Kesantunan Rasulullah SAW dalam Berbahasa Menyangkut Masalah Tabu
loading...
A
A
A
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) bertutur kata santun, lembut, bersahaja serta menjaga kesopanan. Beliau tidak pernah menjadikan hal tabu (baca: seks) sebagai bumbu dalam pembicaraan. "Tidak menggunakan ungkapan porno," tulis Prof DR Fadhl Ilahi dalam kitab an Nabiyyi al Karim Mu’alliman.
Imam al Bukhari meriwayatkan dari ‘ Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu, ia mengatakan:
لَمْ يَكُنْ النَّيُِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا
Nabi SAW bukan orang yang perkataannya keji ataupun orang yang berusaha berkata keji. (HR al Bukhari, no. 3559).
Beliau biasa menggunakan bahasa kinayah (kiasan) saat menyinggung perbuatan yang keji, atau jika membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan aurat.
Sebagai contoh, yaitu hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berisi tata cara membersihkan diri dari menstruasi.
Imam al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu anhuma , ia berkata: “Ada seorang wanita bertanya kepada Nabi, bagaimana cara mandi dari haidhnya”.
‘Aisyah kemudian menceritakan, bahwa beliau (Nabi SAW) mengajarinya cara mandi. Dan kemudian diperintahkan untuk mengambil secarik kertas (dengan dibubuhi) misik untuk ia pakai ketika membersihkannya.
Wanita tadi bertanya: “Bagaimana cara aku membersihkan diri?”
Seraya menutupi wajah, Beliau menjawab: “Subhanallah, bersihkan dengannya”.
‘Aisyah berkata, ”Kemudian aku tarik ia, dan aku paham apa yang dimaksud Nabi. Maka aku katakan kepadanya, ’Bersihkan dengannya bekas-bekas darah’.” (HR al Bukhari, 314 dan Muslim, 332).
Dalam hadits ini, Beliau SAW menggunakan kata “kemudian ambil secarik kertas (yang diberi) misik, dan bersihkanlah dengannya” untuk menggantikan usaplah kemaluanmu dengan kertas yang sudah diberi aroma minyak misik.
Dari hadits tersebut, al Hafizh Ibnu Hajar menarik kesimpulan penting, bahwa hadits ini mengandung pelajaran disunnahkannya menggunakan kata kiasan dalam hal yang berhubungan dengan aurat, cukup dengan menyinggungnya secara implisit dan pemberian isyarat dalam masalah-masalah yang tidak etis.[Fathul Bari (1/416). Lihat pula Syahur an Nawawi (4/114) dan ‘Umdatu al Qari (3/287)]
Hadits lain, sebuah riwayat yang mengisahkan Juraij, seorang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil. Dalam hadits yang panjang tersebut, seorang wanita pezina menawarkan diri untuk berbuat tidak senonoh dengan Juraij.
Nabi SAW membawakannya dengan kata-kata:
فَتَعَرَّضَتْ لَهُ امْرَأَةٌ وَكَلَّمَـتـْهُ فَأَبَى
Maka datanglah seorang wanita yang menghadangnya dan ‘mengajaknya berbicara’, namun ia menolak. (HR al Bukhari dengan selengkapnya no. 3436).
Imam Ibnu Abi Jamrah menuliskan catatan untuk hadits ini dengan berkata : “Dalam hadits ini terdapat petunjuk, bahwa termasuk etika menurut Sunnah Nabi adalah menggunakan bahasa kiasan untuk hal-hal yang tidak senonoh”.
Pelajaran ini terdapat dalam ungkapan ‘dan ia mengajaknya berbicara’, padahal makna yang dimaksud adalah, wanita itu minta dirinya untuk berbuat kekejian (zina) dengannya”. Nabi cukup menjelaskannya dengan ‘dan ia mengajaknya berbicara'[Bahjatu an Nufus (4/46)].
Begitu juga saat Rasulullah menyebutkan salah satu golongan dari tujuh golongan yang nantinya mendapatkan naungan pada hari saat tidak ada naungan selain naungan Allah, yaitu pemuda yang diajak berzina oleh seorang wanita berparas cantik lagi berstatus sosial tinggi, Beliau SAW mengatakan dengan ungkapan:
وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ …
dan seorang pemuda yang diminta oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, tetapi ia mengatakan “aku takut kepada Allah”. (HR al Bukhari no. 660).
Ibnu Abi Jamrah mengatakan, di antara pelajaran yang dikandung (hadits ini), sesuai dengan petunjuk sunnah, (yaitu) menggunakan kata kiasan untuk sesuatu yang buruk menurut syariat dan menjauhi untuk menyebutkannya langsung.
