Benarkah Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah Mengembangkan Doktrin Takfir?

Selasa, 09 Maret 2021 - 05:00 WIB
loading...
Benarkah Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah Mengembangkan Doktrin Takfir?
Ilustrasi/Ist
A A A
TAKFIR atau penjatuhan vonis kafir merupakan istilah syar’i, namun amat disayangkan, tidak sedikit oknum yang memanfaatkannya untuk mewujudkan niat-niat buruk mereka.

Takfir tanpa ilmu dampak negatifnya sangat berbahaya sebagaimana terjadi pada masa sahabat ketika orang-orang jahil berbicara masalah ini tanpa ilmu, sehingga mereka mengkafirkan sahabat Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib bahkan membunuh keduanya, dan mengkafirkan para sahabat lainnya sehingga betapa banyak terjadi pertumpahan darah dan perampasan harta disebabkan oleh virus berbahaya ini.

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi dalam bukunya berjudul "Jangan Gegabah Memvonis Kafir" menulis, doktrin ini sampai sekarang masih tumbuh subur.

"Kita mungkin bertanya-tanya bagaimana para pelaku pengeboman berani melakukan aksi mengerikan tersebut? Tentunya di balik itu pasti ada suatu sebab yang mendorong mereka. Tahukah anda apa itu? Karena mereka telah memvonis kafir para pemerintah berikut pejabatnya dan ulamanya serta kaum muslimin yang mereka anggap setuju dengan pemerintah. Karena semuanya dianggap kafir, mereka menilai aksi ini sebagai jihad melawan orang kafir dan pelakunya apabila meninggal disebut syahid," tuturnya.

Jadi, ujar Abu Ubaidah Yusuf lagi, pemikiran takfir (mengkafirkan) secara sembarangan inilah pos utama yang mengantarkan pelakunya menuju peledakan dan pengeboman.

"Padahal, takfir bukanlah masalah yang ringan. Sebab, takfir bukanlah hak kita, melainkan hak Allah dan rasul-Nya, tidak boleh seorang mengkafirkan saudaranya padahal Allah dan rasul-Nya tidak mengkafirkannya," ujarnya.

Dusta
Aneh bin ajaib, bila para ulama semisal Imam Ahmad bin Hanbal , Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah , Muhammad bin Abdul Wahhab , Syaikh al-Albani, Syaikh Ibnu Utsaimin dan lain-lainnya dianggap suka mengkafirkan manusia, padahal orang yang mempelajari sirah perjalanan mereka niscaya akan yakin seyakin-yakinnya kedustaan tuduhan tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa berkata: “Sesungguhnya orang yang selalu duduk bersamaku akan mengetahui bahwa aku termasuk manusia yang paling melarang dari lekas-lekas menghukumi seseorang, baik dengan kafir atau fasik, sampai tegak hujjah kepadanya lantas orang tersebut menyelisihinya, maka dapat dihukum kafir , fasik atau maksiat. Dan saya meyakini bahwa Allah telah mengampuni kesalahan umat ini, baik kesalahan-kesalahan dalam perkataan dan per buatan.

Sedangkan tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikh Abdul Lathif dalam Minhaj Ta’sis menjelaskan tentang kehati-hatian kakeknya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dalam takfir:

“Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab termasuk manusia yang sangat hati-hati dalam melontarkan kata kafir, sehingga beliau tidak menetapkan kafirnya orang jahil yang berdoa kepada selain Allah, apabila belum ada yang menasihatinya dan menegakkan hujjah padanya.”

Syaikh al-Albani berkata: “Karena itu, saya menasihatkan kepada para pemuda agar hati-hati dalam memvonis bid’ah dan kafir kepada para ulama, hendaknya bagi mereka untuk meneruskan perjalanan menuntut ilmu hingga mereka benar-benar matang, hendaknya mereka tidak tertipu dengan diri mereka, dan hendaknya mereka mengetahui kedudukan ulama.” (Lihat Silsilah Ahadits ash-Shahihah No. 3048)

Beliau juga mengatakan: “Tidak semua orang yang jatuh dalam kekufuran berarti dia pasti kafir.”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata: "Hendaknya seorang manusia bersikap hati-hati dari mengkafirkan orang yang tidak dikafirkan oleh Allah dan rasul-Nya atau melontarkan permusuhan Allah kepada seorang yang bukan musuh Allah dan rasul-Nya. Hendaknya dia menahan lidahnya karena lidah adalah sumber bencana.”

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2432 seconds (0.1#10.140)