Hindari Perkara Ini Agar Ibadah Puasa Ramadhan Tidak Sia-sia

Minggu, 25 April 2021 - 08:30 WIB
loading...
Hindari Perkara Ini Agar Ibadah Puasa Ramadhan Tidak Sia-sia
Ramadhan adalah momentum bagi umat Islam untuk memperbaiki diri dan menggugurkan dosa-dosa yang lalu. Foto ilustrasi/Ist
A A A
Pertemuan dengan bulan Ramadhan merupakan anugerah besar dan kenikmatan dari Allah. Inilah momentum bagi umat Islam untuk memperbaiki diri dan menggugurkan dosa-dosa yang lalu.

Namun, disayangkan apabila Ramadhan berlalu kita justru dicap sebagai orang yang celaka atau tidak diampuni Allah. Untuk meraih fadhillah Ramadhan yang mulia, setiap muslim hendaknya menjauhi perkara berikut agar pahala puasanya tidak hilang.



Pengasuh Ponpes Ash-Shidqu Kuningan Al-Habib Quraisy Baharun mengungkapkan dalam tausiyahnya, di antara menjaga pahala puasa supaya tidak hangus sia-sia adalah berhenti ghibah, gosip atau membicarakan keburukan orang lain.

Dari Sahl bin Sa'id bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

"Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga." (Al-Bukhari dalam Kitab Shahihnya hadits No. 6474)

Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua janggutnya adalah mulut. Sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan.

Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam"

Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan hadits-hadits Arba'in. Beliau menjelaskan: "Imam Syafi'i menjelaskan bahwa maksud hadis ini adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu."

Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silakan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara.

Sebagian ulama berkata, "Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para Malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara."

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam Kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala: "Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan.

Beliau berkata pula: "Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara."

Pentingnya Menjaga Lisan
Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan.

Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.

Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِأَبْعَدَمَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

"Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat." (HR Al-Bukhari dan dan Muslim)

Masalah ini disebutkan pula di akhir hadits yang berisi wasiat Nabi kepada sahabat Muadz yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi sekaligus dia komentari sebagai hadits yang hasan shahih. Dalam hadits tersebut Rasulullah bersabda:

وَهَلْ يَكُب
ُّالنَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَ مَنَا خِرِهِِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

"Bukankah tidak ada yang menjerumuskan orang ke dalam neraka selain buah lisannya?"

Perkataan Nabi di atas adalah sebagai jawaban atas pertanyaan Mu'adz.

يَا نَبِّيَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَا خَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ

"Wahai Nabi Allah, apakah kita kelak akan dihisab atas apa yang kita katakan?"

Salafus sholeh pernah mengomentari hadits ini. Yang dimaksud dengan buah lisannya adalah balasan dan siksaan dari perkataan-perkataannya yang haram. Sesungguhnya setiap orang yang hidup di dunia sedang menanam kebaikan atau keburukan dengan perkataan dan amal perbuatannya.

Kemudian pada hari Kiamat kelak dia akan menuai apa yang dia tanam. Barangsiapa yang menanam sesuatu yang baik dari ucapannya maupun perbuatan, maka dia akan menunai kemuliaan. Sebaliknya, barangsiapa yang menanam Sesuatu yang jelek dari ucapan maupun perbuatan maka kelak akan menuai penyesalan.

Demikian pentingnya perkara menjaga lisan dan hati. Semoga di bulan Ramadhan ini, kita dapat menjaga hati dan lisan dari hal-hal yang dapat menghanguskan pahala puasa.

(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2655 seconds (0.1#10.140)