Belajar Bertaubat dari Sosok Sya'wanah al-Ubullah
loading...
A
A
A
Nama Sya’wanah al-Ubullah, memang tidak sepopuler sosok Rabi’ah Adawiyah yang dikenal sebagai sufi wanita Islam pada abad pertengahan. Namun Sya’wanah adalah perempuan dari Persia yang sangat kuat penghambaannya kepada Allah Ta'ala dan memiliki suara merdu. Masa hidupnya adalah sekitar abad ke-8 Masehi.
Imam Abdurrahman al-Sulami dalam 'Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Mura’abbidât al-Shûfiyyât' mengatakan, “Sya’wanah tinggal di Ubullah. Ia adalah seorang perempuan yang mengagumkan, bersuara merdu, bagus bacaan Al-Qur’annya, memberi nasihat kepada banyak orang dengan membacakan ayat-ayat Allah. dan sunnah nabi-Nya. Hadir di majelis orang-orang zuhud, ahli ibadah, dan orang yang sedang berupaya mendekati Allah Ta'ala.”
Ia adalah salah satu dari sekian banyak sufi wanita yang menikah dan mempunyai anak. Ia membuktikan bahwa menikah dan membesarkan anak tidak menghalangi peningkatan spiritual seseorang. Sya’wanah adalah perempuan yang sangat terkesan dengan keterbatasannya sendiri dalam mengabdi kepada Allah Ta'ala. Ia juga sangat merindukan persatuan atau perjumpaan dengan Sang Pencipta, sehingga ia terus menangis. Meskipun demikian, kegemarannya menangis tidak menghalangi dirinya untuk menyampaikan ilmu pengetahuan.
Seperti apa yang telah dikatakan Imam al-Sulami, banyak orang telah mengambil ilmu darinya. Mulai dari orang yang sudah sampai di level zuhud, sampai orang yang masih berupaya untuk dekat kepada Allah Ta'ala. Tangisan Sya’wanah bukan jenis tangisan yang dibuat-buat. Ia menangis dengan tulus, sehingga banyak orang yang turut menangis.
Mengapa Sya'wanah sering menangis? inilah awal kisahnya :
Jauh sebelum menjadi sufi, Sya’wanah adalah seorang perempuan yang hampir setiap hari pergi ke tempat-tempat hiburan . Pada suatu hari, ia bersama budak-budak perempuannya berjalan menyusuri satu gang di Bashrah. Saat sampai di depan pintu rumah, ia mendengar suara teriakan. Ia berkata, “Subhanallah, begitu memilukan. Suara apa itu?.” Ia pun segera menyuruh budak perempuannya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Budak yang disuruh pun pergi tapi tak kunjung kembali. Sya’wanah kembali menyuruh salah satu budak perempuannya yang lain untuk melihat apa yang sedang terjadi. Si budak itu pun pergi, namun ia tak kembali. Untuk kesekian kali, Sya’wanah kembali memerintahkan salah seorang budak perempuannya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi sambil berpesan agar budaknya itu cepat kembali. Budak perempuan tersebut pun pergi dan segera kembali.
Budak perempuan tersebut berkata, “Tuan putri, teriakan tadi bukan teriakan orang-orang yang sedang berduka karena ada yang sedang meninggal dunia, tetapi itu tangisan orang-orang yang sedang menyesali dosa-dosanya, tangisan orang yang sedih karena penuhnya catatan hidup mereka dengan goresan-goresan tinta hitam maksiat.”
Setelah mendengar laporan budak perempuannya, Sya’wanah pun segera pergi ke balkon rumah tersebut. Ia melihat seorang pendakwah yang dikelilingi oleh sekelompok orang. Pendakwah itu sedang memberikan nasehat dan wejangan kepada mereka, mengingatkan mereka akan siksa Allah Ta'ala sehingga mereka bercucuran air mata.
Tatkala Sya’wanah ikut bergabung dengan mereka, sang pendakwah sedang membacakan ayat Al-Qur’an:
“Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya. Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan belenggu, mereka mengharapkan kebinasaan.” (Q.S. al-Furqan: 12-13)
Setelah mendengar lantunan ayat tersebut, Sya’wanah merasakan sakit dan kepedihan yang menyayat kalbunya. Ia kemudian berkata, “Wahai syaikh, aku adalah salah satu orang hina penghuni tempat sempit itu di neraka. Jika aku bertaubat, apakah Tuhan akan mengampuniku?.”
Sang pendakwah menjawab, “Tentu, jika engkau bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, walaupun dosamu sebanyak dosa Sya’wanah.”
Sya’wanah berkata, “Wahai Syaikh, Sya’wanah (Yang Anda sebut tadi) adalah saya, yang setelah ini tidak akan lagi berbuat dosa.”
Sang pendakwah berkata, “Allah Subhanahu wa ta'ala adalah Zat Yang Maha Penyayang dari segala penyayang, tentu engkau akan diampuni jika mau bertaubat kepada-Nya dengan taubat yang sebenar-benarnya.”
Sya’wanah pun menangis dan kemudian memerdekakan seluruh budak perempuannya serta menyibukkan dirinya dalam beribadah. Ia bertekad untuk menebus dosa-dosanya sampai tubuhnya kurus dan tak berdaya lagi.
Suatu hari, ia memperlihatkan tubuhnya sendiri, dan menyadari bahwa tubuhnya itu telah kurus dan lemah. Ia berkata, “Ah…di dunia ini saja tubuhku telah meleleh (kurus) sedemikian rupa, lalu bagaimana keadaanku kelak di akhirat?.”
