Fatwa Muhammadiyah Tentang Tuntunan Ibadah Ramadhan Dalam Kondisi Darurat Covid-19
loading...
A
A
A
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menerbitkan edaran tentang Tuntunan Ibadah Ramadhan 1442 H/2021 M dalam Kondisi Darurat Covid-19 . Edaran bernomor 03/EDR/I.0/E/2021 ini sesuai Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah .
Edaran ditandatangani oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir dan Sekjen Prof Dr Abdul Mu'ti pada 9 Sya'ban 1442 H/22 Maret 2021 M dengan harapan dapat dilaksanakan dan dapat menjadi panduan bagi umat Islam pada umumnya dan warga Muhammadiyah pada khususnya.Tuntunan ini dibuat dengan mempertimbangkan kondisi penyebaran Covid-19 yang tidak merata atau memiliki tingkat kedaruratan yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lain. Berikut isi tuntunan itu.
Tuntunan Ramadan di engah Covid-19
1. Puasa Ramadan wajib dilakukan kecuali bagi orang yang sakit dan yang kondisi kekebalan tubuhnya tidak baik. Orang yang terkonfirmasi positif Covid-19, baik yang bergejala maupun tidak bergejala atau disebut Orang Tanpa Gejala (OTG) termasuk dalam kelompok orang yang sakit ini. Mereka mendapat rukhsah meninggalkan puasa Ramadan dan wajib menggantinya setelah Ramadan sesuai dengan tuntunan syariat.
Ini sesuai dengan Al-Qur’an surah al-Baqarah [2] ayat 185,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
2. Untuk menjaga kekebalan tubuh dan dalam rangka berhati-hati guna menjaga agar tidak tertular, tenaga kesehatan yang sedang bertugas menangani kasus Covid-19, bilamana dipandang perlu, dapat meninggalkan puasa Ramadan dengan ketentuan menggantinya setelah Ramadan sesuai dengan tuntunan syariat sebagaimana dipahami dari firman Allah dan hadis Nabi saw,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ
Wahai orang-orang beriman, berlaku waspadalah kamu! [QS an-Nisā’ (4): 71]
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
... Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik [QS al-Baqarah [2] : 195].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dari Ibn ‘Abbās (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidak ada kemudaratan dan pemudaratan [H.R. Mālik, Ibn Mājah dan Aḥmad, dan ini lafal Aḥmad].
Ayat dan hadis di atas menunjukkan keharusan waspada/berhati-hati serta larangan menjatuhkan diri pada kebinasaan dan kemudaratan (yang berarti keharusan menjaga diri/jiwa).
Tenaga medis yang menangani pasien Covid-19 membutuhkan kekebalan tubuh ekstra sehingga boleh tidak berpuasa dan apabila tetap berpuasa dikhawatirkan justru akan membuat kekebalan tubuh dan kesehatannya menurun, dan itu bisa menimbulkan mudarat.
3. Vaksinasi dengan suntikan boleh dilakukan pada saat berpuasa dan tidak membatalkan puasa, karena vaksin diberikan tidak melalui mulut atau rongga tubuh lainnya seperti hidung, serta tidak bersifat memuaskan keinginan dan bukan pula merupakan zat makanan yang mengenyangkan (menambah energi).
Adapun yang membatalkan puasa adalah aktivitas makan dan minum, yaitu menelan segala sesuatu melalui mulut hingga masuk ke perut besar, sekalipun rasanya tidak enak dan tidak lezat. Suntik vaksin tidak termasuk makan atau minum. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah [2] ayat 187,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam ...
4. Bagi masyarakat yang di sekitar tempat tinggalnya ada penularan Covid-19, salat berjamaah, baik salat fardu (termasuk salat Jum‘at) maupun salat qiyam Ramadan(tarawih), tetap dilakukan di rumah masing-masing dalam rangka menghindarkan diri dari penularan virus corona. Hal ini didasarkan pada keterangan dalam hadis berikut:
Dari ‘Abdullāh Ibn ‘Abbās (diriwayatkan) bahwa ia mengatakan kepada muazinnya di suatu hari yang penuh hujan: Jika engkau sudah mengumandangkan asyhadu an lā ilāha illallāh (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah), asyhadu anna muḥammadan rasūlullāh (aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah), maka jangan ucapkan hayya ‘alaṣ-ṣalāh (kemarilah untuk salat), namun ucapkan ṣallū fī buyūtikum (salatlah kalian di rumah masing-masing). Rawi melanjutkan: Seolah-olah orang-orang pada waktu itu mengingkari hal tersebut.
Lalu Ibn ‘Abbās mengatakan: Apakah kalian merasa aneh dengan ini? Sesungguhnya hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (maksudnya Rasulullah saw). Sesungguhnya salat Jumat itu adalah hal yang wajib (‘azmah), namun aku tidak suka memberatkan kepada kalian sehingga kalian berjalan di jalan becek dan jalan licin [H.R. Muslim].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِيَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ ” . قَالُوا وَمَا الْعُذْرُ قَالَ خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ ” لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلاَةُ الَّتِي صَلَّى. قَالَ أَبُو دَاوُدَ رَوَى عَنْ مَغْرَاءٍ أَبُو إِسْحَاقَ
Dari Ibn ‘Abbās (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mendengar azan, lalu tidak ada uzur baginya untuk menghadiri jamaah –para Sahabat bertanya: Apa uzurnya? Beliau menjawab: keadaan takut dan penyakit –, maka tidak diterima salat yang dilakukannya [H.R. Abū Dāwūd].
…Muṣ‘ab kemudian menuliskan surat kepada Rasulullah untuk meminta izin kepada beliau agar bisa mengumpulkan kaum Anshar yang telah masuk Islam untuk mendirikan salat. Rasulullah pun mengizinkannya dan menuliskan perintah untuk Muṣ‘ab: cermatilah bagaimana persiapan kaum Yahudi untuk beribadah Sabat. Tatkala matahari tergelincir (masuk waktu zuhur) bersegeralah engkau menunaikan salat Jumat menghadap Allah dan berkhutbahlah. Kemudian Muṣ‘ab mengumpulkan para kaum Anshar di rumah Sa‘ad bin Khaitsamah sebanyak dua belas orang dan itulah salat Jumat pertama kali yang didirikan di Madinah [Ibn Saʻad, aṭ-Ṭabaqāt al-Kubrā, III: 110].
