Potret Sultan Muhammad Al-Fatih Jawaban dari Bisyarah Rasulullah SAW

Kamis, 16 September 2021 - 11:18 WIB
loading...
Potret Sultan Muhammad Al-Fatih Jawaban dari Bisyarah Rasulullah SAW
Sultan Muhammad Al-Fatih menjadi jawaban dari bisyarah Rasulullah SAW. (Foto/Ilustrasi: Ist)
A A A
SULTAN Muhammad Al-Fatih telah menjadi jawaban dari bisyarah Rasulullah SAW yang tertera pada hadisnya. “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR Ahmad bin Hanbal Al Musnad).



Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, menjelaskan sesungguhnya, penaklukan Konstantinopel tidak dimulai dari nol. la merupakan hasil akumulatif perjuangan kaum muslimin selama berabad-abad, sejak awal masa berkembangnya Islam. Hal itu didorong oleh kabar gembira yang pernah diucapkan Rasulullah, sebagaimana hadis tersebut.

Perhatian untuk kembali menaklukkan Konstantinopel semakin kuat bersamaan dengan munculnya pemerintahan Bani Utsmani.

Kalau diperhatikan, ternyata para Sultan Bani Utsman termasuk para pemimpin yang memiliki pemahaman fikih yang sangat kuat tentang perlunya menyediakan segala faktor-faktor yang dibutuhkan, untuk mencapai tujuan.

Kendati demikian, para sejarawan menyebutkan banyak faktor penyebab takluknya Konstantinopel, seperti lemahnya Imperium Byzantium, terjadinya perseteruan teologi di internal bangsa Byzantium, dan adanya persaingan antara Negara-negara Eropa sendiri, dalam masa yang sangat panjang.

Lepas dari itu, kalau diperhatikan, ternyata para Sultan Bani Utsman termasuk para pemimpin yang memiliki pemahaman fikih yang sangat kuat tentang perlunya menyediakan segala faktor-faktor yang dibutuhkan, untuk mencapai tujuan. Muhammad Al-Fatih sendiri termasuk Sultan yang sangat getol menempuh jalan itu dalam perjalanan jihadnya. Dia sangat tekun berusaha menjalankan firman Allah yang berbunyi:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ


Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang" ( Al-Anfal: 60 )

Syair Al-Fatih
Muhammad Al-Fatih terdidik dalam pendidikan Rabbani merasa bangga dengan makna-makna dan nilai-nilainya yang begitu agung. Hal ini bisa kita dapatkan di dalam syairnya:

”Wa Hamasi (dan semangatku); Adalah mengeluarkan semua upaya
untuk mengabdi pada agama saya, agama Allah.

Wa Azmi (tekadku); Saya akan membuat orang-orang kafir bertekuk-lutut
dengan balatentaraku, berkat kelembutan Allah.

Wa Tafkiri (dan pusat pikiranku); Terpusat pada kemenangan yang
datang dari rahmat Allah.

Wa Jihadi (jihadku); Adalah dengan jiwa raga dan harta benda.
Lalu apa makna dunia setelah ketaatan kepada perintah Allah?

Wa Asywaqi (kerinduanku); dan perang ratusan ribu kali untuk mendapatkan ridha Allah.

Wa Rajai (harapanku); Adalah pertolongan Allah, dan kemenangan negara ini atas musuh-musuh Allah.”



Gelar Al-Ghazi
Tatkala Sultan Muhammad Al-Fatih ingin menaklukkan kota Trabzon yang dipimpin oleh seorang Nasrani, dia ingin memperdayakannya. Untuk itu sultan segera mempersiapkan segalanya. Dia disertai sejumlah tentara dan pasukan khusus yang bertugas menebang pohon penghalang dan meretas jalan dalam perjalanannya, Sultan Muhammad Al-Fatih banyak menghadapi kendala karena adanya gunung-gunung yang menjulang tinggi.

Dia pun segera turun dari pelana kudanya, dan naik bebukitan dengan kedua tangan dan kakinya, layaknya para tentara. Saat itu ada ibu Hasan Uzun pemimpin Turkman, yang datang khusus untuk melakukan ishlah (perbaikan) antara Sultan dan anaknya.

Maka berkatalah perempuan itu, “Kenapa kau harus bersusah-payah melakukan ini, wahai anakku. Apakah Trabzon berhak untuk kau perjuangkan dengan cara seperti ini?”

Sultan Muhammad Al-Fatih menjawab, “Wahai ibu, sesungguhnya Allah telah meletakkan pedang di tangan saya untuk berjihad di jalan-Nya. Maka jika saya tidak mampu untuk bersabar dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ini, dan tidak saya lakukan kewajibanku dengan pedang ini, maka sangat tidak pantas bagiku untuk mendapatkan gelar Al-Ghazi yang saya sandang ini. Lalu bagaimana saya akan menemui Allah pada Hari Kiamat nanti?”

Demikian pulalah sikap sebagian besar tentara, berkat pendidikan keimanan yang dalam dan mantap. Pasukan Muhammad Al-Fatih tatkala melakukan pengepungan Konstantinopel berada dalam kondisi akidah yang sangat baik, dan ibadah yang demikian mapan, serta mampu meninggikan syiar-syiar agama Allah dan rasa ketundukan terhadap Tuhan alam semesta.

Dan Sultan Muhammad Al-Fatih memang telah menjadi jawaban dari bisyarah Rasulullah SAW. Dia adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3154 seconds (0.1#10.140)