Tembak saja unta itu dengan panah! Bantailah unta celaka itu!"
Unta yang dikendarai Sitti Aisyah r.a. itu segera dihujani anak-panah. Tetapi tak sebuah pun anak-panah yang menembus, karena di sekujur badannya dipasang tijfaf. Semua anak panah menancap pada tijfaf sampai unta itu kelihatan seperti seekor landak raksasa.
Terdengar lagi suara orang berteriak: "Hai penuntut balas darah Utsman!" Yang berteriak ialah Al Azd dan Dhabbah. Kalimat itu diulang-ulang dan akhirnya menjadi semboyan yang diteriakkan pasukan Thalhah.
Semboyan pasukan Thalhah itu dijawab Ali bin Abu Thalib r.a. dengan semboyan: "Hai Muhammad!" Nama putera Ali bin Abu Thalib r.a. yang memegang panji pasukan.
Pasukan Ali bin Abu Thalib r.a. segera mengikuti semboyan yang diserukan Ali bin Abu Thalib r.a.
Pasukan kedua belah pihak semakin tambah bergumul mengadu senjata. Peristiwa tersebut terjadi pada hari kedua perang Unta. Semboyan yang diserukan Ali bin Abu Thalib ternyata besar sekali pengaruhnya di kalangan pasukannya, sehingga mereka berhasil menggoyahkan sendi-sendi kekuatan lawan.
Pasukan Thalhah makin payah menghadapi tekanan-tekanan berat yang terus-menerus dilancarkan pasukan Ali bin Abu Thalib. Namun demikian mereka sama sekali tidak berusaha melarikan diri atau meletakkan senjata.
Pasukan yang makin lama makin mengecil itu kemudian bergerak memusat di sekitar unta yang ditunggangi Sitti Aisyah. Mereka telah bertekad, pasukan Ali bin Abu Thalib baru akan berhasil merebut Sitti Aisyah sesudah melewati mayat-mayat mereka.
Perlawanan yang diberikan oleh pasukan Makkah dan Bashrah itu sungguh dahsyat sekali. Nyawa, sudah tidak mereka pedulikan. Dengan semangat berkobar-kobar penuh fanatisme mereka rela menghadapi maut. Demikian banyaknya korban sehingga di sekitar unta yang besar itu bergelimpangan tumpuk-menumpuk manusia yang luka dan mati.