Ketika Hasan al-Basri dengan Rabiah al-Adawiyah Saling Tunjukkan Karamah
loading...
A
A
A
Suatu ketika dua sufi besar Hasan al-Basri dan Rabiah al-Adawiyah bertemu. Keduanya sempat pamer kesaktian ( karamah ). Kisah ini diceritakan Farid al-Din Attar dalam bukunya berjudul Tadhkirat al-Auliya’ dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh A. J. Arberry menjadi Muslim Saints and Mystics.
Rabiah al-Adawiyah adalah seorang sufi wanita pertama yang melegenda. Dia dilahirkan di Basra, Iraq, pada era Dinasti Abbasiyah berkuasa.
Farid al-Din Attar menyebut tahun kelahiran Rabiah al-Adawiyah pada tahun 752 M. Namun Sophia Pandya dalam bukunya Rabia al-Adawiyya menyebut 717 M. [Sophia Pandya, Rabia al-Adawiyya, dalam Juan E. Campo, Encyclopedia of Islam (Facts On File, 2009)]
Meskipun jarak usianya terpaut cukup jauh dengan Hasan al-Basri yang lahir pada tahun 642 M, namun dalam banyak kisah, keduanya digambarkan pernah bertemu dan memiliki kedekatan sebagai sesama sufi.
Farid al-Din Attar menceritakan:
Pada hari lain Rabiah melewati rumah Hasan. Ketika itu Hasan sedang termenung di jendela, dia menangis dan air matanya jatuh ke pakaian Rabiah. Rabiah melihat ke atas, pada awalnya dia berpikir bahwa itu adalah hujan; kemudian, menyadari bahwa itu adalah air mata Hasan, dia menoleh padanya dan memanggilnya.
“Guru, tangisan ini adalah tanda kelesuan spiritual. Jagalah air matamu, jika tidak, di dalam dirimu akan menggelora samudra sehingga engkau tidak dapat lagi mengenal dirimu dan hanya melalui Raja yang maha perkasa engkau dapat menemukannya kembali,” kata Rabiah.
Kata-kata Rabiah membuat Hasan menderita, namun dia tetap diam.
Lalu suatu hari Hasan melihat Rabiah ketika dia sedang berada di dekat sebuah danau. Sambil melemparkan sajadahnya ke atas permukaan air, dia memanggil, “Rabiah, ke sini! Mari kita shalat dua rakaat di atasnya!”
“Hasan,” jawab Rabiah, “ketika engkau memperlihatkan karamahmu di depan orang-orang, semestinya itu adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh siapapun.”
Rabiah kemudian melemparkan sajadahnya ke udara, dan dia naik ke atasnya.
“Kemarilah Hasan, di mana orang-orang dapat melihat kita!” serunya.
Hasan, yang belum mencapai tingkatan seperti itu, tidak dapat berkata apa-apa. Rabiah berusaha menghiburnya.
“Hasan,” katanya, “Apa yang engkau lakukan juga dilakukan ikan, dan apa yang kulakukan juga dilakukan lalat. Urusan yang sebenarnya berada di luar kedua karamah ini. Seseorang harus menetapkan dirinya sendiri ke urusan yang lebih nyata.”
Jari yang Bercahaya
Suatu malam, Hasan dengan dua atau tiga temannya pergi mengunjungi Rabiah. Rabiah tidak memiliki lentera. Hasan dan kawan-kawannya berpikir alangkah lebih baiknya jika di sana ada cahaya. Rabiah kemudian meniup jarinya, dan sejak malam itu hingga subuh, jari Rabiah bersinar seperti lentera, dan mereka dapat duduk bersama dengan disinari oleh cahaya.
“Jika ada yang bertanya, ‘Bagaimana ini bisa terjadi?’ Aku akan menjawab, ‘Sama seperti tangan Musa .’ Jika mereka keberatan dan menyanggah, ‘Tetapi Musa adalah seorang nabi,’ aku akan menjawab, ‘Siapa pun yang mengikuti jejak Nabi dapat memiliki setitik kenabian,’ seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi sendiri, ‘Barangsiapa yang menolak hal-hal yang tidak berarti dari sesuatu yang haram, (maka dia) telah mencapai tingkat kenabian.’ Dia juga berkata, ‘Mimpi yang benar adalah satu per empat puluh dari kenabian,’,” kata Rabiah.
