Ketika Tasawuf Menjadi Gerakan Oposisi: Tokoh Utama Imam Hasan Al-Basri

Kamis, 10 Oktober 2024 - 16:54 WIB
loading...
Ketika Tasawuf Menjadi...
Ketokohan Hasan cukup hebat, sehingga kelompok-kelompok penentang rezim Umayyah banyak yang mengambil ilham dan semangatnya. Ilustrasi: Ist
A A A
TIDAK dapat dibantah bahwa dari sekian banyak para nabi dan rasul, Nabi Muhammad SAW adalah yang paling sukses dalam melaksanakan tugas.

Ketika beliau wafat, boleh dikatakan seluruh Jazirah Arabia telah menyatakan tunduk kepada Madinah . Dan tidak lama setelah itu, di bawah pimpinan para khalifah , daerah kekuasaan politik Islam dengan amat cepat meluas sehingga meliputi hampir seluruh bagian dunia yang saat itu merupakan pusat peradaban manusia, khususnya kawasan inti yang terbentang dari Sungai Nil di barat sampai Sungai Amudarya (Oxus) di timur.

Sukses luar biasa di bidang militer dan politik itu membawa berbagai akibat yang sangat luas. Salah satunya ialah bahwa sejak dari semula terdapat perhatian yang amat besar pada kaum Muslim, khususnya para penguasa, pada bidang-bidang yang menyangkut masalah pengaturan masyarakat.



"Maka tidaklah mengherankan bahwa dari berbagai segi agama Islam, bagian yang paling awal memperoleh banyak penggarapan yang serius, termasuk penyusunannya menjadi sistem yang integral, ialah yang berkenaan dengan hukum," tulis Cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid atau Cak Nur dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban".

Sedemikian rupa kuatnya posisi segi hukum dari ajaran agama itu, menurut Cak Nur, sehingga pemahaman hukum agama menjadi identik dengan pemahaman keseluruhan agama itu sendiri, yaitu "fiqh" (yang makna asalnya ialah "pemahaman"), dan jalan hidup berhukum menjadi identik dengan keseluruhan jalan hidup yang benar, yaitu " syariah " (yang makna asalnya ialah "jalan").

Kata-kata "syariah" itu sebenarnya kurang lebih sama maknanya dengan kata-kata "sabil," "shirath," "minhaj," "mansak" ("manasik"), "maslak" ("suluk") dan "thariqah" yang juga digunakan dalam al-Quran.

"Sudah tentu hal tersebut tidak seluruhnya salah," kata Cak Nur.



Dalam suatu masyarakat yang sering terancam oleh kekacauan (Arab: fawdla, yakni, chaos) karena fitnah-fitnah (dimulai dengan pembunuhan 'Utsman), dan jika masyarakat itu meliputi daerah kekuasaan yang sedemikian luas dan heterogennya, kepastian hukum dan peraturan, serta ketertiban dan kemanan, adalah nilai-nilai yang jelas amat berharga. Maka kesalehan pun banyak dinyatakan dalam ketaatan kepada ketentuan hukum, dan perlawanan kepada penguasa, khususnya perlawanan yang bersifat keagamaan (pious opposition), juga selalu menyertakan tuntutan agar hukum ditegakkan.

Tetapi kesalehan yang bertumpu kepada kesadaran hukum (betapapun ia tidak bisa diabaikan sama sekali karena mempunyai prioritas yang amat tinggi) akan banyak berurusan dengan tingkah laku lahiriah manusia dan hanya secara parsial saja berurusan dengan hal-hai batiniah.

Dengan kata-kata lain, menurut Cak Nur, orientasi fiqh dan syari'ah lebih berat mengarah kepada eksoterisisme, dengan kemungkinan mengabaikan esoterisme yang lebih mendalam.

Maka demikian pula gerakan oposisi terhadap praktik-praktik regimenter pemerintahan kaum Umawi di Damaskus. Sebagian bentuk oposisi itu terjadi karena dorongan politik semata, seperti gerakan oposisi orang-orang Arab Irak, karena para penguasa Damaskus lebih mendahulukan orang-orang Arab Syria.



Tetapi sebagian lagi, justru yang lebih umum, oposisi itu timbul karena pandangan bahwa kaum Umawi kurang "relijius." Tokoh Imam Hasan Basri dari Basrah mewakili kelompok gerakan oposisi jenis ini.

Ketokohan Imam Hasan al-Basri cukup hebat, sehingga kelompok-kelompok penentang rezim Umayyah banyak yang mengambil ilham dan semangatnya dari Hasan, yang dianggap pendiri Mu'tazilah (Washil ibn 'Atha, yang dianggap pendiri Mu'tazilah, asalnya adalah murid Hasan), begitu pula para 'ulama dengan orientasi Sunni, dan orang-orang Muslim dengan kecenderungan hidup zuhud (asketik).

Mereka yang tersebut terakhir inilah, sejak munculnya di Basrah, yang disebut kaum Sufi (Shufi), konon karena pakaian mereka yang terdiri dari bahan wol (Arab: shuf) yang kasar sebagai lambang kezuhudan mereka.

Dari kata-kata shuf itu pula terbentuk kata-kata tashawwuf ( tasawuf ), yaitu, kurang lebih, ajaran kaum Sufi.

Dalam perkembangannya lebih lanjut, Tasawuf tidak lagi bersifat terutama sebagai gerakan oposisi politik. Meskipun semangat melawan atau mengimbangi susunan mapan dalam masyarakat selalu merupakan ciri yang segera dapat dikenali dari tingkah laku kaum Sufi, tetapi itu terjadi pada dasarnya karena dinamika perkembangan gagasan kesufian sendiri, yaitu setelah secara sadar sepenuhnya berkembang menjadi mistisisme.

Tingkat perkembangan ini dicapai sebagai hasil pematangan dan pemuncakan rasa kesalehan pribadi, yaitu perkembangan ketika perhatian paling utama diberikan kepada kesadaran yang bersifat masalah historis dan politis umat hanya secara minimal saja.

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2266 seconds (0.1#10.140)