Belajar dari Sahl At-Tustari, Usia 3 Tahun Sudah Qiyamullail
loading...
A
A
A
Kisah para ulama terdahulu layak dijadikan iktibar karena perjalanan hidup mereka mengandung hikmah berharga. Salah satu kisah yang sangat menginspirasi diceritakan oleh Ustaz Budi Ashari, Dai yang juga pakar sejarah Islam.
Dikisahkan, Imam Sahl bin Abdillah At-Tustari (سهل التستري‎), seorang ulama zuhud (200-283 H) kelahiran Tustar, Persia. Beliau bertutur tentang pendidikan di usia kecilnya: "Saat saya berusia tiga tahun, saya qiyamullail (salat malam).
Di usianya yang masih kecil, Sahl At-Tustari melihat pamannya Muhammad bin Siwar salat. Suatu hari pamannya berkata kepada Sahl: "Tidakkah kamu berdzikir kepada Allah yang menciptakanmu? Sahl kecil bertanya: "Bagaimana caraku berdzikir kepadaNya?"
Sang paman berkata: "Dengan hatimu saat kamu hendak istirahat sebanyak tiga kali tanpa menggerakkan lisanmu; Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku."
Hal itulah yang menjadi malam-malam Sahl kecil dan beliau mengabari pamannya. Sang paman kemudian berpesan: "Bacalah itu setiap malam sebanyak tujuh kali."
Sahl kecil pun mengabarkan perkembangannya kepada pamannya. Mendengar itu, sang paman berpesan lagi: "Bacalah itu setiap malam sebelas kali.
Maka Sahl pun mulai merasakan kelezatannya dalam hati. Setelah setahun berlalu, pamannya berkata: "Jagalah yang sudah kuajarkan kepadamu dan teruskan hingga kamu meninggal. Itu bermanfaat bagimu."
Suatu hari Pamannya berkata: "Wahai Suhail, siapa yang Allah bersamanya, melihatnya dan menyaksikannya, apakah dia berani berbuat maksiat kepada Nya? Jauhilah maksiat!"
Setelah itu, Sahl belajar di Kuttab dan mulai belajar Al-Qur'an. Dan beliau berhasil menghafalnya pada usia 6 atau 7 tahun. Beliau juga rajin puasa sepanjang tahun dan makanan hariannya hanya roti gandum selama 12 tahun.
"Inilah kurikulum asli pendidikan Islam, iman sebelum Al-Qur'an. Lihatlah sang paman yang jadi teladan, mendidik bertahap dan memiliki target jelas," kata Ustaz Budi Ashari.
Kata Ustaz Budi Ashari, manakala para orangtua atau keluarga mampu menanam iman hingga terasa nikmat di hati, seperti yang dilakukan Muhammad Bin Siwar kepada keponakannya yang kelak jadi ahli ilmu zuhud ini, maka silakan dipacu hafalan Qur'annya setelah itu.
Tapi jika belum melakukan seperti itu, bagaimana ia menekan anak-anaknya untuk segera hafal Al-Qur'an. Apalah jadinya pohon besar tanpa akar kokoh? Saat badai fitnah tiba ia akan roboh seperti yang lain.
Jika Kuttab hari ini menerima anak-anak seperti Sahal ini, maka Kuttab siap menarget hafal Al-Qur'an di usia dini. Tapi, para orangtua, sudahkah kita jadi teladan? Mengertikah kita tahapan pendidikan Islam? Semoga kisah ini menjadi motivasi dan inspirasi bagi kita semua.
Wallahu A'lam
Dikisahkan, Imam Sahl bin Abdillah At-Tustari (سهل التستري‎), seorang ulama zuhud (200-283 H) kelahiran Tustar, Persia. Beliau bertutur tentang pendidikan di usia kecilnya: "Saat saya berusia tiga tahun, saya qiyamullail (salat malam).
Di usianya yang masih kecil, Sahl At-Tustari melihat pamannya Muhammad bin Siwar salat. Suatu hari pamannya berkata kepada Sahl: "Tidakkah kamu berdzikir kepada Allah yang menciptakanmu? Sahl kecil bertanya: "Bagaimana caraku berdzikir kepadaNya?"
Sang paman berkata: "Dengan hatimu saat kamu hendak istirahat sebanyak tiga kali tanpa menggerakkan lisanmu; Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku."
Hal itulah yang menjadi malam-malam Sahl kecil dan beliau mengabari pamannya. Sang paman kemudian berpesan: "Bacalah itu setiap malam sebanyak tujuh kali."
Sahl kecil pun mengabarkan perkembangannya kepada pamannya. Mendengar itu, sang paman berpesan lagi: "Bacalah itu setiap malam sebelas kali.
Maka Sahl pun mulai merasakan kelezatannya dalam hati. Setelah setahun berlalu, pamannya berkata: "Jagalah yang sudah kuajarkan kepadamu dan teruskan hingga kamu meninggal. Itu bermanfaat bagimu."
Suatu hari Pamannya berkata: "Wahai Suhail, siapa yang Allah bersamanya, melihatnya dan menyaksikannya, apakah dia berani berbuat maksiat kepada Nya? Jauhilah maksiat!"
Setelah itu, Sahl belajar di Kuttab dan mulai belajar Al-Qur'an. Dan beliau berhasil menghafalnya pada usia 6 atau 7 tahun. Beliau juga rajin puasa sepanjang tahun dan makanan hariannya hanya roti gandum selama 12 tahun.
"Inilah kurikulum asli pendidikan Islam, iman sebelum Al-Qur'an. Lihatlah sang paman yang jadi teladan, mendidik bertahap dan memiliki target jelas," kata Ustaz Budi Ashari.
Kata Ustaz Budi Ashari, manakala para orangtua atau keluarga mampu menanam iman hingga terasa nikmat di hati, seperti yang dilakukan Muhammad Bin Siwar kepada keponakannya yang kelak jadi ahli ilmu zuhud ini, maka silakan dipacu hafalan Qur'annya setelah itu.
Tapi jika belum melakukan seperti itu, bagaimana ia menekan anak-anaknya untuk segera hafal Al-Qur'an. Apalah jadinya pohon besar tanpa akar kokoh? Saat badai fitnah tiba ia akan roboh seperti yang lain.
Jika Kuttab hari ini menerima anak-anak seperti Sahal ini, maka Kuttab siap menarget hafal Al-Qur'an di usia dini. Tapi, para orangtua, sudahkah kita jadi teladan? Mengertikah kita tahapan pendidikan Islam? Semoga kisah ini menjadi motivasi dan inspirasi bagi kita semua.
Wallahu A'lam
(rhs)