Rabiah al-Adawiyah adalah seorang sufi wanita pertama yang melegenda. Dia dilahirkan di Basra, Iraq, pada era Dinasti Abbasiyah berkuasa.
Farid al-Din Attar menyebut tahun kelahiran Rabiah al-Adawiyah pada tahun 752 M. Namun Sophia Pandya dalam bukunya Rabia al-Adawiyya menyebut 717 M. [Sophia Pandya, Rabia al-Adawiyya, dalam Juan E. Campo, Encyclopedia of Islam (Facts On File, 2009)]
Meskipun jarak usianya terpaut cukup jauh dengan Hasan al-Basri yang lahir pada tahun 642 M, namun dalam banyak kisah, keduanya digambarkan pernah bertemu dan memiliki kedekatan sebagai sesama sufi.
Farid al-Din Attar menceritakan:
Pada hari lain Rabiah melewati rumah Hasan. Ketika itu Hasan sedang termenung di jendela, dia menangis dan air matanya jatuh ke pakaian Rabiah. Rabiah melihat ke atas, pada awalnya dia berpikir bahwa itu adalah hujan; kemudian, menyadari bahwa itu adalah air mata Hasan, dia menoleh padanya dan memanggilnya.
“Guru, tangisan ini adalah tanda kelesuan spiritual. Jagalah air matamu, jika tidak, di dalam dirimu akan menggelora samudra sehingga engkau tidak dapat lagi mengenal dirimu dan hanya melalui Raja yang maha perkasa engkau dapat menemukannya kembali,” kata Rabiah.
Kata-kata Rabiah membuat Hasan menderita, namun dia tetap diam.
Lalu suatu hari Hasan melihat Rabiah ketika dia sedang berada di dekat sebuah danau. Sambil melemparkan sajadahnya ke atas permukaan air, dia memanggil, “Rabiah, ke sini! Mari kita shalat dua rakaat di atasnya!”
“Hasan,” jawab Rabiah, “ketika engkau memperlihatkan karamahmu di depan orang-orang, semestinya itu adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh siapapun.”
Rabiah kemudian melemparkan sajadahnya ke udara, dan dia naik ke atasnya.
“Kemarilah Hasan, di mana orang-orang dapat melihat kita!” serunya.
Hasan, yang belum mencapai tingkatan seperti itu, tidak dapat berkata apa-apa. Rabiah berusaha menghiburnya.
“Hasan,” katanya, “Apa yang engkau lakukan juga dilakukan ikan, dan apa yang kulakukan juga dilakukan lalat. Urusan yang sebenarnya berada di luar kedua karamah ini. Seseorang harus menetapkan dirinya sendiri ke urusan yang lebih nyata.”
Jari yang Bercahaya
Suatu malam, Hasan dengan dua atau tiga temannya pergi mengunjungi Rabiah. Rabiah tidak memiliki lentera. Hasan dan kawan-kawannya berpikir alangkah lebih baiknya jika di sana ada cahaya. Rabiah kemudian meniup jarinya, dan sejak malam itu hingga subuh, jari Rabiah bersinar seperti lentera, dan mereka dapat duduk bersama dengan disinari oleh cahaya.
“Jika ada yang bertanya, ‘Bagaimana ini bisa terjadi?’ Aku akan menjawab, ‘Sama seperti tangan Musa .’ Jika mereka keberatan dan menyanggah, ‘Tetapi Musa adalah seorang nabi,’ aku akan menjawab, ‘Siapa pun yang mengikuti jejak Nabi dapat memiliki setitik kenabian,’ seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi sendiri, ‘Barangsiapa yang menolak hal-hal yang tidak berarti dari sesuatu yang haram, (maka dia) telah mencapai tingkat kenabian.’ Dia juga berkata, ‘Mimpi yang benar adalah satu per empat puluh dari kenabian,’,” kata Rabiah.
(mhy)