Dari ‘Itbān bin Mālik al-Anṣārī, kemudian [as-Sālimī] –salah seorang Banī Sālim– (diriwayatkan bahwa) dia berkata: Saya menjadi imam salat kaum saya, Banī Sālim. Lalu saya temui Nabi saw, saya tanyakan kepada beliau, saya tidak bisa terima penglihatan saya, sementara banjir menghalangi rumah saya dengan masjid kaum saya, sungguh saya ingin sekali engkau datang ke rumah saya, engkau tunaikan salat di rumah saya di tempat yang akan saya jadikan sebagai masjid.
Nabi saw menjawab, insya Allah saya datang. Pagi menjelang siang yang memanas Nabi saw bersama Abu Bakar menemui saya. Nabi saw mohon izin masuk dan saya berikan izin. Beliau tidak duduk sampai berkata, di mana engkau ingin saya tunaikan salat di rumahmu? Kepada beliau saya tunjukkan tempat yang saya ingin beliau salat. Lalu Rasulullah saw berdiri untuk salat. Kami berbaris di belakangnya. Beliau tutup salat dengan salam. Kami pun membaca salam [HR al Bukhārī].
Masjid (tempat salat) di rumah bisa digunakan untuk berdoa, berzikir, membaca Al Qur’an, salat sunah, maupun salat wajib dalam kondisi darurat, seperti ketika terjadi wabah penyakit, hujan deras yang tidak memungkinkan ke masjid, atau kesulitan seperti yang dialami Itban bin Malik.
5. Bagi masyarakat yang di sekitar tempat tinggalnya tidak ada penularan Covid-19, salat berjamaah, baik salat fardu (termasuk salat Jum‘at) maupun salat qiyam Ramadan (tarawih), dapat dilaksanakan di masjid, musala, langgar, atau tempat lainnya, dengan tetap memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Salat dengan Saf Berjarak
Meluruskan maupun merapatkan saf adalah bagian dari kesempurnaan salat. Oleh karena itu, merapatkan saf sangat dianjurkan dalam kondisi salat yang normal dan tanpa ada bahaya atau kedaruratan yang mengancam (HR. al Bukhari, Muslim dan Ahmad). Adapun dalam kondisi belum normal di mana sesungguhnya masih belum terbebas dari ancaman wabah Covid-19, perenggangan jarak saf dapat dilakukan demi menjaga diri dari bahaya. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah,
Tidak boleh berbuat mudarat dan menimbulkan mudarat [H.R. Ibnu Mājah].
Dalam kondisi seperti ini, perenggangan jarak tidak menghilangkan nilai (pahala) dan kesempurnaan salat berjamaah, karena wabah Covid-19 merupakan uzur syar’ī yang membolehkan pelaksanaan ibadah secara tidak normal. Hal ini selaras dengan spirit hadis Nabi saw:
Dari Abu Musa (diriwayatkan) ia berkata: Saya mendengar Nabi saw tidak hanya sekali atau dua kali, beliau bersabda: Apabila seorang hamba melakukan amal saleh, kemudian ia terhalang oleh suatu penyakit atau suatu perjalanan maka tercatat baginya seperti amalan saleh yang pernah ia lakukan dalam keadaan mukim lagi sehat [H.R. Abū Dāwūd].
b. Salat Memakai Masker
Pada dasarnya mendirikan salat dalam keadaan tertutup wajah tidaklah dianjurkan. Hal ini sesuai dengan hadis berikut:
Dari Abū Hurairah (diriwayatkan), ia berkata: Rasulullah melarang seseorang menutup mulutnya di dalam salat [H.R. Ibnu Mājah].
Para kritikus hadis berbeda pendapat tentang kualitas hadis tersebut, ada yang menilai daif namun ada juga yang menganggap hasan. Larangan menutup sebagian wajah dalam hadis tersebut tidak sampai pada hukum haram. Hal ini ditunjukkan oleh Ibnu Majah sendiri yang meletakkan hadis tersebut pada bab Mā Yukrahu fī aṣ-Ṣalāh (hal-hal yang tidak disukai [makruh] dalam salat).
Selain itu, larangan dalam hadis ini pun tidak berlaku umum karena memiliki sebab yang khusus, yaitu agar tidak menyerupai kaum Majusi (Syarḥ Sunan Abī Dāwūd karya Badr ad-Dīn al-‘Aini).
Oleh karena itu, menutup sebagian wajah dengan masker ketika salat berjamaah di masjid atau musala dalam keadaan belum bebas dari pandemi Covid-19 seperti sekarang ini tidak termasuk dalam larangan di atas dan tidak merusak keabsahan salat.
Apalagi pada masa ancaman wabah seperti sekarang ini, masker merupakan salah satu alat pelindung diri yang sangat dianjurkan dipakai ketika berada di luar rumah, termasuk ketika harus ke masjid atau musala untuk salat berjamaah. Dengan demikian, masker telah menjadi suatu kebutuhan (al-ḥājah) mendasar yang mendesak untuk dipenuhi. Hal ini selaras dengan kaidah fikih, adanya suatu kebutuhan menempati kondisi kedaruratan secara umum maupun khusus.
c. Jamaah salat terbatas hanya bagi masyarakat di sekitar masjid, musala atau langgar dengan pembatasan kuantitas/jumlah jamaah maksimal 30% dari kapasitas tempat atau sesuai arahan dari pihak yang berwenang. Hal ini dalam rangka kewaspadaan dan menghindari mudarat yang mungkin timbul, sesuai dengan petunjuk ayat dan hadis yang yang dikutip pada angka 2 di atas.
d. Anak-anak, lansia, orang yang sedang sakit dan orang yang memiliki penyakit comorbid tidak dianjurkan mengikuti kegiatan berjamaah di masjid, musala atau langgar. Hal ini dalam rangka kewaspadaan dan berhati-hati guna menghindari tertular Covid-19 serta sejalan dengan ayat dan hadis yang dikutip pada angka 2 di atas serta memperhatikan pula semangat pada hadis Nabi saw berikut,
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Jangan orang sakit dicampurbaurkan dengan yang orang sehat [H.R. Muslim].
