Pimpinan Tarjih Muhammadiyah Komentari Sholat Id di Rumah dan Kiamat Sudah Dekat
loading...
A
A
A
Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Hamim Ilyas mengomentari pernyataan warganet di media sosial yang mempertanyakan pemindahan salat Idul Adha dari masjid ke rumah sebagai tanda-tanda kiamat kian dekat.
Hamim dalam acara Pengajian Umum PP Muhammadiyah pekan lalu mengingatkan bahwa prosesi lebaran Idul Adha tidak boleh hanya dipandang sebagai dimensi ritual tahunan semata. Sayangnya, publik seringkali hanya menekankan aspek ritual dalam beragama, sehingga kalau ritual tidak seperti biasanya, mereka gusar seakan datang tanda-tanda akhir zaman.
Lalu ia menyebut ada satu grup di Whatsapp warga Muhammadiyah karena salat Idul Adha di rumah, maka dia mengeluhkan di media sosial: akhir zaman, salat Idul Adha di rumah, siapa khatibnya. "Jadi, salat Idul Adha di rumah saja dipandang sebagai akhir zaman,” tutur Hamim.
Karena itulah menurut Hamim, salat Idul Adha dan kurban memiliki dimensi-dimensi dan makna yang fungsional untuk mewujudkan tujuan pewahyuan risalah Islam. Salat Idul Adha hukumnya sunah muakkadah atau sunah yang sering dilakukan oleh Nabi SAW. Sebagai ibadah mahdlah-badaniyah, salat Idul Adha tentu tidak dapat diganti dengan ibadah lain atau dikerjakan orang lain (tidak bisa diwakilkan).
Sementara terkait dengan tempat pelaksanaan, salat Idul Adha idealnya dilaksanakan di tanah lapang. Apabila cuaca hujan maka dapat dilaksanakan di dalam masjid.
Tidak hanya itu, Hamim turut menerangkan bahwa pada zaman Nabi, ketika sahabat Nabi Anas bin Malik tidak dapat salat Id di tempat yang semestinya, beliau memerintahkan keluarganya untuk ikut salat Id bersamanya di rumah.
Keterangan ini menurut Hamim—mengutip Ibn Rajab dalam kitab Fath al-Bari— diperkuat sejumlah ulama terkemuka seperti Hasan Al-Basri, Ibn Sirin, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Idris al-Syafii, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain.
“Jadi menurut Ibn Rajab, empat Imam Mazhab itu membolehkan baik salat Idul Fitri maupun salat Iduladha di rumah. Pada masa pandemi Covid-19, salat Id ditiadakan itu tidak masalah atau dilaksanakan di rumah muslim masing-masing,” terang Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Karenanya, Hamim menegaskan bahwa salat Id di rumah bukan fenomena baru ataupun tanda-tanda akhir zaman. Pengalihan salat Id ke rumah sejatinya salah satu terapi ampuh untuk menata benang kusut persoalan hidup karena datangnya wabah Covid-19 ini. Bukan hanya dalam rangka menyelamatkan nyawa tapi juga untuk menyembuhkan semua sektor-sektor kehidupan.
Hamim kemudian menjelaskan teknis prosesi salat Iduladha di rumah bersama keluarga. Menurutnya, salat Id di rumah dapat mengandalkan salah satu anggota keluarga untuk khutbah dan memimpin salat. Tidak perlu khutbah yang panjang atau menggebu-gebu, menurut Hamim, cukup dengan membaca QS. Al Fatihah dan terjemahannya, khutbah dapat diakhiri.
“Tidak perlu mendatangkan khatib dari luar!” urai Hamim.
Hamim dalam acara Pengajian Umum PP Muhammadiyah pekan lalu mengingatkan bahwa prosesi lebaran Idul Adha tidak boleh hanya dipandang sebagai dimensi ritual tahunan semata. Sayangnya, publik seringkali hanya menekankan aspek ritual dalam beragama, sehingga kalau ritual tidak seperti biasanya, mereka gusar seakan datang tanda-tanda akhir zaman.
Lalu ia menyebut ada satu grup di Whatsapp warga Muhammadiyah karena salat Idul Adha di rumah, maka dia mengeluhkan di media sosial: akhir zaman, salat Idul Adha di rumah, siapa khatibnya. "Jadi, salat Idul Adha di rumah saja dipandang sebagai akhir zaman,” tutur Hamim.
Karena itulah menurut Hamim, salat Idul Adha dan kurban memiliki dimensi-dimensi dan makna yang fungsional untuk mewujudkan tujuan pewahyuan risalah Islam. Salat Idul Adha hukumnya sunah muakkadah atau sunah yang sering dilakukan oleh Nabi SAW. Sebagai ibadah mahdlah-badaniyah, salat Idul Adha tentu tidak dapat diganti dengan ibadah lain atau dikerjakan orang lain (tidak bisa diwakilkan).
Sementara terkait dengan tempat pelaksanaan, salat Idul Adha idealnya dilaksanakan di tanah lapang. Apabila cuaca hujan maka dapat dilaksanakan di dalam masjid.
Tidak hanya itu, Hamim turut menerangkan bahwa pada zaman Nabi, ketika sahabat Nabi Anas bin Malik tidak dapat salat Id di tempat yang semestinya, beliau memerintahkan keluarganya untuk ikut salat Id bersamanya di rumah.
Keterangan ini menurut Hamim—mengutip Ibn Rajab dalam kitab Fath al-Bari— diperkuat sejumlah ulama terkemuka seperti Hasan Al-Basri, Ibn Sirin, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Idris al-Syafii, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain.
“Jadi menurut Ibn Rajab, empat Imam Mazhab itu membolehkan baik salat Idul Fitri maupun salat Iduladha di rumah. Pada masa pandemi Covid-19, salat Id ditiadakan itu tidak masalah atau dilaksanakan di rumah muslim masing-masing,” terang Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Karenanya, Hamim menegaskan bahwa salat Id di rumah bukan fenomena baru ataupun tanda-tanda akhir zaman. Pengalihan salat Id ke rumah sejatinya salah satu terapi ampuh untuk menata benang kusut persoalan hidup karena datangnya wabah Covid-19 ini. Bukan hanya dalam rangka menyelamatkan nyawa tapi juga untuk menyembuhkan semua sektor-sektor kehidupan.
Hamim kemudian menjelaskan teknis prosesi salat Iduladha di rumah bersama keluarga. Menurutnya, salat Id di rumah dapat mengandalkan salah satu anggota keluarga untuk khutbah dan memimpin salat. Tidak perlu khutbah yang panjang atau menggebu-gebu, menurut Hamim, cukup dengan membaca QS. Al Fatihah dan terjemahannya, khutbah dapat diakhiri.
“Tidak perlu mendatangkan khatib dari luar!” urai Hamim.
(mhy)