Perempuan dan Pentingnya Ilmu Syar'i
loading...
A
A
A
Di zaman yang serba digital saat ini, menuntut ilmu ini terasa mudah dilakukan. Setiap perempuan bisa mengakses berbagai situs tentang ilmu-ilmu agama. Dengan ilmu syar’i niscaya seorang perempuan muslimah akan istiqamah dan tegar, begitu pula ketika ia telah berpredikat istri, mereka sangat membutuhkan ilmu bagaimana menjadi istri, ibu, serta pendidik yang baik agar anak-anaknya tumbuh menjadi sosok generasi pilihan .
Segala problematika rumah tangga akan mampu diatasi ketika pasangan suami istri (pasutri) sama-sama memahami dan menjadikan ilmu syar’i sebagai petunjuk dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat.
Semenjak awal Islam, sudah terdapat perintah untuk memberikan pengajaran kepada para perempuan tentang ilmu-ilmu syar’i. Bahkan terdapat anjuran untuk mendalaminya. Karena dengan ilmu syar’i , hal itu dapat membenahi jiwanya, moralnya, dan perasaannya melalui akidah yang shahîh, pedoman-pedoman agama yang luhur dan pengetahuan-pengetahuan yang akan menerangi akalnya dan memperkuat pendiriannya dalam menghadapi urusan-urusan duniawi .
Sebuah riwayat dari Ibnu Abdil Barr, ia berkata , “Aisyah adalah orang nomor satu pada zamannya dalam 3 ilmu : agama, kedokteran dan syair. Putri Sa’id bin Musayyib pernah menolak lamaran kholifah Abdul Malik bin Marwan untuk putranya yang bernama Walid bin Abdul Malik. Ia menolak bukan karena harta, bukan karena keturunan, tapi ia khawatir bila putrinya terfitnah agamanya. Lantas beliau menikahkannya dengan pria miskin tapi berilmu yakni Abu Wada’ah."
Ini merupakan bukti, perempuan sangat butuh ilmu syar’i agar hidupnya selamat dan bahagia.Perempuan di zaman keemasan Islam memiliki semangat membara dan sangat antusias untuk meraih ilmu yang bermanfaat.
Sebagaimana hadis Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam:
سَلُوااللهَ عِلْمًا نَافِعًا وَتَعَوَّذُوْا باِللهِ مِنْ عِلْمٍ لَايَنْفَعُ
“ Mintalah ilmu yang bermanfaat dan berlindunglah kepada-Nya dari ilmu yang tidak bermanfaat”. (HR. Ibnu Majah)
Dalam Islam sendiri tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam masalah mencari ilmu. Siapa saja, muslim dan muslimah yang enggan mempelajari hukum-hukum agama, cara berhubungan dengan Rabbnya, enggan mempelajari cara pembinaan jiwa, norma sosial, inti moral dan tata krama kehidupan, maka ia telah terjerumus dalam dosa karena meremehkan ilmu-ilmu tersebut. Yang berarti dia pun telah menyodorkan dirinya pada kehidupan nista karena keterlambatan dalam menggapai dunia dan akhirat.
Padahal semua itu merupakan ilmu yang bermanfaat, dan akan membebaskan seseorang dari kebodohan dan ketidakpekaan pada kebenaran, serta menghindarkannya dari sekedar orientasi keduniaan semata.
Dalam konteks kesetaraan derajat wanita dan lelaki dalam mendapatkan ilmu ini, sungguh tidak ada yang lebih membuktikannya daripada keberadaan perempuan muslimah dalam naungan Islam. Mereka telah mencapai derajat yang tinggi dalam keilmuan.
Contohlah para shahabiyyah (sahabat perempuan), mereka semangat mengerjakan salat jamaah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sepaya bisa memperoleh pengejaran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal semua bersepakat tanpa ada perbedaan pendapat, bahwa seorang perempuan melaksanakan salat di rumah, itu lebih afdhal daripada salat di masjid. Kemudian, dikarenakan jumlah mereka banyak, akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan sebuah pintu masjid bagi mereka hingga sampai sekarang ini di masjid Nabawi, yang diberi nama “Babun Nisaa'”, artinya pintu khusus untuk para wanita.
Al-Baladzuri menyebutkan dalam kitab Fûhul Buldân, “Jumlah wanita muslimah terdahulu yang mempelajari baca tulis adalah separo jumlah laki-laki yang mampu baca tulis.”
Ia juga menceritakan bahwasanya Ummu Kultsûm binti ‘Uqbah cakap dalam menulis. Diriwayatkan bahwa asy-Syifâ` al-Adawiyah dari Bani (Suku) ‘Adi, keluarga besar ‘Umar bin Khatthâb diminta Nabi untuk mengajarkan kepada istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Ummul-Mukminiin Hafshah binti ‘Umar bin Khaththâb cara menulis indah. Ummul-Mukminiin ‘Aisyah binti Abi Bakar dan Ummul-Mukminîn Ummu Salamah juga memiliki kemampuan membaca, walaupun belum sampai pada derajat mahir dalam menulis.
