Wawasan Kebangsaan (4): Al-Quran Menghargai Bahasa dan Keragamannya

Minggu, 18 April 2021 - 17:53 WIB
loading...
Wawasan Kebangsaan (4):...
Ilustrasi/ist
A A A
DALAM Buku Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, M Quraish Shihab menulis bahwa Al-Quran menegaskan dalam surat Al-Rum (30) :

"Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya, adalah penciptaan langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasamu, dan warna kulitmu ..."



Al-Quran demikian menghargai bahasa dan keragamannya, bahkan mengakui penggunaan bahasa lisan yang beragam.

Perlu ditandaskan bahwa dalam konteks pembicaraan tentang paham kebangsaan, Al-Quran amat menghargai bahasa, sampai-sampai seperti yang disabdakan Nabi SAW:

Al-Quran diturunkan dalam tujuh bahasa (HR Muslim, At-Tirmidzi, dan Ahmad dengan riwayat yang berbeda-beda tetapi dengan makna yang sama).

Pengertian "tujuh bahasa" antara lain adalah, tujuh dialek. Menurut sekian keterangan, ayat-ayat Al-Quran diturunkan dengan dialek suku Quraisy, tetapi dialek ini --ketika Al-Quran turun-- belum populer untuk seluruh anggota masyarakat. Sehingga apabila ada yang mengeluh tentang sulitnya pengucapan atau pengertian makna kata yang digunakan oleh ayat tertentu, Allah menurunkan wahyu lagi yang berbeda kata-katanya agar menjadi mudah dibaca dan dimengerti. Sebagai contoh dalam Al-Quran surat Al-Dukhan (44): 43-44 yang berbunyi, "Inna syajarat al-zaqqum tha'amul atsim, pernah diturunkan dengan mengganti kata atsim dengan fajir, kemudian turun lagi dengan kata al-laim. Setelah bahasa suku Quraisy populer di kalangan seluruh masyarakat, maka atas inisiatif Utsman bin Affan (khalifah ketiga) bacaan disatukan kembali sebagaimana tercantum dalam mushaf yang dibaca dewasa ini.



Pengertian lain dari hadis tersebut adalah Al-Quran menggunakan kosa kata dari tujuh (baca: banyak) bahasa, seperti bahasa Romawi, Persia, dan Ibrani, misalnya kata-kata: zamharir, sijjil, qirthas, kafur, dan lain-lain.

Menurut Quraish untuk menghargai perbedaan bahasa dan dialek, Nabi SAW tidak jarang menggunakan dialek mitra bicaranya. Semua itu menunjukkan betapa Al-Quran dan Nabi SAW sangat menghargai keragaman bahasa dan dialek.

“Bukankah seperti yang dikemukakan tadi, Allah menjadikan keragaman itu bukti keesaan dan kemahakuasaan-Nya?” tutur Quraish.

Nah, bagaimana kaitan bahasa dan kebangsaan? Tadi telah dikemukakan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir berkaitan dengan Salman, Bilal, dan Suhaib.

Pada hakikatnya, bahasa memang bukan digunakan sekadar untuk menyampaikan tujuan pembicaraan dan yang diucapkan oleh lidah. Bukankah sering seseorang berbicara dengan dirinya sendiri? Bukankah ada pula yang berpikir dengan suara keras. Kalimat-kalimat yang dipikirkan dan didendangkan itu merupakan upaya menyatakan pikiran dan perasaan seseorang? Di sini bahasa merupakan jembatan penyalur perasaan dan pikiran.

Karena itu pula kesatuan bahasa mendukung kesatuan pikiran. Masyarakat yang memelihara bahasanya dapat memeliara identitasnya, sekaligus menjadi bukti keberadaannya. Itulah sebabnya mengapa para penjajah sering berusaha menghapus bahasa anak negeri yang dijajahnya dengan bahasa sang penjajah.



Al-Quran menuntut setiap pembicara agar hanya mengucapkan hal yang diyakini, dirasakan, serta sesuai dengan kenyataan. Karena itu, tidak jarang Kitab Suci ini menggunakan kata qala atau yaqulu (dia berkata, dalam arti meyakini), seperti misalnya dalam surat Al-Baqarah (2): 116:

Mereka berkata, "Allah mengambil anak". Mahasuci Allah, dengan arti mereka meyakini bahwa Allah mempunyai anak.

Salah satu sifat Ibadur Rahman (hamba-hamba Allah yang baik) yang dijelaskan dalam surat Al-Furqan (25): 65 adalah:

Mereka yang berkata, "Jauhkanlah siksa jahanam dari kami". Sesungguhnya azab-Nya adalah kebinasaan yang kekal

Ucapan ini bukan sekadar dengan lidah atau permohonan, melainkan peringatan sikap, keyakinan dan perasaan mereka, karena kalau sekadar permohonan, apalah keistimewaannya?

Bukankah semua orang dapat bermohon seperti itu? Karena itu tidak menyimpang jika dinyatakan bahwa bahasa pada hakikatnya berfungsi menyatakan perasaan pikiran, keyakinan, dan sikap pengucapnya.

Dalam konteks paham kebangsaan, Quraish Shihab mengatakan, bahasa pikiran, dan perasaan, jauh lebih penting ketimbang bahasa lisan, sekalipun bukan berarti mengabaikan bahasa lisan, karena sekali lagi ditekankan bahwa bahasa lisan adalah jembatan perasaan.

Orang-orang Yahudi yang bahasanya satu, yaitu bahasa Ibrani, dikecam oleh Al-Quran dalam surat Al-Hasyr ayat 14, dengan menyatakan: “Engkau menduga mereka bersatu, padahal hati mereka berkeping-keping”.

Menurut Quraish, atas dasar semua itu, terlihat bahwa bahasa, saat dijadikan sebagai perekat dan unsur kesatuan umat, dapat diakui oleh Al-Quran, bahkan inklusif dalam ajarannya. Bahasa dan keragamannya merupakan salah satu bukti keesaan dan kebesaran Allah. Hanya saja harus diperhatikan bahwa dari bahasa harus lahir kesatuan pikiran dan perasaan, bukan sekadar alat menyampaikan informasi.

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2063 seconds (0.1#10.140)