Renungan: Kisah Burung Ingin Mengubah Tradisi Ramadhan

Senin, 19 April 2021 - 05:00 WIB
loading...
Renungan: Kisah Burung Ingin Mengubah Tradisi Ramadhan
Burung hantu/Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
DIA alumnus perguruan tinggi Islam nan masyhur dari luar negeri. Pulang ke Indonesia seperti baru saja mengenal negerinya sendiri. Dia banyak mengkritik gaya Ramadhan di negeri ini.



Pada pekan pertama Ramadhan masjid dijubeli jamaah salat Tarawih. Lantas lengang menjelang lebaran. Orang-orang yang semula getol beribadah, seketika berpindah perhatiannya ke pusat perbelanjaaan demi berburu pakaian baru dan beragam kue.

Negeri menjadi bising oleh pelantang masjid di kala waktu sahur tiba. Inikah Ramadhan itu?

“Rasulullah tak pernah mencontohkan yang demikian itu,” ucapnya kepada imam masjid, yang sengaja ia cegat usai bubar salat Tarawih. “Bayangkanlah jika hal tersebut dilakukan di negara yang minoritas muslim, niscaya kita akan dianggap sebagai perusuh berkedok agama,” lanjutnya.

Imam masjid hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengesankan setuju. Masjid sudah sepi malam itu. Hanya ada kerumunan anak-anak yang masih hiruk pikuk bermain petasan.

“Bukankah Ramadhan mengajak kita untuk berpuasa dari banyak hal? Bukan sekadar menahan makan-minum belaka,” ujar pria ini masih bernada bertanya. Imam masjid tak juga mengeluarkan suara.

Pemuda itu seperti sedang ingin memprovokasi imam masjid untuk bersama-sama dirinya mengubah kondisi tersebut, setidaknya dari lingungannya sendiri.



Apa yang dikatakan sarjana made in manca negara ini tidak keliru. Dalam kuliah tujuh menit di antara salat Tarawih dan salat Witir, penceramah di masjid itu juga sudah bicara bahwa ibadah puasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan ibadah lainnya.

Ibadah salat memerlukan gerakan dan bacaan yang bisa dilihat oleh orang lain. Ibadah zakat memerlukan gerakan untuk menyerahkan kepada pihak-pihak yang berhak menerima. "Ibadah haji juga bisa dilihat gerakannya oleh orang lain. Sedangkan Ibadah puasa, merupakan ibadah yang tidak bisa dilihat oleh orang lain," kata sang penceramah pada kultum di malam ketujuh salat Tarawih.

Al-Bukhari juga mengatakan ibadah puasa tidak perlu gerakan khusus yang bisa dijadikan tanda oleh orang lain seperti salat, zakat atau haji. Ibadah puasa adalah ibadah khusus antara seorang hamba dengan Allah SWT. Dengan makna ini, ibadah puasa bisa disebut sebagai ibadah sunyi.

Rasulullah SAW juga telah bersabda, bahwa di bulan Ramadhan setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat.

Allah Ta’ala berfirman: “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku”.

“Benar katamu itu,” potong imam masjid setelah sekian lama menjadi pendengar setia provokasi cendekiawan di kampungnya itu. Lalu ia mempersilakan sang pemuda ini ke rumahnya. “Kita ngopi dulu di rumah,” ajaknya.



Mereka pun melanjutkan obrolan di rumah imam masjid sembari menikmati kopi dan singkong goreng.

Setelah menyeruput kopinya, imam masjid mulai berganti bicara. Sepertinya ia lari dari provokasi anak muda ini. Ia menceritakan kisah burung hoopoe dan burung hantu. “Ini kisah mistis seorang filsuf masyhur, Syaikh Al-Isyraq,” ujarnya, sembari menyeruput kopinya lagi.

Sang cenderkiawan pun terdiam. “Mungkin antum sudah tahu kisah ini,” lanjut imam masjid, disambut senyum sarjana tersebut.

“Suatu kali ketika sedang terbang, burung hoopoe tiba di lingkungan beberapa burung hantu, lalu mampir di sarang mereka,” imam masjid mulai berkisah.