Al-Wâqidi menyebutkan bahwa Karîmah binti al-Miqdâd bisa membaca dan menulis. ‘Aisyah binti Sa’ad berkata: “Ayahku telah mengajarkan kepadaku tulis-menulis”. Begitu pula dalam hal pengajaran, para wanita sahabiyyah juga mampu berkompetisi dengan kaum laki-laki. Misalnya, seperti halnya ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan kurang lebih dua ribu hadis, begitu pula saudarinya yang bernama Asma’ juga telah meriwayatkan sekitar 50 hadis. Dan masih banyak lagi di antara muslimah sahabiyyah selain keduanya yang banyak meriwayatkan banyak hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Segala problematika rumah tangga akan mampu diatasi ketika pasangan suami istri (pasutri) sama-sama memahami dan menjadikan ilmu syar’i sebagai petunjuk dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat.
Semenjak awal Islam, sudah terdapat perintah untuk memberikan pengajaran kepada para perempuan tentang ilmu-ilmu syar’i. Bahkan terdapat anjuran untuk mendalaminya. Karena dengan ilmu syar’i , hal itu dapat membenahi jiwanya, moralnya, dan perasaannya melalui akidah yang shahîh, pedoman-pedoman agama yang luhur dan pengetahuan-pengetahuan yang akan menerangi akalnya dan memperkuat pendiriannya dalam menghadapi urusan-urusan duniawi .
Baca Juga
Sebuah riwayat dari Ibnu Abdil Barr, ia berkata , “Aisyah adalah orang nomor satu pada zamannya dalam 3 ilmu : agama, kedokteran dan syair. Putri Sa’id bin Musayyib pernah menolak lamaran kholifah Abdul Malik bin Marwan untuk putranya yang bernama Walid bin Abdul Malik. Ia menolak bukan karena harta, bukan karena keturunan, tapi ia khawatir bila putrinya terfitnah agamanya. Lantas beliau menikahkannya dengan pria miskin tapi berilmu yakni Abu Wada’ah."
Ini merupakan bukti, perempuan sangat butuh ilmu syar’i agar hidupnya selamat dan bahagia.Perempuan di zaman keemasan Islam memiliki semangat membara dan sangat antusias untuk meraih ilmu yang bermanfaat.
Sebagaimana hadis Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam:
سَلُوااللهَ عِلْمًا نَافِعًا وَتَعَوَّذُوْا باِللهِ مِنْ عِلْمٍ لَايَنْفَعُ
“ Mintalah ilmu yang bermanfaat dan berlindunglah kepada-Nya dari ilmu yang tidak bermanfaat”. (HR. Ibnu Majah)
Dalam Islam sendiri tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam masalah mencari ilmu. Siapa saja, muslim dan muslimah yang enggan mempelajari hukum-hukum agama, cara berhubungan dengan Rabbnya, enggan mempelajari cara pembinaan jiwa, norma sosial, inti moral dan tata krama kehidupan, maka ia telah terjerumus dalam dosa karena meremehkan ilmu-ilmu tersebut. Yang berarti dia pun telah menyodorkan dirinya pada kehidupan nista karena keterlambatan dalam menggapai dunia dan akhirat.
Padahal semua itu merupakan ilmu yang bermanfaat, dan akan membebaskan seseorang dari kebodohan dan ketidakpekaan pada kebenaran, serta menghindarkannya dari sekedar orientasi keduniaan semata.
Dalam konteks kesetaraan derajat wanita dan lelaki dalam mendapatkan ilmu ini, sungguh tidak ada yang lebih membuktikannya daripada keberadaan perempuan muslimah dalam naungan Islam. Mereka telah mencapai derajat yang tinggi dalam keilmuan.
Contohlah para shahabiyyah (sahabat perempuan), mereka semangat mengerjakan salat jamaah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sepaya bisa memperoleh pengejaran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal semua bersepakat tanpa ada perbedaan pendapat, bahwa seorang perempuan melaksanakan salat di rumah, itu lebih afdhal daripada salat di masjid. Kemudian, dikarenakan jumlah mereka banyak, akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan sebuah pintu masjid bagi mereka hingga sampai sekarang ini di masjid Nabawi, yang diberi nama “Babun Nisaa'”, artinya pintu khusus untuk para wanita.
Al-Baladzuri menyebutkan dalam kitab Fûhul Buldân, “Jumlah wanita muslimah terdahulu yang mempelajari baca tulis adalah separo jumlah laki-laki yang mampu baca tulis.”
Ia juga menceritakan bahwasanya Ummu Kultsûm binti ‘Uqbah cakap dalam menulis. Diriwayatkan bahwa asy-Syifâ` al-Adawiyah dari Bani (Suku) ‘Adi, keluarga besar ‘Umar bin Khatthâb diminta Nabi untuk mengajarkan kepada istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Ummul-Mukminiin Hafshah binti ‘Umar bin Khaththâb cara menulis indah. Ummul-Mukminiin ‘Aisyah binti Abi Bakar dan Ummul-Mukminîn Ummu Salamah juga memiliki kemampuan membaca, walaupun belum sampai pada derajat mahir dalam menulis.
Al-Wâqidi menyebutkan bahwa Karîmah binti al-Miqdâd bisa membaca dan menulis. ‘Aisyah binti Sa’ad berkata: “Ayahku telah mengajarkan kepadaku tulis-menulis”. Begitu pula dalam hal pengajaran, para wanita sahabiyyah juga mampu berkompetisi dengan kaum laki-laki. Misalnya, seperti halnya ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan kurang lebih dua ribu hadis, begitu pula saudarinya yang bernama Asma’ juga telah meriwayatkan sekitar 50 hadis. Dan masih banyak lagi di antara muslimah sahabiyyah selain keduanya yang banyak meriwayatkan banyak hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.