Dari ‘Abdullāh Ibn ‘Āmir (diriwayatkan) bahwa ‘Umar pergi menuju Syam. Ketika sampai di wilayah Sargh, ia mendapatkan kabar tentang wabah yang sedang terjadi di Syam. ‘Abd ar-Raḥmān Ibn ‘Auf lalu menginformasikan kepada ‘Umar bahwa Nabi suatu ketika pernah bersabda: Apabila kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika wabah itu terjadi di tempat kamu berada, maka jangan keluar (pergi) dari tempat itu [H.R. al-Bukhārī].
Dari ‘Amr bin asy-Syarid, dari ayahnya (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah ada di dalam rombongan utusan Bani Ṡaqīf seorang lelaki yang mengidap sakit kusta (penyakit menular) ingin berbaiat kepada Nabi. Ketika mengetahui hal tersebut, Rasulullah lalu mengirimkan seorang utusan yang menyampaikan pesan kepadanya bahwa: Sesungguhnya kami (Rasulullah) telah menerima baiatmu, maka pulanglah sekarang [H.R. Muslim].
e. Menerapkan protokol kesehatan lainnya seperti mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer sebelum masuk masjid, memakai perlengkapan salat seperti sarung, peci, mukena dan sajadah milik sendiri (membawa dari rumah) dan lain-lain, dalam rangka melakukan pencegahan penularan Covid-19. Hal ini sebagaimana prinsip dalam kaidah fikihiah berikut, Menutup jalan kerusakan.
f. Takmir hendaknya menjaga kebersihan masjid/musala setiap hari sebelum dan sesudah digunakan untuk ibadah. Takmir hendaknya pula menyiapkan segala perlengkapan pelindung diri untuk mendukung pelaksanaan ibadah secara bersih dan aman di masjid/musala, seperti penyediaan masker dan sabun cuci tangan atau hand sanitizer. Takmir hendaknya juga memastikan kualitas ventilasi (adanya aliran udara luar dan dari dalam masjid/musala) yang baik di ruangan masjid/musala. Hal ini sebagaimana prinsip dalam kaidah fikihiah di atas.
6. Kajian atau pengajian yang beriringan dengan kegiatan salat berjamaah seperti kuliah subuh atau ceramah tarawih dapat dilakukan dengan mengurangi durasi waktu agar tidak terlalu panjang dan tetap menerapkam protokol kesehatan lainnya secara disiplin.
Namun demikian, jika ditemukan kasus positif Covid-19 di sekitar masjid/musala terkait, kajian atau pengajian hendaknya dilaksanakan secara daring atau dengan membagikan materi/makalah kepada jamaah di rumah atau melalui media daring.
Sedangkan pengajian akbar yang mendatangkan banyak jamaah dan berpotensi menimbulkan konsentrasi orang banyak tidak dianjurkan.
7. Buka Bersama (Takjilan), sahur bersama, tadarus berjamaah, iktikaf dan kegiatan lainnya di masjid/musala dan sejenisnya yang melibatkan banyak orang dan di dalamnya terdapat perilaku yang berpotensi menjadi sebab penyebaran virus Covid 19 seperti makan bersama, tidak dianjurkan.
8. Takbir Idulfitri diutamakan dilakukan di rumah masing-masing. Takbir Idulfitri boleh dilakukan di masjid, musala atau langgar dengan syarat tidak ada jamaah di sekitarnya yang terindikasi positif Covid-19, dilakukan pembatasan jumlah orang dan tetap menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19 secara disiplin.
9. Kegiatan syiar anak-anak seperti tarawih berjamaah, takjilan, maupun takbiran keliling tidak dianjurkan. Pengajian atau kegiatan syiar lainnya seperti lomba keagamaan untuk anak-anak dapat dilakukan secara daring.
10. Salat Idulfitri bagi masyarakat yang di sekitar tempat tinggalnya ada penularan Covid-19 dapat dilakukan di rumah dan bagi masyarakat yang di sekitar tempat tinggalnya tidak ada penularan Covid-19, salat Idulfitri dapat dilaksanakan di lapangan kecil atau tempat terbuka di sekitar tempat tinggal dalam jumlah jamaah yang tidak membawa kerumunan besar, dengan beberapa protokol yang harus diperhatikan, yaitu:
a. salat dengan saf berjarak;
b. salat menggunakan masker;
c. dilaksanakan tidak dalam kelompok besar atau terpisah dalam kelompok kecil dengan pembatasan jumlah jamaah yang hadir;
d. mematuhi protokol kesehatan terkait pencegahan Covid-19 seperti menjaga kebersihan tempat, kebersihan badan, pengukuran suhu tubuh, tidak berjabat tangan, tidak berkerumun dan lain-lain.
Pembatasan, pencegahan dan pengetatan dalam pelaksanaan ibadah maupun aktivitas-aktivitas syiar keagamaan di atas didasarkan kepada kaidah-kaidah fikih berikut;
Pertama, kemudaratan harus dihilangkan.
Kedua, kesukaran dapat mendatangkan kemudahan.
Ketiga, kemudaratan dibatasi sesuai dengan kadarnya.
Keempat, mencegah mudarat lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat.
11. Memperbanyak zakat, infak dan sedekah serta memaksimalkan penyalurannya untuk pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19. Hal ini selaras dengan spirit dari Al-Qur’an dan hadis, antara lain:
a. QS Saba [34] ayat 39:
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.
b. QS al-Baqarah [2] ayat 261:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
c. Hadis Nabi saw,
Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan kedermawanan itu semakin tampak pada bulan Ramadan ketika malaikat Jibril menemuinya [HR. al-Bukhari dan Muslim].