Kemudian Sya’wanah selalu menghabiskan malam-malamnya dengan salat dan bermunajat kepada Tuhannya, lalu menangis karena takut kepada Allah. Ia sering menangis sehingga membuat orang-orang merasa khawatir jika Sya’wanah mengalami kebutaan sebab terlalu sering menangis.
Imam Abdurrahman al-Sulami dalam 'Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Mura’abbidât al-Shûfiyyât' mengatakan, “Sya’wanah tinggal di Ubullah. Ia adalah seorang perempuan yang mengagumkan, bersuara merdu, bagus bacaan Al-Qur’annya, memberi nasihat kepada banyak orang dengan membacakan ayat-ayat Allah. dan sunnah nabi-Nya. Hadir di majelis orang-orang zuhud, ahli ibadah, dan orang yang sedang berupaya mendekati Allah Ta'ala.”
Ia adalah salah satu dari sekian banyak sufi wanita yang menikah dan mempunyai anak. Ia membuktikan bahwa menikah dan membesarkan anak tidak menghalangi peningkatan spiritual seseorang. Sya’wanah adalah perempuan yang sangat terkesan dengan keterbatasannya sendiri dalam mengabdi kepada Allah Ta'ala. Ia juga sangat merindukan persatuan atau perjumpaan dengan Sang Pencipta, sehingga ia terus menangis. Meskipun demikian, kegemarannya menangis tidak menghalangi dirinya untuk menyampaikan ilmu pengetahuan.
Seperti apa yang telah dikatakan Imam al-Sulami, banyak orang telah mengambil ilmu darinya. Mulai dari orang yang sudah sampai di level zuhud, sampai orang yang masih berupaya untuk dekat kepada Allah Ta'ala. Tangisan Sya’wanah bukan jenis tangisan yang dibuat-buat. Ia menangis dengan tulus, sehingga banyak orang yang turut menangis.
Mengapa Sya'wanah sering menangis? inilah awal kisahnya :
Jauh sebelum menjadi sufi, Sya’wanah adalah seorang perempuan yang hampir setiap hari pergi ke tempat-tempat hiburan . Pada suatu hari, ia bersama budak-budak perempuannya berjalan menyusuri satu gang di Bashrah. Saat sampai di depan pintu rumah, ia mendengar suara teriakan. Ia berkata, “Subhanallah, begitu memilukan. Suara apa itu?.” Ia pun segera menyuruh budak perempuannya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Budak yang disuruh pun pergi tapi tak kunjung kembali. Sya’wanah kembali menyuruh salah satu budak perempuannya yang lain untuk melihat apa yang sedang terjadi. Si budak itu pun pergi, namun ia tak kembali. Untuk kesekian kali, Sya’wanah kembali memerintahkan salah seorang budak perempuannya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi sambil berpesan agar budaknya itu cepat kembali. Budak perempuan tersebut pun pergi dan segera kembali.
Budak perempuan tersebut berkata, “Tuan putri, teriakan tadi bukan teriakan orang-orang yang sedang berduka karena ada yang sedang meninggal dunia, tetapi itu tangisan orang-orang yang sedang menyesali dosa-dosanya, tangisan orang yang sedih karena penuhnya catatan hidup mereka dengan goresan-goresan tinta hitam maksiat.”
Setelah mendengar laporan budak perempuannya, Sya’wanah pun segera pergi ke balkon rumah tersebut. Ia melihat seorang pendakwah yang dikelilingi oleh sekelompok orang. Pendakwah itu sedang memberikan nasehat dan wejangan kepada mereka, mengingatkan mereka akan siksa Allah Ta'ala sehingga mereka bercucuran air mata.
Tatkala Sya’wanah ikut bergabung dengan mereka, sang pendakwah sedang membacakan ayat Al-Qur’an:
“Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya. Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan belenggu, mereka mengharapkan kebinasaan.” (Q.S. al-Furqan: 12-13)
Setelah mendengar lantunan ayat tersebut, Sya’wanah merasakan sakit dan kepedihan yang menyayat kalbunya. Ia kemudian berkata, “Wahai syaikh, aku adalah salah satu orang hina penghuni tempat sempit itu di neraka. Jika aku bertaubat, apakah Tuhan akan mengampuniku?.”
Sang pendakwah menjawab, “Tentu, jika engkau bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, walaupun dosamu sebanyak dosa Sya’wanah.”
Sya’wanah berkata, “Wahai Syaikh, Sya’wanah (Yang Anda sebut tadi) adalah saya, yang setelah ini tidak akan lagi berbuat dosa.”
Sang pendakwah berkata, “Allah Subhanahu wa ta'ala adalah Zat Yang Maha Penyayang dari segala penyayang, tentu engkau akan diampuni jika mau bertaubat kepada-Nya dengan taubat yang sebenar-benarnya.”
Baca Juga
Sya’wanah pun menangis dan kemudian memerdekakan seluruh budak perempuannya serta menyibukkan dirinya dalam beribadah. Ia bertekad untuk menebus dosa-dosanya sampai tubuhnya kurus dan tak berdaya lagi.
Suatu hari, ia memperlihatkan tubuhnya sendiri, dan menyadari bahwa tubuhnya itu telah kurus dan lemah. Ia berkata, “Ah…di dunia ini saja tubuhku telah meleleh (kurus) sedemikian rupa, lalu bagaimana keadaanku kelak di akhirat?.”
Kemudian Sya’wanah selalu menghabiskan malam-malamnya dengan salat dan bermunajat kepada Tuhannya, lalu menangis karena takut kepada Allah. Ia sering menangis sehingga membuat orang-orang merasa khawatir jika Sya’wanah mengalami kebutaan sebab terlalu sering menangis.