Renungan: Kisah Burung Ingin Mengubah Tradisi Ramadhan

Senin, 19 April 2021 - 05:00 WIB
loading...
A A A
Sebagaimana yang dikenal baik oleh masyarakat Arab, burung hoopoe termasyhur karena ketajaman matanya, sementara burung-burung hantu pada siang hari buta.

Burung hoopoe melewatkan malam itu bersama burung-burung hantu di dalam sarang mereka, dan mereka menanyainya tentang segala macam hal.

Pada waktu fajar, ketika burung hoopoe berkemas dan siap untuk pergi, burung-burung hantu itu berkata, "Kawanku yang malang! Sungguh aneh, apa yang akan kamu lakukan ini? Bisakah kita bepergian pada siang hari?"

"Ini mengherankan," kata si Hoopoe, "Semua pekerjaan berlangsung pada siang hari."

"Apakah kamu gila?" burung-burung hantu itu bertanya. "Pada siang hari, dengan ketidakjelasan yang disebarkan matahari atas kegelapan malam, bagaimana kita bisa melihat?"

"Justru sebaliknya," kata si hoopoe, "Semua cahaya di dunia ini tergantung pada cahaya matahari, dan darinyalah segala sesuatu yang bersinar itu mendapatkan cahayanya. Sesungguhnya ia dinamakan 'mata dari hari', sebab ia merupakan sumber cahaya."



Tetapi burung-burung hantu itu mengira dapat mengalahkan logika si hoopoe dengan menanyakan mengapa tak seorang pun dapat melihat pada siang hari.

"Janganlah beranggapan bahwa lewat analogi dengan diri kalian sendiri setiap orang itu seperti kalian. Semua yang lain dapat melihat pada siang hari. Lihatlah aku. Aku dapat melihat, aku berada di dunia yang dapat dilihat, dapat diamati. Ketidakjelasan itu telah hilang, dan aku dapat mengenali permukaan yang cemerlang dengan jalan menyingkapkannya tanpa gangguan keragu-raguan."

Ketika burung-burung hantu itu mendengar ini, mereka menjadi ribut menjerit-jerit dan, sambil bertengkar satu sama lainnya, mereka berkata, "Burung ini berbicara tentang kemampuan melihat pada siang hari, ketika kita terserang kebutaan."

Dengan segera mereka menyerang si hoopoe dan melukainya dengan paruh dan cakar mereka. Mereka mengutuknya dengan memanggilnya 'si melek-siang-hari;' sebab kebutaan pada siang hari merupakan kewajaran di kalangan mereka.

"Jika kamu tidak menarik kembali perkataanmu," ujar burung-burung hantu, "Kamu akan dibunuh!"

"Jika aku tidak membuat diriku buta," pikir si hoopoe, "mereka akan membunuhku. Karena mereka merasakan kesakitan terutama pada mata mereka, kebutaan dan kematian akan terjadi secara serentak."

Dan kemudian, diilhami oleh pepatah, "Berbicaralah dengan orang-orang sesuai dengan tingkat kecerdasan mereka," dia menutup matanya dan berkata, "Lihat! Aku menjadi buta seperti kalian."

Melihat memang demikianlah halnya, mereka berhenti memukul dan melukai si burung hoopoe, yang menyadari bahwa mengungkap rahasia Ilahi di kalangan orang-orang yang tidak percaya sama saja dengan menyebarkan rahasia kekafiran mereka. Dan karenanya, sampai tiba waktu perpisahan, secara susah payah dia bertahan dengan berpura-pura buta dan berkata:

"Berkali-kali aku mengatakan bahwa aku akan menyingkapkan semua rahasia di dunia yang fana ini. Tetapi, karena takut akan pedang dan adanya hasrat untuk menyelamatkan diriku, [aku telah mengunci] bibirku dengan seribu paku."

Dia mengeluh dalam-dalam dan berkata, "Dalam diriku ada banyak pengetahuan; jika aku melepaskannya, aku akan terbunuh."

Imam masjid menutup ceritanya, disambut senyum lebar sang cendekiawan. “Saya paham,” ujar sarjana itu mengangkat pantatnya dari kursi, lalu mengulurkan tangannya bersalaman. “Saya bukan burung hoopoe,” tuturnya setelah mengucap salam.

(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3207 seconds (0.1#10.140)