12. Memperbanyak istigfar, bertaubat, berdoa kepada Allah, membaca Al-Qur’an, zikir dan salawat kepada Nabi saw. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam,
a. QS Hūd [11] ayat 3:
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ
Hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.
b. QS al-Baqarah [2] ayat 186:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
c. Hadis Nabi saw,
… Malaikat Jibril menemui beliau pada tiap malam selama Ramadan, lalu mengajaknya mendaras Al-Qur’an [H.R. al-Bukhari dan Muslim].
d. Hadis Nabi saw,
Dari ‘Abdullāh Ibn ‘Amr Ibn al-‘Āṣ (diriwayatkan) bahwa dia mendengar Nabi saw bersabda: Apabila kalian mendengar muazin mengumandangkan azan, maka tirulah apa yang diucapkan muazin itu kemudian bersalawatlah kalian kepadaku. Sesungguhnya barangsiapa yang bersalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bersalawat (memberi rahmat) kepadanya sepuluh kali ... [H.R. Muslim].
13. Menggalakkan sikap berbuat baik (iḥsān) dan saling menolong (ta‘āwun) di antara masyarakat, misalnya dengan cara mencukupi kebutuhan pokok bagi keluarga yang terdampak secara langsung atau sedang melakukan isolasi mandiri. Hal ini sebagaimana spirit Al-Qur’an dan hadis,
a. QS al-Naḥl [16]: 90:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
b. QS al-Māidah [5] ayat 2:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Saling menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan saling menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
c. Hadis Nabi saw,
Dari Abū Hurairah (diriwayatkan) ia berkata: Nabi saw bersabda: Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Muslim, maka Allah akan melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya [H.R. Muslim].
Penutup
Muhammadiyah berjarap tren penurunan kasus Covid-19 akhir-akhir ini diharapkan berlangsung terus sampai serendah mungkin. Oleh karena itu, segenap lapisan masyarakat hendaknya dapat selalu menerapkan protokol kesehatan 3M, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas, baik dalam kegiatan kemasyarakatan maupun kegiatan ibadah sehari-hari. Hal ini dalam rangka berperan aktif menanggulangi penyebaran wabah Covid-19.
Di samping itu, masyarakat hendaknya mematuhi anjuran vaksinasi agar terbentuk kekebalan masyarakat dari wabah Covid-19 ini.
Pemerintah juga hendaknya terus meningkatkan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan dampak penyebaran wabah Covid-19 dengan memaksimalkan 3T (tracing, testing dan treatment) serta menguatkan peran rumah sakit rujukan Covid-19 sehingga dapat melayani pasien Covid-19 secara maksimal.
"Pemerintah hendaknya terus menggalakkan program vaksinasi hingga mencapai ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia," imbau Muhammadiyah..
Fatwa yang ditandatangani Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Syamsul Anwar dan Sekretaris Mohammad Mas’udi juga menyebut apabila sebelum datang bulan Ramadan 1442 H terjadi penurunan angka penularan Covid-19 secara signifikan, atau justru sebaliknya, terjadi lonjakan kasus yang cukup tinggi, fatwa ini dapat ditinjau kembali, dan pelaksanaan ibadah menyesuaikan dengan tingkat kedaruratan yang terjadi di masing-masing daerah.
Kondisi Mutakhir
Data dari Laporan Media Harian yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sampai dengan tanggal 17 Maret 2021 kasus penularan Covid-19 telah mencapai angka 1.437.283 orang (rata-rata 3937 orang per hari), kasus sembuh sekitar 1.266.673 orang (rata-rata 3470 orang per hari) dan kasus meninggal dunia hampir mendekati 38.915 orang (rata-rata 106 orang per hari).
Kasus Covid-19 di Indonesia sampai dengan pertengahan Maret 2021 ini memang tampak menurun secara agak signifikan. Namun sebenarnya penurunan itu adalah dari kondisi lonjakan kasus pasca libur panjang akhir tahun 2020. Apabila dibandingkan dengan kondisi sebelum libur panjang tersebut, yaitu kasus Desember 2020, maka sebenarnya belum ada indikasi penurunan yang signifikan.
Hal ini ditunjukkan oleh data dari Kementerian Kesehatan bahwa tren penularan Covid 19 pada Desember 2020 rata-rata 4.429,9 orang, sementara pada Januari 2021 mengalami lonjakan hingga rata-rata 7.829,9 orang, dan sampai pada pertengahan Maret 2021 turun kembali di angka rata-rata 4.585,5 orang.
Penurunan ini juga ternyata bersamaan dengan turunnya jumlah testing di Indonesia dibanding bulan sebelumnya. Positive rate di Indonesia masih berkisar 12%, dua kali lipat lebih tinggi dibanding standar yang ditetepkan oleh WHO (5%). Bahkan, saat ini telah ditengarai munculnya varian baru virus corona yang disebut dengan Covid-B117 masuk ke Indonesia.
Sementara itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa lonjakan pasien Covid-19 yang dirujuk ke rumah sakit sudah mulai berkurang, sehingga rumah sakit termasuk para tenaga medis bisa sedikit “bernafas” lega.
Upaya yang dilakukan Pemerintah pun sudah lebih massif dalam menegakkan protokol kesehatan dengan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Berskala Mikro.
Perilaku masyarakat pun sudah bertambah baik dalam memahami bahaya Covid-19 dan menyadari pentingnya penerapan protokol kesehatan 3M (Memakai Masker, Mencuci Tangan dan Menjauhi Kerumunan), meskipun mungkin masih ada sebagian kecil masyarakat yang masih abai.
Di samping itu, walaupun belum dapat dilihat hasilnya, program vaksinasi sebagai salah satu upaya pembentukan kekebalan masyarakat (herd immunity) telah mulai dilaksanakan. Namun demikian ikhtiar untuk menekan ancaman pandemi Covid-19 dan terus meningkatkan kewaspadaan tetap dan masih harus dilakukan secara maksimal, dan tidak boleh ada sikap lengah apalagi abai.
