Yaman Pra-Islam: Abrahah dan Pembantaian 20.000 Umat Nasrani

Sabtu, 30 Mei 2020 - 05:00 WIB
loading...
Yaman Pra-Islam: Abrahah dan Pembantaian 20.000 Umat Nasrani
Abrahah al-Asyram, dulunya adalah seorang budak. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
Procopius, sejarawan utama pada abad ke-6, mencatat Abrahah juga dikenal sebagai Abrahah al-Asyram, dulunya adalah seorang budak dari pedagang Romawi di pantai Adulis, Eritrea (wilayah Abisinia). Dalam tradisi Islam , nama Abrahah dikenal sebagai raja dari Arab Selatan yang gagal merebut Ka'bah di Makkah pada sekitar tahun 570 Masehi.

Sementara al-Tabari (838- 923), sejarawan dan pemikir muslim dari Persia , menyebut Abrahah memiliki hubungan yang dekat dengan keluarga Kerajaan Aksum. Namun demikian, baik Procopius maupun al-Tabari bersepakat bahwa Abrahah merupakan salah satu jendral perang yang dikirim oleh Negus Kaleb untuk menyerang kerajaan Himyar yang dipimpin raja Dzu Nawas, seorang pengikut Yahudi .



Kisah ini terjadi di Yaman pada masa pra-Islam. Kala itu, Yaman adalah negeri di Jazirah Arab yang amat diperhitungkan. Negeri ini tanahnya subur. Hujan turun secara teratur pada setiap musim. Ia menjadi negeri peradaban yang kuat, dengan kota-kota yang makmur dan tempat-tempat beribadat yang kuat sepanjang masa.

Muhammad Husain Haekal dalam "Sejarah Hidup Muhammad" mendiskripsikan penduduk jazirah ini terdiri dari suku bangsa Himyar, suatu suku bangsa yang cerdas dan berpengetahuan luas. Air hujan yang menyirami bumi ini mengalir habis menyusuri tanah terjal sampai ke laut. Mereka membuat Bendungan Ma'rib yang dapat menampung arus air hujan sesuai dengan syarat-syarat peradaban yang berlaku.

Sebelum dibangunnya bendungan ini, air hujan yang deras terjun dari pegunungan Yaman yang tinggi-tinggi itu, menyusur turun ke lembah-lembah yang terletak di sebelah timur kota Ma'rib.

Mula-mula air turun melalui celah-celah dua buah gunung yang terletak di kanan-kiri lembah ini, memisahkan satu sama lain seluas kira-kira 400 meter. Apabila sudah sampai di Ma'rib air itu menyebar ke dalam lembah demikian rupa sehingga hilang terserap seperti di bendungan-bendungan Hulu Sungai Nil.



Berkat pengetahuan dan kecerdasan yang ada pada penduduk Yaman itu, mereka membangun sebuah bendungan, yaitu Bendungan Ma'rib. Bendungan ini dibangun daripada batu di ujung lembah yang sempit, lalu dibuatnya celah-celah guna memungkinkan adanya distribusi air ke tempat-tempat yang mereka kehendaki dan dengan demikian tanah mereka bertambah subur.

Menurut Haekal, peninggalan-peninggalan peradaban Himyar di Yaman yang pernah diselidiki - dan sampai sekarang penyelidikan itu masih diteruskan -menunjukkan, bahwa peradaban mereka pada suatu saat memang telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, juga sejarah pun menunjukkan bahwa Yaman pernah pula mengalami bencana.

Sungguhpun begitu peradaban yang dihasilkan dari kesuburan negerinya serta penduduknya yang menetap menimbulkan gangguan juga dalam lingkungan jazirah itu. Raja-raja Yaman kadang dari keluarga Himyar yang sudah turun-temurun, kadang juga dari kalangan rakyat Himyar sampai pada waktu Dhu Nuwas al-Himyari berkuasa.



Orang-orang Pembuat Parit
Dhu Nuwas sendiri condong sekali kepada agama Musa (Yudaisma), dan tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Ia belajar agama ini dari orang-orang Yahudi yang pindah dan menetap di Yaman.

Dhu Nuwas inilah yang disebut-sebut oleh ahli-ahli sejarah, yang termasuk dalam kisah "orang-orang yang membuat parit," yang diabadikan dalam Al--Qur'an.

