Surat Al-Fatihah, Spiritualitas RA Kartini, dan Kyai Sholeh Darat

Selasa, 21 April 2020 - 09:07 WIB
loading...
Surat Al-Fatihah, Spiritualitas RA Kartini, dan Kyai Sholeh Darat
Berkat pertemuan dengan Kiai Sholeh Darat, Kartini semakin kukuh dengan agamanya. Ilustrasi/kaligrafi
A A A
SETIAP 21 April bangsa ini memperingati Hari Kartini. Perempuan kelahiran Jepara, Jawa Tengah, ini telah menjadi simbol emansipasi wanita. Bagi umat Islam, Kartini adalah sosok wanita “habis gelap terbitlah terang”. Ya, sebagaimana judul buku kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini dan dibukukan oleh oleh J.H. Abendanon dengan judul asli Door Duisternis Tot Licht.

Kartini hidup dalam keluarga yang berkecukupan. Keluarga Kartini dikenal sebagai keluarga santri-priyayi yang tekun dalam beragama dan dedikasi kuat dalam menjalankan roda pemerintahan.

Hanya saja, bagi Kartini, belajar al-Qur’an terasa hampa. Soalnya, ia hanya belajar mengeja dan membaca. Isi kandungan al-Qur’an tidak dapat ia serap. Ketika ia meminta guru ngajinya mengartikan al-Qur’an justru Kartini dimarahi. Kartini mulai gelisah dan sangat gelisah.

"Sebenarnya agamaku, agama Islam, hanya karena nenek moyangku beragama Islam. Manakah boleh aku cinta akan agamaku, kalau aku tiada kenal, tiada boleh mengenalnya? Quran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa mana juapun. Di sini tiada orang yang tahu bahasa Arab.

Orang diajar di sini membaca Quran, tetapi yang dibacanya itu tiada ia mengerti. Pikiranku, pekerjaan gilakah pekerjaan semacam itu, orang diajar di sini membaca, tetap tidak diajarkan makna yang dibacanya itu."

Surat bertarikh 6 November 1899 itu menandaskan betapa Kartini gundah dengan agamanya.

Pada saat itu memang belum ada tafsir al-Qur’an yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Melayu atau Jawa. Wajar, jika Kartini menjadi penasaran! Ia dibuat pusing oleh bahasa Arab dan dibuat penasaran oleh agamanya yang berbahasa Arab. Maka ia rindu dengan negeri Arab untuk belajar ke sana. Dan itu sangat tidak mungkin, sebab harapannya ke Belanda yang ia kuasai bahasanya saja gagal.

Maka ia menanti kehadiran orang Jawa yang pernah di negeri Arab agar bisa menjelaskan isi al-Qur’an.

Bertemu Kyai Sholeh Darat
Begitulah awalnya pandangan Kartini tentang al-Qur’an. Dia sempat tidak mau lagi membacanya, skeptis, karena tidak ada pengaruhnya sama sekali buat hidupnya karena tak bisa dipahaminya.

Pandangan itu kemudian berubah. Tak sengaja ia menghadiri pengajian dengan penceramah Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang, atau lebih dikenal dengan Kyai Sholeh Darat. Memang, Kartini tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh Darat kepada sahabat-sahabat penanya. Yang menuliskan kisah pertemuan ini adalah Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat.

Takdir, menurut Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholeh Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.

Kyai Sholeh Darat telah membuka wawasan Islam Kartini. Al-Qur’an yang demikian suci dibuka maknanya sehingga Kartini memahaminya.

Suatu ketika, Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.

Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil.

Berikut dialog Kartini dengan Kyai Sholeh. “Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.

Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.

“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al-Fatihah, surat pertama dan induk Al-Qur’an. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.

Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan: “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa? Bukankah Al-Qur’an adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Dialog berhenti sampai di situ. Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali mengucap subhanallah. Dialog dengan Kartini ini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar: menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa.

Saat itu penjajah Belanda secara resmi melarang menerjemahkan al-Qur’an. Kyai Sholeh Darat melanggar larangan ini, beliau menerjemahkan al-Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.

Kitab tafsir dan terjemahan al-Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. “Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”

Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu: Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya (QS. al-Baqarah: 257).

Siapa Kyai Sholeh Darat?
Kyai Sholeh Darat bernama lengkap Muhammad Salih ibn Umar Al-Samarani. Disebut Sholeh Darat karena mengelola pesantren di Darat, Semarang--sekarang masuk Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.

Banyak ulama besar pernah nyantri kepadanya, termasuk K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama).

Kyai Sholeh Darat pendakwah intelektual. Ia menulis hampir semua kitabnya dalam Arab berbahasa Jawa.

Kitab-kitabnya terdiri dari fikih, akidah, tafsir, sampai tasawuf. Ia jadi mufasir (ahli tafsir Alquran) pertama yang menulis dalam bahasa Jawa. Kitab Faidhul Rahman adalah kitab tafsir Al-Quran pertama yang ditulis dengan pegon.

Ingin menjangkau pembaca lebih luas, ia juga tak hanya menulis dalam bahasa Jawa kromo yang lazim digunakan dalam buku-buku puisi atau komunikasi antarpetinggi. Ia menulisnya dalam bahasa ngoko--bahasa Jawa untuk rakyat jelata.

Dalam salah satu pertemuan dengan Kartini, Kyai Sholeh Darat memberikan semua kitab-kitabnya yang berbahasa Jawa.

Berkat pertemuan dengan Kiai Sholeh Darat inilah Kartini semakin kukuh dengan agamanya. "Kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Serta dengan nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama kami patut disukai," tulis Kartini pada surat bertanggal 21 Juli 1902 kepada Nyonya Abendanon.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5447 seconds (0.1#10.140)