Edaran ditandatangani oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir dan Sekjen Prof Dr Abdul Mu'ti pada 9 Sya'ban 1442 H/22 Maret 2021 M dengan harapan dapat dilaksanakan dan dapat menjadi panduan bagi umat Islam pada umumnya dan warga Muhammadiyah pada khususnya.Tuntunan ini dibuat dengan mempertimbangkan kondisi penyebaran Covid-19 yang tidak merata atau memiliki tingkat kedaruratan yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lain. Berikut isi tuntunan itu.
Tuntunan Ramadan di engah Covid-19
1. Puasa Ramadan wajib dilakukan kecuali bagi orang yang sakit dan yang kondisi kekebalan tubuhnya tidak baik. Orang yang terkonfirmasi positif Covid-19, baik yang bergejala maupun tidak bergejala atau disebut Orang Tanpa Gejala (OTG) termasuk dalam kelompok orang yang sakit ini. Mereka mendapat rukhsah meninggalkan puasa Ramadan dan wajib menggantinya setelah Ramadan sesuai dengan tuntunan syariat.
Ini sesuai dengan Al-Qur’an surah al-Baqarah [2] ayat 185,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
2. Untuk menjaga kekebalan tubuh dan dalam rangka berhati-hati guna menjaga agar tidak tertular, tenaga kesehatan yang sedang bertugas menangani kasus Covid-19, bilamana dipandang perlu, dapat meninggalkan puasa Ramadan dengan ketentuan menggantinya setelah Ramadan sesuai dengan tuntunan syariat sebagaimana dipahami dari firman Allah dan hadis Nabi saw,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ
Wahai orang-orang beriman, berlaku waspadalah kamu! [QS an-Nisā’ (4): 71]
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
... Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik [QS al-Baqarah [2] : 195].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dari Ibn ‘Abbās (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidak ada kemudaratan dan pemudaratan [H.R. Mālik, Ibn Mājah dan Aḥmad, dan ini lafal Aḥmad].
Ayat dan hadis di atas menunjukkan keharusan waspada/berhati-hati serta larangan menjatuhkan diri pada kebinasaan dan kemudaratan (yang berarti keharusan menjaga diri/jiwa).
Tenaga medis yang menangani pasien Covid-19 membutuhkan kekebalan tubuh ekstra sehingga boleh tidak berpuasa dan apabila tetap berpuasa dikhawatirkan justru akan membuat kekebalan tubuh dan kesehatannya menurun, dan itu bisa menimbulkan mudarat.
3. Vaksinasi dengan suntikan boleh dilakukan pada saat berpuasa dan tidak membatalkan puasa, karena vaksin diberikan tidak melalui mulut atau rongga tubuh lainnya seperti hidung, serta tidak bersifat memuaskan keinginan dan bukan pula merupakan zat makanan yang mengenyangkan (menambah energi).
Adapun yang membatalkan puasa adalah aktivitas makan dan minum, yaitu menelan segala sesuatu melalui mulut hingga masuk ke perut besar, sekalipun rasanya tidak enak dan tidak lezat. Suntik vaksin tidak termasuk makan atau minum. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah [2] ayat 187,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam ...
4. Bagi masyarakat yang di sekitar tempat tinggalnya ada penularan Covid-19, salat berjamaah, baik salat fardu (termasuk salat Jum‘at) maupun salat qiyam Ramadan(tarawih), tetap dilakukan di rumah masing-masing dalam rangka menghindarkan diri dari penularan virus corona. Hal ini didasarkan pada keterangan dalam hadis berikut:
Dari ‘Abdullāh Ibn ‘Abbās (diriwayatkan) bahwa ia mengatakan kepada muazinnya di suatu hari yang penuh hujan: Jika engkau sudah mengumandangkan asyhadu an lā ilāha illallāh (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah), asyhadu anna muḥammadan rasūlullāh (aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah), maka jangan ucapkan hayya ‘alaṣ-ṣalāh (kemarilah untuk salat), namun ucapkan ṣallū fī buyūtikum (salatlah kalian di rumah masing-masing). Rawi melanjutkan: Seolah-olah orang-orang pada waktu itu mengingkari hal tersebut.
Lalu Ibn ‘Abbās mengatakan: Apakah kalian merasa aneh dengan ini? Sesungguhnya hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (maksudnya Rasulullah saw). Sesungguhnya salat Jumat itu adalah hal yang wajib (‘azmah), namun aku tidak suka memberatkan kepada kalian sehingga kalian berjalan di jalan becek dan jalan licin [H.R. Muslim].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِيَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ ” . قَالُوا وَمَا الْعُذْرُ قَالَ خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ ” لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلاَةُ الَّتِي صَلَّى. قَالَ أَبُو دَاوُدَ رَوَى عَنْ مَغْرَاءٍ أَبُو إِسْحَاقَ
Dari Ibn ‘Abbās (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mendengar azan, lalu tidak ada uzur baginya untuk menghadiri jamaah –para Sahabat bertanya: Apa uzurnya? Beliau menjawab: keadaan takut dan penyakit –, maka tidak diterima salat yang dilakukannya [H.R. Abū Dāwūd].
…Muṣ‘ab kemudian menuliskan surat kepada Rasulullah untuk meminta izin kepada beliau agar bisa mengumpulkan kaum Anshar yang telah masuk Islam untuk mendirikan salat. Rasulullah pun mengizinkannya dan menuliskan perintah untuk Muṣ‘ab: cermatilah bagaimana persiapan kaum Yahudi untuk beribadah Sabat. Tatkala matahari tergelincir (masuk waktu zuhur) bersegeralah engkau menunaikan salat Jumat menghadap Allah dan berkhutbahlah. Kemudian Muṣ‘ab mengumpulkan para kaum Anshar di rumah Sa‘ad bin Khaitsamah sebanyak dua belas orang dan itulah salat Jumat pertama kali yang didirikan di Madinah [Ibn Saʻad, aṭ-Ṭabaqāt al-Kubrā, III: 110].