قُتِلَ اَصۡحٰبُ الۡاُخۡدُوۡدِۙ
النَّارِ ذَاتِ الۡوَقُوۡدِۙ
اِذۡ هُمۡ عَلَيۡهَا قُعُوۡدٌ
وَّهُمۡ عَلٰى مَا يَفۡعَلُوۡنَ بِالۡمُؤۡمِنِيۡنَ شُهُوۡدٌ
وَمَا نَقَمُوۡا مِنۡهُمۡ اِلَّاۤ اَنۡ يُّؤۡمِنُوۡا بِاللّٰهِ الۡعَزِيۡزِ الۡحَمِيۡدِۙ

Binasalah orang-orang yang membuat parit (yaitu para pembesar Najran di Yaman),
yang berapi (yang mempunyai) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang mukmin. Dan mereka menyiksa orang-orang mukmin itu hanya karena (orang-orang mukmin itu) beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji. (QS Al-Buruj : 4-8)

Kisahnya ada seseorang yang bernama Dzu Nawas ia berpindah ke agama Yahudi, lantas ia memaksa penduduk Yaman yang beragama Nashrani untuk memeluk agama Yahudi, namun mereka menolak, akhirnya Dzu Nawas menggali parit dan membunuh mereka yang berjumlah sekitar 20 ribu orang (sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 8/363)

Cerita ini ringkasnya, menurut Haekal, ialah bahwa ada seorang pengikut Nabi Isa yang saleh bernama Phemion telah pindah dari Kerajaan Romawi ke Najran. Karena orang ini baik sekali, penduduk kota itu banyak yang mengikuti jejaknya, sehingga jumlah mereka makin lama makin bertambah juga. Setelah berita itu sampai kepada Dhu Nuwas, ia pergi ke Najran dan dimintanya kepada penduduk supaya mereka masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya.



Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuhnya kemudian dengan pedang atau dibikin cacat.

Menurut beberapa buku sejarah korban pembunuhan itu mencapai duapuluh ribu orang. Salah seorang di antaranya dapat lolos dari maut dan dari tangan Dhu Nuwas, ia lari ke Romawi dan meminta bantuan Kaisar Yustinianus atas perbuatan Dhu Nuwas itu.

Kudeta Abrahah
Oleh karena letak Kerajaan Romawi ini jauh dari Yaman, Kaisar itu menulis surat kepada Najasyi (Negus) supaya mengadakan pembalasan terhadap raja Yaman. Pada waktu itu [abad ke-6] Abisinia yang dipimpin oleh Najasyi sedang berada dalam puncak kemegahannya.

Perdagangan yang luas melalui laut disertai oleh armada yang kuat dapat menancapkan pengaruhnya sampai sejauh-jauhnya. Pada waktu itu ia menjadi sekutu Imperium Romawi Timur dan yang memegang panji Kristen di Laut Merah, sedang Kerajaan Rumawi Timur sendiri menguasainya di bagian Laut Tengah.



Setelah surat Kaisar sampai ke tangan Najasyi, ia mengirimkan bersama orang Yaman itu - yang membawa surat – sepasukan tentara di bawah pimpinan Aryat (Harith) dan Abrahah al-Asyram salah seorang prajuritnya. Aryat menyerbu Kerajaan Yaman atas nama penguasa Abisinia. Ia memerintah Yaman ini sampai ia dibunuh oleh Abrahah yang kemudian menggantikan kedudukannya.

Abrahah inilah yang memimpin pasukan gajah, dan dia yang kemudian menyerbu Makkah guna menghancurkan Ka'bah tetapi gagal.



Anak-anak Abrahah kemudian menguasai Yaman dengan tindakan sewenang-wenang. Melihat bencana yang begitu lama menimpa penduduk, Saif bin Dhi Yazan pergi hendak menemui Maharaja Romawi. Ia mengadukan hal itu kepadanya dan memintanya supaya mengirimkan penguasa lain dan Romawi ke Yaman. Tetapi karena adanya perjanjian persekutuan antara Kaisar Yustinianus dengan Najasyi tidak mungkin ia dapat memenuhi permintaan Saif bin Dhi Yazan itu. Oleh karena itu Saif meninggalkan Kaisar dan pergi menemui Nu'man bin'l-Mundhir selaku Gubernur yang diangkat oleh Kisra untuk daerah Hira dan sekitarnya di Irak.