Ini diambil dari sabda beliau “diminta oleh seorang wanita”, padahal yang dimaksud adalah ajakan untuk berzina, dan Beliau tidak mengatakannya dengan terus-terang.
Imam al Bukhari meriwayatkan dari ‘ Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu, ia mengatakan:
لَمْ يَكُنْ النَّيُِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا
Nabi SAW bukan orang yang perkataannya keji ataupun orang yang berusaha berkata keji. (HR al Bukhari, no. 3559).
Beliau biasa menggunakan bahasa kinayah (kiasan) saat menyinggung perbuatan yang keji, atau jika membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan aurat.
Sebagai contoh, yaitu hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berisi tata cara membersihkan diri dari menstruasi.
Imam al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu anhuma , ia berkata: “Ada seorang wanita bertanya kepada Nabi, bagaimana cara mandi dari haidhnya”.
‘Aisyah kemudian menceritakan, bahwa beliau (Nabi SAW) mengajarinya cara mandi. Dan kemudian diperintahkan untuk mengambil secarik kertas (dengan dibubuhi) misik untuk ia pakai ketika membersihkannya.
Wanita tadi bertanya: “Bagaimana cara aku membersihkan diri?”
Seraya menutupi wajah, Beliau menjawab: “Subhanallah, bersihkan dengannya”.
‘Aisyah berkata, ”Kemudian aku tarik ia, dan aku paham apa yang dimaksud Nabi. Maka aku katakan kepadanya, ’Bersihkan dengannya bekas-bekas darah’.” (HR al Bukhari, 314 dan Muslim, 332).
Dalam hadits ini, Beliau SAW menggunakan kata “kemudian ambil secarik kertas (yang diberi) misik, dan bersihkanlah dengannya” untuk menggantikan usaplah kemaluanmu dengan kertas yang sudah diberi aroma minyak misik.
Dari hadits tersebut, al Hafizh Ibnu Hajar menarik kesimpulan penting, bahwa hadits ini mengandung pelajaran disunnahkannya menggunakan kata kiasan dalam hal yang berhubungan dengan aurat, cukup dengan menyinggungnya secara implisit dan pemberian isyarat dalam masalah-masalah yang tidak etis.[Fathul Bari (1/416). Lihat pula Syahur an Nawawi (4/114) dan ‘Umdatu al Qari (3/287)]
Hadits lain, sebuah riwayat yang mengisahkan Juraij, seorang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil. Dalam hadits yang panjang tersebut, seorang wanita pezina menawarkan diri untuk berbuat tidak senonoh dengan Juraij.
Nabi SAW membawakannya dengan kata-kata:
فَتَعَرَّضَتْ لَهُ امْرَأَةٌ وَكَلَّمَـتـْهُ فَأَبَى
Maka datanglah seorang wanita yang menghadangnya dan ‘mengajaknya berbicara’, namun ia menolak. (HR al Bukhari dengan selengkapnya no. 3436).
Imam Ibnu Abi Jamrah menuliskan catatan untuk hadits ini dengan berkata : “Dalam hadits ini terdapat petunjuk, bahwa termasuk etika menurut Sunnah Nabi adalah menggunakan bahasa kiasan untuk hal-hal yang tidak senonoh”.
Pelajaran ini terdapat dalam ungkapan ‘dan ia mengajaknya berbicara’, padahal makna yang dimaksud adalah, wanita itu minta dirinya untuk berbuat kekejian (zina) dengannya”. Nabi cukup menjelaskannya dengan ‘dan ia mengajaknya berbicara'[Bahjatu an Nufus (4/46)].
Begitu juga saat Rasulullah menyebutkan salah satu golongan dari tujuh golongan yang nantinya mendapatkan naungan pada hari saat tidak ada naungan selain naungan Allah, yaitu pemuda yang diajak berzina oleh seorang wanita berparas cantik lagi berstatus sosial tinggi, Beliau SAW mengatakan dengan ungkapan:
وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ …
dan seorang pemuda yang diminta oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, tetapi ia mengatakan “aku takut kepada Allah”. (HR al Bukhari no. 660).
Ibnu Abi Jamrah mengatakan, di antara pelajaran yang dikandung (hadits ini), sesuai dengan petunjuk sunnah, (yaitu) menggunakan kata kiasan untuk sesuatu yang buruk menurut syariat dan menjauhi untuk menyebutkannya langsung.
Ini diambil dari sabda beliau “diminta oleh seorang wanita”, padahal yang dimaksud adalah ajakan untuk berzina, dan Beliau tidak mengatakannya dengan terus-terang.
(mhy)