Dari ‘Itbān bin Mālik al-Anṣārī, kemudian [as-Sālimī] –salah seorang Banī Sālim– (diriwayatkan bahwa) dia berkata: Saya menjadi imam salat kaum saya, Banī Sālim. Lalu saya temui Nabi saw, saya tanyakan kepada beliau, saya tidak bisa terima penglihatan saya, sementara banjir menghalangi rumah saya dengan masjid kaum saya, sungguh saya ingin sekali engkau datang ke rumah saya, engkau tunaikan salat di rumah saya di tempat yang akan saya jadikan sebagai masjid.
Nabi saw menjawab, insya Allah saya datang. Pagi menjelang siang yang memanas Nabi saw bersama Abu Bakar menemui saya. Nabi saw mohon izin masuk dan saya berikan izin. Beliau tidak duduk sampai berkata, di mana engkau ingin saya tunaikan salat di rumahmu? Kepada beliau saya tunjukkan tempat yang saya ingin beliau salat. Lalu Rasulullah saw berdiri untuk salat. Kami berbaris di belakangnya. Beliau tutup salat dengan salam. Kami pun membaca salam [HR al Bukhārī].
Masjid (tempat salat) di rumah bisa digunakan untuk berdoa, berzikir, membaca Al Qur’an, salat sunah, maupun salat wajib dalam kondisi darurat, seperti ketika terjadi wabah penyakit, hujan deras yang tidak memungkinkan ke masjid, atau kesulitan seperti yang dialami Itban bin Malik.
5. Bagi masyarakat yang di sekitar tempat tinggalnya tidak ada penularan Covid-19, salat berjamaah, baik salat fardu (termasuk salat Jum‘at) maupun salat qiyam Ramadan (tarawih), dapat dilaksanakan di masjid, musala, langgar, atau tempat lainnya, dengan tetap memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Salat dengan Saf Berjarak
Meluruskan maupun merapatkan saf adalah bagian dari kesempurnaan salat. Oleh karena itu, merapatkan saf sangat dianjurkan dalam kondisi salat yang normal dan tanpa ada bahaya atau kedaruratan yang mengancam (HR. al Bukhari, Muslim dan Ahmad). Adapun dalam kondisi belum normal di mana sesungguhnya masih belum terbebas dari ancaman wabah Covid-19, perenggangan jarak saf dapat dilakukan demi menjaga diri dari bahaya. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah,
Tidak boleh berbuat mudarat dan menimbulkan mudarat [H.R. Ibnu Mājah].
Dalam kondisi seperti ini, perenggangan jarak tidak menghilangkan nilai (pahala) dan kesempurnaan salat berjamaah, karena wabah Covid-19 merupakan uzur syar’ī yang membolehkan pelaksanaan ibadah secara tidak normal. Hal ini selaras dengan spirit hadis Nabi saw:
Dari Abu Musa (diriwayatkan) ia berkata: Saya mendengar Nabi saw tidak hanya sekali atau dua kali, beliau bersabda: Apabila seorang hamba melakukan amal saleh, kemudian ia terhalang oleh suatu penyakit atau suatu perjalanan maka tercatat baginya seperti amalan saleh yang pernah ia lakukan dalam keadaan mukim lagi sehat [H.R. Abū Dāwūd].
b. Salat Memakai Masker
Pada dasarnya mendirikan salat dalam keadaan tertutup wajah tidaklah dianjurkan. Hal ini sesuai dengan hadis berikut:
Dari Abū Hurairah (diriwayatkan), ia berkata: Rasulullah melarang seseorang menutup mulutnya di dalam salat [H.R. Ibnu Mājah].
Para kritikus hadis berbeda pendapat tentang kualitas hadis tersebut, ada yang menilai daif namun ada juga yang menganggap hasan. Larangan menutup sebagian wajah dalam hadis tersebut tidak sampai pada hukum haram. Hal ini ditunjukkan oleh Ibnu Majah sendiri yang meletakkan hadis tersebut pada bab Mā Yukrahu fī aṣ-Ṣalāh (hal-hal yang tidak disukai [makruh] dalam salat).
Selain itu, larangan dalam hadis ini pun tidak berlaku umum karena memiliki sebab yang khusus, yaitu agar tidak menyerupai kaum Majusi (Syarḥ Sunan Abī Dāwūd karya Badr ad-Dīn al-‘Aini).
Oleh karena itu, menutup sebagian wajah dengan masker ketika salat berjamaah di masjid atau musala dalam keadaan belum bebas dari pandemi Covid-19 seperti sekarang ini tidak termasuk dalam larangan di atas dan tidak merusak keabsahan salat.
Apalagi pada masa ancaman wabah seperti sekarang ini, masker merupakan salah satu alat pelindung diri yang sangat dianjurkan dipakai ketika berada di luar rumah, termasuk ketika harus ke masjid atau musala untuk salat berjamaah. Dengan demikian, masker telah menjadi suatu kebutuhan (al-ḥājah) mendasar yang mendesak untuk dipenuhi. Hal ini selaras dengan kaidah fikih, adanya suatu kebutuhan menempati kondisi kedaruratan secara umum maupun khusus.
c. Jamaah salat terbatas hanya bagi masyarakat di sekitar masjid, musala atau langgar dengan pembatasan kuantitas/jumlah jamaah maksimal 30% dari kapasitas tempat atau sesuai arahan dari pihak yang berwenang. Hal ini dalam rangka kewaspadaan dan menghindari mudarat yang mungkin timbul, sesuai dengan petunjuk ayat dan hadis yang yang dikutip pada angka 2 di atas.
d. Anak-anak, lansia, orang yang sedang sakit dan orang yang memiliki penyakit comorbid tidak dianjurkan mengikuti kegiatan berjamaah di masjid, musala atau langgar. Hal ini dalam rangka kewaspadaan dan berhati-hati guna menghindari tertular Covid-19 serta sejalan dengan ayat dan hadis yang dikutip pada angka 2 di atas serta memperhatikan pula semangat pada hadis Nabi saw berikut,
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Jangan orang sakit dicampurbaurkan dengan yang orang sehat [H.R. Muslim].
