Adakah Batasan Waktu Iktikaf? Ini Penjelasannya Menurut 4 Mazhab

Kamis, 06 Mei 2021 - 15:30 WIB
loading...
Adakah Batasan Waktu Iktikaf? Ini Penjelasannya Menurut 4 Mazhab
Menjelang 10 hari terakhir Ramadhan, umat muslim dianjurkan untuk iktikaf dan meningkatkan amal ibadahnya. Foto ilustrasi/ist
A A A
Iktikaf dalam 10 hari terakhir bulan Ramadhan sangat dianjurkan. Namun, berapa lama atau batasan waktu melaksanakan iktikaf ternyata ternyata memiliki ragam pendapat . Setiap ulama mazhab memiliki pendapatnya karena perbedaan atsar yang dijadikan hujjah.



Dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskan pandangan empat mazhab tentang batasan waktu iktikaf ini. Berikut penjelasannya;

Para ulama Mazhab Hanafi menyebutkan bahwa waktu mengerjakan iktikaf tidak ada batas waktunya. Asal sudah berniat melakukan iktikaf dan menetap sejenak di masjid sudah dianggap iktikaf. Ibadah apapun, berapapun lamanya, sudah dianggap iktikaf. Mereka pun tidak mensyaratkan puasa untuk melakukan iktikaf. Jika merujuk pada dalil ini, itu artinya tiap kali kita memasuk masjid maka bisa diniati untuk melakukan iktikaf.



Tak jauh berbeda dengan ulama Mazhab Hanafi, ulama Mazhab Syafi’i tidak mensyaratkan bermalam untuk melakukan iktikaf. Asal waktunya melebihi kadar tumakninah pada ruku dan sujud, itu sudah cukup untuk melakukan iktikaf. Hal yang berbeda adalah ulama Mazhab Syafi’i tidak mewajibkan puasa.

Berbeda halnya dengan ulama Mazhab Maliki yang mewajibkan sehari semalam dalam beriktikaf. Atau bisa dilakukan berapapun lamanya tapi tidak kurang 10 hari baik pada bulan Ramadhan atau tidak. Dan ulama Mazhab Maliki mensyaratkan puasa untuk melakukan iktikaf. Artinya dalam pandangan ulama mazhab ini, iktikaf tidak sah bagi orang yang tidak berpuasa pada siang harinya.



Sementara pada Mazhab Hanbali, waktu melakukan iktikaf palig sebentar adalah sepanjang waktu ia dianggap menetap, walau sebentar. Maka ulama mayoritas bersepakat untuk menetapkan waktu iktikaf baik pada bulan Ramadhan atau di luarnya adalah sebentar, selama ia berniat dan menetap di masjid. Hanya Mazhab Maliki yang menetapkan minimal melakukan sehari semalam.

Hal yang membuat pendapat ulama menjadi berbeda adalah pemahaman mereka terhadap hadis Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Hadis itu berbunyi:



حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عُمَرَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami (Ishaq bin Manshur) berkata, telah mengabarkan kepada kami (Yahya bin Sa’id Al Qaththan) dari (Ubaidullah bin Umar) dari (Nafi’) dari (Ibnu Umar) dari (Umar) ia berkata, “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, pada masa Jahilliyah aku pernah bernadzar untuk beriktikaf di masjidil haram selama satu malam?” beliau menjawab: “Laksanakanlah nadzarmu.” Ia berkata; “Dalam bab ini hadis serupa diriwayatkan dari Abdullah bin Amru dan Ibnu Abbas.” Abu Isa berkata; “Hadis Umar derajatnya hasan shahih.



Beberapa ulama menafsirkan berbeda. Mereka memaknai hadis tersebut adalah batasan dari Rasulullah dalam melakukan iktikaf. Atau mengqiyaskan tidak ada batasannya karena Umar mewajibkan dirinya melakukan iktikaf semalam dengan nazar, dan nazar wajib dilaksanakan. Adapun sebagian ulama mengartikan dari hadis ini bahwa iktikaf tidak ada batasan waktunya.



Wallahu A'lam

Sumber : - Kitab Fiqh al-Islam wa Adillatuhu karya Syekh Wahbah Zuhaili
- Bincangmuslimah.com
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2897 seconds (0.1#10.140)