Sebagaimana yang dikenal baik oleh masyarakat Arab, burung hoopoe termasyhur karena ketajaman matanya, sementara burung-burung hantu pada siang hari buta.

Burung hoopoe melewatkan malam itu bersama burung-burung hantu di dalam sarang mereka, dan mereka menanyainya tentang segala macam hal.

Pada waktu fajar, ketika burung hoopoe berkemas dan siap untuk pergi, burung-burung hantu itu berkata, "Kawanku yang malang! Sungguh aneh, apa yang akan kamu lakukan ini? Bisakah kita bepergian pada siang hari?"

"Ini mengherankan," kata si Hoopoe, "Semua pekerjaan berlangsung pada siang hari."

"Apakah kamu gila?" burung-burung hantu itu bertanya. "Pada siang hari, dengan ketidakjelasan yang disebarkan matahari atas kegelapan malam, bagaimana kita bisa melihat?"

"Justru sebaliknya," kata si hoopoe, "Semua cahaya di dunia ini tergantung pada cahaya matahari, dan darinyalah segala sesuatu yang bersinar itu mendapatkan cahayanya. Sesungguhnya ia dinamakan 'mata dari hari', sebab ia merupakan sumber cahaya."



Tetapi burung-burung hantu itu mengira dapat mengalahkan logika si hoopoe dengan menanyakan mengapa tak seorang pun dapat melihat pada siang hari.

"Janganlah beranggapan bahwa lewat analogi dengan diri kalian sendiri setiap orang itu seperti kalian. Semua yang lain dapat melihat pada siang hari. Lihatlah aku. Aku dapat melihat, aku berada di dunia yang dapat dilihat, dapat diamati. Ketidakjelasan itu telah hilang, dan aku dapat mengenali permukaan yang cemerlang dengan jalan menyingkapkannya tanpa gangguan keragu-raguan."

Ketika burung-burung hantu itu mendengar ini, mereka menjadi ribut menjerit-jerit dan, sambil bertengkar satu sama lainnya, mereka berkata, "Burung ini berbicara tentang kemampuan melihat pada siang hari, ketika kita terserang kebutaan."

Dengan segera mereka menyerang si hoopoe dan melukainya dengan paruh dan cakar mereka. Mereka mengutuknya dengan memanggilnya 'si melek-siang-hari;' sebab kebutaan pada siang hari merupakan kewajaran di kalangan mereka.

"Jika kamu tidak menarik kembali perkataanmu," ujar burung-burung hantu, "Kamu akan dibunuh!"

"Jika aku tidak membuat diriku buta," pikir si hoopoe, "mereka akan membunuhku. Karena mereka merasakan kesakitan terutama pada mata mereka, kebutaan dan kematian akan terjadi secara serentak."

Dan kemudian, diilhami oleh pepatah, "Berbicaralah dengan orang-orang sesuai dengan tingkat kecerdasan mereka," dia menutup matanya dan berkata, "Lihat! Aku menjadi buta seperti kalian."

Melihat memang demikianlah halnya, mereka berhenti memukul dan melukai si burung hoopoe, yang menyadari bahwa mengungkap rahasia Ilahi di kalangan orang-orang yang tidak percaya sama saja dengan menyebarkan rahasia kekafiran mereka. Dan karenanya, sampai tiba waktu perpisahan, secara susah payah dia bertahan dengan berpura-pura buta dan berkata:

"Berkali-kali aku mengatakan bahwa aku akan menyingkapkan semua rahasia di dunia yang fana ini. Tetapi, karena takut akan pedang dan adanya hasrat untuk menyelamatkan diriku, [aku telah mengunci] bibirku dengan seribu paku."

Dia mengeluh dalam-dalam dan berkata, "Dalam diriku ada banyak pengetahuan; jika aku melepaskannya, aku akan terbunuh."

Imam masjid menutup ceritanya, disambut senyum lebar sang cendekiawan. “Saya paham,” ujar sarjana itu mengangkat pantatnya dari kursi, lalu mengulurkan tangannya bersalaman. “Saya bukan burung hoopoe,” tuturnya setelah mengucap salam.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1685 seconds (0.1#10.140)