Dari ‘Abdullāh Ibn ‘Āmir (diriwayatkan) bahwa ‘Umar pergi menuju Syam. Ketika sampai di wilayah Sargh, ia mendapatkan kabar tentang wabah yang sedang terjadi di Syam. ‘Abd ar-Raḥmān Ibn ‘Auf lalu menginformasikan kepada ‘Umar bahwa Nabi suatu ketika pernah bersabda: Apabila kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika wabah itu terjadi di tempat kamu berada, maka jangan keluar (pergi) dari tempat itu [H.R. al-Bukhārī].
Dari ‘Amr bin asy-Syarid, dari ayahnya (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah ada di dalam rombongan utusan Bani Ṡaqīf seorang lelaki yang mengidap sakit kusta (penyakit menular) ingin berbaiat kepada Nabi. Ketika mengetahui hal tersebut, Rasulullah lalu mengirimkan seorang utusan yang menyampaikan pesan kepadanya bahwa: Sesungguhnya kami (Rasulullah) telah menerima baiatmu, maka pulanglah sekarang [H.R. Muslim].
e. Menerapkan protokol kesehatan lainnya seperti mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer sebelum masuk masjid, memakai perlengkapan salat seperti sarung, peci, mukena dan sajadah milik sendiri (membawa dari rumah) dan lain-lain, dalam rangka melakukan pencegahan penularan Covid-19. Hal ini sebagaimana prinsip dalam kaidah fikihiah berikut, Menutup jalan kerusakan.
f. Takmir hendaknya menjaga kebersihan masjid/musala setiap hari sebelum dan sesudah digunakan untuk ibadah. Takmir hendaknya pula menyiapkan segala perlengkapan pelindung diri untuk mendukung pelaksanaan ibadah secara bersih dan aman di masjid/musala, seperti penyediaan masker dan sabun cuci tangan atau hand sanitizer. Takmir hendaknya juga memastikan kualitas ventilasi (adanya aliran udara luar dan dari dalam masjid/musala) yang baik di ruangan masjid/musala. Hal ini sebagaimana prinsip dalam kaidah fikihiah di atas.
6. Kajian atau pengajian yang beriringan dengan kegiatan salat berjamaah seperti kuliah subuh atau ceramah tarawih dapat dilakukan dengan mengurangi durasi waktu agar tidak terlalu panjang dan tetap menerapkam protokol kesehatan lainnya secara disiplin.
Namun demikian, jika ditemukan kasus positif Covid-19 di sekitar masjid/musala terkait, kajian atau pengajian hendaknya dilaksanakan secara daring atau dengan membagikan materi/makalah kepada jamaah di rumah atau melalui media daring.
Sedangkan pengajian akbar yang mendatangkan banyak jamaah dan berpotensi menimbulkan konsentrasi orang banyak tidak dianjurkan.
7. Buka Bersama (Takjilan), sahur bersama, tadarus berjamaah, iktikaf dan kegiatan lainnya di masjid/musala dan sejenisnya yang melibatkan banyak orang dan di dalamnya terdapat perilaku yang berpotensi menjadi sebab penyebaran virus Covid 19 seperti makan bersama, tidak dianjurkan.
8. Takbir Idulfitri diutamakan dilakukan di rumah masing-masing. Takbir Idulfitri boleh dilakukan di masjid, musala atau langgar dengan syarat tidak ada jamaah di sekitarnya yang terindikasi positif Covid-19, dilakukan pembatasan jumlah orang dan tetap menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19 secara disiplin.
9. Kegiatan syiar anak-anak seperti tarawih berjamaah, takjilan, maupun takbiran keliling tidak dianjurkan. Pengajian atau kegiatan syiar lainnya seperti lomba keagamaan untuk anak-anak dapat dilakukan secara daring.
10. Salat Idulfitri bagi masyarakat yang di sekitar tempat tinggalnya ada penularan Covid-19 dapat dilakukan di rumah dan bagi masyarakat yang di sekitar tempat tinggalnya tidak ada penularan Covid-19, salat Idulfitri dapat dilaksanakan di lapangan kecil atau tempat terbuka di sekitar tempat tinggal dalam jumlah jamaah yang tidak membawa kerumunan besar, dengan beberapa protokol yang harus diperhatikan, yaitu:
a. salat dengan saf berjarak;
b. salat menggunakan masker;
c. dilaksanakan tidak dalam kelompok besar atau terpisah dalam kelompok kecil dengan pembatasan jumlah jamaah yang hadir;
d. mematuhi protokol kesehatan terkait pencegahan Covid-19 seperti menjaga kebersihan tempat, kebersihan badan, pengukuran suhu tubuh, tidak berjabat tangan, tidak berkerumun dan lain-lain.
Pembatasan, pencegahan dan pengetatan dalam pelaksanaan ibadah maupun aktivitas-aktivitas syiar keagamaan di atas didasarkan kepada kaidah-kaidah fikih berikut;
Pertama, kemudaratan harus dihilangkan.
Kedua, kesukaran dapat mendatangkan kemudahan.
Ketiga, kemudaratan dibatasi sesuai dengan kadarnya.
Keempat, mencegah mudarat lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat.
11. Memperbanyak zakat, infak dan sedekah serta memaksimalkan penyalurannya untuk pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19. Hal ini selaras dengan spirit dari Al-Qur’an dan hadis, antara lain:
a. QS Saba [34] ayat 39:
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.
b. QS al-Baqarah [2] ayat 261:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
c. Hadis Nabi saw,
Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan kedermawanan itu semakin tampak pada bulan Ramadan ketika malaikat Jibril menemuinya [HR. al-Bukhari dan Muslim].
