Renungan: Menghabiskan Umur untuk Perut, Sesekali Lapar Itu Baik

Sabtu, 17 April 2021 - 04:57 WIB
loading...
Renungan: Menghabiskan...
Ilustrasi/Ist
A A A
PADA hari kelima Ramadan tahun ini , beberapa orang lelaki mengeluhkan kisah sedih dalam menghadapi hidup. Serba sulit, katanya.

Mereka menghidangkan persoalan semakin peliknya cara mencari rezeki. Biaya hidup kian mahal. Utang bertumpuk dan sebagian dari mereka kena tipu antarteman sendiri. Dan banyak lagi masalah.



Bertambah usia, persoalan hidup kian rumit. Biaya hidup yang mencekik dan keinginan terus saja membumbung melampaui kemampuan kita untuk memenuhinya.

Betapa kita telah mengalami kesulitan hanya untuk kepentingan perut. Kita terus-menerus dituntut untuk memberi makan si kantong kecil ini.

Anehnya, meskipun sangat kecil, kita menghabiskan seluruh hidup untuk memberinya makan. Kita berjuang membanting tulang dengan berbagai cara untuk mencari makanan.

Terkadang pikiran kita saban hari tertuju hanya itu itu saja; mencari makan. Bahkan sebagian dari kita harus mencuri atau berbohong atau menggunakan tipuan untuk si perut.



Pantas saja jika Ali bin Abi Thalib mengingatkan kita akan hikmah kisah Nabi Adam dan Siti Hawa. “Atas karena apa Adam dan Hawa dilemparkan dari surga ke dunia? Atas perutnya. Syahwat berupa perut dan kemaluan adalah yang menghancurkan
manusia,” tutur Ali.

Sejatinya, mengalami lapar perut adalah persoalan sepele. Ada lagi yang lain, kelaparan yang lebih besar. Apa itu? Rasa lapar jiwa, yang haus akan harta karun. Juga haus akan hidup, haus akan kebijaksanaan, cinta, dan kasih sayang, haus akan melakukan keadilan dan kebaikan, haus akan Kerajaan Allah.

Kita telah berpengalaman bahwa jika kita berusaha menenangkan jiwa yang lapar, maka rasa lapar dari perut akan pergi. Jika kita dapat memenuhi rasa lapar jiwa, itu akan menebus kita dari perbudakan dan memberikan pembebasan absolut dari jiwa kita.

Masalah kita, kesulitan kita, dan kesedihan kita akan meninggalkan kita dan kita akan mencapai perdamaian.

Jika kelaparan jiwa merasa puas, semua lapar lainnya akan berakhir. Tapi kita tidak bekerja terhadap tujuan itu.



Jika kita menebang pohon sudah barang tentu kita tidak bisa mencabut pohon itu berikut akar-akarnya sekaligus. Kita harus memotong pohon itu dari pangkal.

Selanjutnya kita menggali tanah untuk memotong akar-akarnya. Dengan cara yang sama, untuk mengakhiri jiwa yang kelaparan, kita harus memutuskan akar karma kita dengan hikmah.

Jika waktu terlalu lama untuk mencabut karma kita, maka setidaknya kita harus mencoba untuk memotong keinginan. Setidaknya memisahkan pohon pikiran dan keinginan dari hubungan mereka dengan bumi.

Ini akan memakan waktu lama bagi mereka untuk tumbuh lagi, dan sementara itu kita dapat melakukan apapun yang perlu dilakukan.

Tapi kita tentu tidak pernah berhenti berusaha mencabut koneksi yang lebih dalam. Jika kita menghapus hanya cabang dan membiarkan akar tetap bertahan dalam bumi, kita tidak akan pernah mampu menyelesaikan tugas kita. Akhirnya, agar karma benar-benar tumbang maka hanya dapat dilakukan dengan hikmah.

Kita harus mempertimbangkan alasan rasa lapar dan kemudian mengendalikannya dengan kebijaksanaan. Kita harus memahami rasa lapar dengan cara mengontrol perasaan itu, sebelum kita dibebani rasa lapar lagi. Itulah satu-satunya cara untuk mencapai kedamaian dalam hidup kita.

Jadikan lapar sebagai kebutuhan. Ihya ulumuddin, buah karya monumental Imam Abu Hamid Al Ghazali , berisi wejangan bahwa untuk menjadi manusia yang unggul dan dekat dengan Tuhan adalah dengan lapar. Dengan lapar, maka mata hati akan terbuka menerima kehadirat Tuhan.

Jadi sesekali lapar itu baik.

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2628 seconds (0.1#10.140)