Nu'man dan Saif bin Dhi Yazan bersama-sama datang menghadap Kisra Parvez. Waktu itu ia sedang duduk dalam ruangan resepsi yang megah dihiasi oleh lukisan-lukisan bimasakti pada bagian tahta itu. Di tempat musim dinginnya bagian ini dikelilingi dengan tabir-tabir dari bulu binatang yang mewah sekali. Di tengah-tengah itu bergantungan lampu-lampu kendil terbuat daripada perak dan emas dan diisi penuh dengan air tawar.

Di atas tahta itulah terletak mahkotanya yang besar berhiaskan batu delima, kristal dan mutiara bertali emas dan perak, tergantung dengan rantai dari emas pula. Ia sendiri memakai pakaian serba emas. Setiap orang yang memasuki tempat itu akan merasa terpesona oleh kemegahannya. Demikian juga halnya dengan Saif bin Dhi Yazan.

Kisra menanyakan maksud kedatangannya itu dan Saif pun bercerita tentang kekejaman Abisinia di Yaman. Sungguhpun pada mulanya Kisra Parvez ragu-ragu, tetapi kemudian ia mengirimkan juga pasukannya di bawah pimpinan Wahraz, salah seorang keluarga ningrat Persia yang paling berani. Persia telah mendapat kemenangan dan orang-orang Abisinia dapat diusir dari Yaman yang sudah didudukinya selama 72 tahun itu.

Sejak itulah Yaman berada di bawah kekuasaan Persia. Akan tetapi orang-orang asing yang telah menguasai Yaman itu tidak langsung di bawah kekuasaan Raja Persia. Terutama hal itu terjadi setelah Syirawih (Shiruya Kavadh II) membunuh ayahnya, Kisra Parvez, dan dia sendiri menduduki takhta.



Ia membayangkan - dengan pikirannya yang picik itu bahwa dunia dapat dikendalikan sekehendaknya dan bahwa kerajaannya membantu memenuhi kehendaknya yang sudah hanyut dalam hidup kesenangan itu. Masalah-masalah kerajaan banyak sekali yang tidak mendapat perhatian karena dia sudah mengikuti nafsunya sendiri. Ia pergi memburu dalam suatu kemewahan yang belum pernah terjadi Ia berangkat diiringi oleh pemuda-pemuda ningrat berpakaian merah, kuning dan lembayung, dikelilingi oleh pengiring-pengiring yang membawa burung elang dan harimau yang sudah dijinakkan dan ditutup moncongnya; oleh budak-budak yang membawa wangi-wangian, oleh pengusir-pengusir lalat dan pemain-pemain musik. Supaya merasa dirinya dalam suasana musim semi sekalipun sebenarnya dalam musim dingin yang berat, ia beserta rombongannya duduk di atas permadani yang lebar dilukis dengan lorong-lorong, ladang dan kebun yang ditanami bunga-bungaan aneka warna, dan dilatarbelakangi oleh semak-semak, hutan hijau serta sungai-sungai berwarna perak.

Tetapi sungguhpun Syirawih begitu jauh mengikuti kesenangannya, kerajaan Persia tetap dapat mempertahankan kemegahannya, dan tetap merupakan lawan yang kuat terhadap kekuasaan Bizantium dan penyebaran Kristen. Sekalipun dengan naik tahtanya Syirawih ini telah mengurangi kejayaan kerajaannya, ia telah memberi kesempatan kepada kaum Muslimin memasuki negerinya dan menyebarkan Islam.

Yaman yang telah dijadikan gelanggang pertentangan sejak abad ke-4 itu, menurut Haekal, sebenarnya telah meninggalkan bekas yang dalam sekali dalam sejarah Semenanjung Arab dari segi pembagian penduduknya. Disebutkan bahwa Bendungan Ma'rib yang oleh suku-bangsa Himyar telah dimanfaatkan untuk keuntungan negerinya, telah hancur pula dilanda banjir besar. Disebabkan oleh adanya pertentangan yang terus-menerus itu, lalailah mereka yang harus selalu mengawasi dan memeliharanya.* (Baca juga: Habib Ali Masyhur Wafat, Ulama di Yaman dan Indonesia Berduka )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2096 seconds (0.1#10.140)