12. Memperbanyak istigfar, bertaubat, berdoa kepada Allah, membaca Al-Qur’an, zikir dan salawat kepada Nabi saw. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam,
a. QS Hūd [11] ayat 3:
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ
Hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.
b. QS al-Baqarah [2] ayat 186:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
c. Hadis Nabi saw,
… Malaikat Jibril menemui beliau pada tiap malam selama Ramadan, lalu mengajaknya mendaras Al-Qur’an [H.R. al-Bukhari dan Muslim].
d. Hadis Nabi saw,
Dari ‘Abdullāh Ibn ‘Amr Ibn al-‘Āṣ (diriwayatkan) bahwa dia mendengar Nabi saw bersabda: Apabila kalian mendengar muazin mengumandangkan azan, maka tirulah apa yang diucapkan muazin itu kemudian bersalawatlah kalian kepadaku. Sesungguhnya barangsiapa yang bersalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bersalawat (memberi rahmat) kepadanya sepuluh kali ... [H.R. Muslim].
13. Menggalakkan sikap berbuat baik (iḥsān) dan saling menolong (ta‘āwun) di antara masyarakat, misalnya dengan cara mencukupi kebutuhan pokok bagi keluarga yang terdampak secara langsung atau sedang melakukan isolasi mandiri. Hal ini sebagaimana spirit Al-Qur’an dan hadis,
a. QS al-Naḥl [16]: 90:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
b. QS al-Māidah [5] ayat 2:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Saling menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan saling menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
c. Hadis Nabi saw,
Dari Abū Hurairah (diriwayatkan) ia berkata: Nabi saw bersabda: Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Muslim, maka Allah akan melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya [H.R. Muslim].
Penutup
Muhammadiyah berjarap tren penurunan kasus Covid-19 akhir-akhir ini diharapkan berlangsung terus sampai serendah mungkin. Oleh karena itu, segenap lapisan masyarakat hendaknya dapat selalu menerapkan protokol kesehatan 3M, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas, baik dalam kegiatan kemasyarakatan maupun kegiatan ibadah sehari-hari. Hal ini dalam rangka berperan aktif menanggulangi penyebaran wabah Covid-19.
Di samping itu, masyarakat hendaknya mematuhi anjuran vaksinasi agar terbentuk kekebalan masyarakat dari wabah Covid-19 ini.
Pemerintah juga hendaknya terus meningkatkan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan dampak penyebaran wabah Covid-19 dengan memaksimalkan 3T (tracing, testing dan treatment) serta menguatkan peran rumah sakit rujukan Covid-19 sehingga dapat melayani pasien Covid-19 secara maksimal.
"Pemerintah hendaknya terus menggalakkan program vaksinasi hingga mencapai ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia," imbau Muhammadiyah..
Fatwa yang ditandatangani Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Syamsul Anwar dan Sekretaris Mohammad Mas’udi juga menyebut apabila sebelum datang bulan Ramadan 1442 H terjadi penurunan angka penularan Covid-19 secara signifikan, atau justru sebaliknya, terjadi lonjakan kasus yang cukup tinggi, fatwa ini dapat ditinjau kembali, dan pelaksanaan ibadah menyesuaikan dengan tingkat kedaruratan yang terjadi di masing-masing daerah.
Kondisi Mutakhir
Data dari Laporan Media Harian yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sampai dengan tanggal 17 Maret 2021 kasus penularan Covid-19 telah mencapai angka 1.437.283 orang (rata-rata 3937 orang per hari), kasus sembuh sekitar 1.266.673 orang (rata-rata 3470 orang per hari) dan kasus meninggal dunia hampir mendekati 38.915 orang (rata-rata 106 orang per hari).
Kasus Covid-19 di Indonesia sampai dengan pertengahan Maret 2021 ini memang tampak menurun secara agak signifikan. Namun sebenarnya penurunan itu adalah dari kondisi lonjakan kasus pasca libur panjang akhir tahun 2020. Apabila dibandingkan dengan kondisi sebelum libur panjang tersebut, yaitu kasus Desember 2020, maka sebenarnya belum ada indikasi penurunan yang signifikan.
Hal ini ditunjukkan oleh data dari Kementerian Kesehatan bahwa tren penularan Covid 19 pada Desember 2020 rata-rata 4.429,9 orang, sementara pada Januari 2021 mengalami lonjakan hingga rata-rata 7.829,9 orang, dan sampai pada pertengahan Maret 2021 turun kembali di angka rata-rata 4.585,5 orang.
Penurunan ini juga ternyata bersamaan dengan turunnya jumlah testing di Indonesia dibanding bulan sebelumnya. Positive rate di Indonesia masih berkisar 12%, dua kali lipat lebih tinggi dibanding standar yang ditetepkan oleh WHO (5%). Bahkan, saat ini telah ditengarai munculnya varian baru virus corona yang disebut dengan Covid-B117 masuk ke Indonesia.
Sementara itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa lonjakan pasien Covid-19 yang dirujuk ke rumah sakit sudah mulai berkurang, sehingga rumah sakit termasuk para tenaga medis bisa sedikit “bernafas” lega.
Upaya yang dilakukan Pemerintah pun sudah lebih massif dalam menegakkan protokol kesehatan dengan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Berskala Mikro.
Perilaku masyarakat pun sudah bertambah baik dalam memahami bahaya Covid-19 dan menyadari pentingnya penerapan protokol kesehatan 3M (Memakai Masker, Mencuci Tangan dan Menjauhi Kerumunan), meskipun mungkin masih ada sebagian kecil masyarakat yang masih abai.
Di samping itu, walaupun belum dapat dilihat hasilnya, program vaksinasi sebagai salah satu upaya pembentukan kekebalan masyarakat (herd immunity) telah mulai dilaksanakan. Namun demikian ikhtiar untuk menekan ancaman pandemi Covid-19 dan terus meningkatkan kewaspadaan tetap dan masih harus dilakukan secara maksimal, dan tidak boleh ada sikap lengah apalagi abai.
(mhy)