Ketika Perempuan Boleh Menjadi Khatib Salat Id
loading...
A
A
A
Alhasil, dengan pendapat ini, maka menurut kalangan Syafiiyah pendirian salat id bisa diperinci sebagai 3 model, yaitu:
Pendapat yang mensyaratkan bolehnya mendirikan salat idul fitri dengan 4 ahli Jumat, 1 di antaranya hadir dan mendengar khotbah. Dengan demikian, 4 orang ahli Jumat yang berkumpul dalam satu tempat untuk mendirikan salat id, sudah bisa menyertakan khotbah di dalamnya. Dalam konteks ini, perempuan berarti tidak bisa menjadi khatib sebab harus terdiri dari ahli Jumat. (
Pendapat yang tidak mensyaratkan ketentuan pendirian salat Jumat. Dengan demikian, asal di tempat tersebut telah berkumpul sejumlah orang yang siap menjadi makmum, dan 1 di antaranya menjadi khatib dan sekaligus imam, maka hukumnya sudah boleh untuk mendirikan salat id, lengkap dengan khotbahnya.
Makmum yang terlibat di dalamnya tidak harus terdiri dari ahli Jumat, sebagaimana pendapat ini disampaikan oleh Imam Nawawi di atas.
Alhasil, jika hal ini terdapat pada komunitas khusus jamaah perempuan, maka seorang perempuan sudah bisa menjadi khatib dan Imam shalat id.
Pendapat yang mengadopsi qaul jadid (pendapat baru Imam Syafi’i) dan sekaligus qaul qadim (pendapat lama Imam Syafi’i). Artinya, ketentuan mengenai jumlah jamaah, adalah mengikut ketetapan adanya batasan minimal peserta yang terdiri dari ahli Jumat adalah berjumlah 40 orang, dengan 1 di antaranya menjadi Imam sekaligus khotib.
Pendapat ini disampaikan oleh Syeikh Abdurrahman al-Jaziri dalam Al-Fiqhu ala Al-Madzahib al-Arba’ah.
Alhasil, dengan pendapat ini, maka seorang perempuan tidak bisa menjadi khatib sekaligus imam dari shalat id disebabkan adanya ketentuan ahli Jumat.
Berdasarkan hasil perbandingan terhadap komposisi jamaah yang terlibat di dalam pendirian salat id, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab mengenai kebolehan perempuan menjadi khatib dan imam salat id.
Kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafiiyah serta Hanabilah menyatakan tidak bolehnya perempuan menjadi khatib salat id pada kasus pendirian jamaah salat Idul Fitri yang disertai khotbah.
Akan tetapi, menurut konteks pendapat al-Nawawi dalam Raudlatu al-Thalibin, karena tidak disyaratkan pendirian salat id terdiri dari ahli Jumat, maka dalam komunitas homogen (perempuan semua), perempuan bisa mendirikan jamaah salat id secara mandiri dan salah satunya bisa menjadi khatib sekaligus imam shalat id. Wallahu a’lam bish shawab. ( )
Pendapat yang mensyaratkan bolehnya mendirikan salat idul fitri dengan 4 ahli Jumat, 1 di antaranya hadir dan mendengar khotbah. Dengan demikian, 4 orang ahli Jumat yang berkumpul dalam satu tempat untuk mendirikan salat id, sudah bisa menyertakan khotbah di dalamnya. Dalam konteks ini, perempuan berarti tidak bisa menjadi khatib sebab harus terdiri dari ahli Jumat. (
Pendapat yang tidak mensyaratkan ketentuan pendirian salat Jumat. Dengan demikian, asal di tempat tersebut telah berkumpul sejumlah orang yang siap menjadi makmum, dan 1 di antaranya menjadi khatib dan sekaligus imam, maka hukumnya sudah boleh untuk mendirikan salat id, lengkap dengan khotbahnya.
Makmum yang terlibat di dalamnya tidak harus terdiri dari ahli Jumat, sebagaimana pendapat ini disampaikan oleh Imam Nawawi di atas.
Alhasil, jika hal ini terdapat pada komunitas khusus jamaah perempuan, maka seorang perempuan sudah bisa menjadi khatib dan Imam shalat id.
Pendapat yang mengadopsi qaul jadid (pendapat baru Imam Syafi’i) dan sekaligus qaul qadim (pendapat lama Imam Syafi’i). Artinya, ketentuan mengenai jumlah jamaah, adalah mengikut ketetapan adanya batasan minimal peserta yang terdiri dari ahli Jumat adalah berjumlah 40 orang, dengan 1 di antaranya menjadi Imam sekaligus khotib.
Pendapat ini disampaikan oleh Syeikh Abdurrahman al-Jaziri dalam Al-Fiqhu ala Al-Madzahib al-Arba’ah.
Alhasil, dengan pendapat ini, maka seorang perempuan tidak bisa menjadi khatib sekaligus imam dari shalat id disebabkan adanya ketentuan ahli Jumat.
Berdasarkan hasil perbandingan terhadap komposisi jamaah yang terlibat di dalam pendirian salat id, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab mengenai kebolehan perempuan menjadi khatib dan imam salat id.
Kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafiiyah serta Hanabilah menyatakan tidak bolehnya perempuan menjadi khatib salat id pada kasus pendirian jamaah salat Idul Fitri yang disertai khotbah.
Akan tetapi, menurut konteks pendapat al-Nawawi dalam Raudlatu al-Thalibin, karena tidak disyaratkan pendirian salat id terdiri dari ahli Jumat, maka dalam komunitas homogen (perempuan semua), perempuan bisa mendirikan jamaah salat id secara mandiri dan salah satunya bisa menjadi khatib sekaligus imam shalat id. Wallahu a’lam bish shawab. ( )
(mhy)