Ibrahim bin Adham: Kedermawanan dan Pengorbanan Demi Sang Teman
loading...
A
A
A
Tokoh sufi legendaris, Ibrahim bin Adham terkenal amat dermawan. Seluruh pengasilan hasil kerjanya diberikan kepada teman-temannya. Ia menjual keledainya dan duit hasil penjualan keledai itu diberikan kepada sang teman. Tak berhenti di sini. Ia menggendong sang teman itu untuk melanjutkan perjalanan.
Farid al-Din Attar dalam bukunya berjudulTadhkirat al-Auliya’ dan diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh A. J. Arberry menjadi Muslim Saints and Mystics mengangkat kisah yang disampaikan Sahl bin Ibrahim.
Sahl bin Ibrahim berkisah:
Aku melakukan perjalanan dengan Ibrahim-e Adham (“e” biasanya digunakan oleh orang-orang Persia, maknanya sama dengan “bin”, yang berarti “putra”), dan dalam perjalanan aku jatuh sakit.
Dia menjual semua yang dia miliki dan membelanjakannya untukku. Aku memohon kepadanya sesuatu, dan dia menjual keledainya dan menghabiskan hasil penjualannya untukku.
“Di mana keledainya?” aku bertanya ketika telah membaik.
“Aku menjualnya,” jawabnya.
“Apa yang harus aku naiki?” aku bertanya.
“Saudaraku,” jawab Ibrahim, “ayo, naiklah ke punggungku.”
Dan dia mengangkatku ke punggungnya dan menggendongku selama tiga tahap (perjalanan).
Setiap hari Ibrahim pergi bekerja menawarkan jasanya dan bekerja sampai malam. Semua penghasilannya dia habiskan untuk teman-temannya. Tetapi dia baru kembali kepada teman-temannya setelah melaksanakan sholat magrib dan membeli sesuatu (makanan untuk teman-temannya), dan itu sudah terlalu malam.
Suatu malam teman-temannya berkata, “Dia terlambat datang. Ayo, mari kita makan roti dan segera tidur. Itu akan menjadi petunjuk baginya untuk kembali lebih awal ke depannya. Dia tidak semestinya membuat kita menunggu terlalu lama.”
Maka mereka melakukannya. Ketika Ibrahim kembali, dia melihat bahwa mereka sedang tertidur. Dia menyangka bahwa mereka belum makan apa-apa dan tidur dengan kelaparan, dia langsung menyalakan api.
Dia telah membawa sedikit tepung, lalu dia membuat adonan untuk memberi mereka sesuatu untuk dimakan ketika mereka terbangun, agar mereka bisa berpuasa keesokan harinya.
Teman-temannya terbangun, melihat janggutnya di tanah, dia sedang meniupi api. Air mata mengalir dari matanya (karena terkena asap dari api), dan dia dikerubungi oleh asap.
“Apa yang sedang engkau lakukan?” mereka bertanya.
“Aku melihat kalian tertidur,” jawab Ibrahim. “Aku berkata pada diriku sendiri, mungkin kalian tidak dapat menemukan apa-apa dan tidur dalam keadaan lapar. Jadi aku membuatkan sesuatu untuk kalian makan saat kalian bangun.“
“Lihatlah bagaimana dia memikirkan kita, dan bagaimana kita memikirkannya,” seru mereka.
Farid al-Din Attar dalam bukunya berjudulTadhkirat al-Auliya’ dan diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh A. J. Arberry menjadi Muslim Saints and Mystics mengangkat kisah yang disampaikan Sahl bin Ibrahim.
Sahl bin Ibrahim berkisah:
Aku melakukan perjalanan dengan Ibrahim-e Adham (“e” biasanya digunakan oleh orang-orang Persia, maknanya sama dengan “bin”, yang berarti “putra”), dan dalam perjalanan aku jatuh sakit.
Dia menjual semua yang dia miliki dan membelanjakannya untukku. Aku memohon kepadanya sesuatu, dan dia menjual keledainya dan menghabiskan hasil penjualannya untukku.
“Di mana keledainya?” aku bertanya ketika telah membaik.
“Aku menjualnya,” jawabnya.
“Apa yang harus aku naiki?” aku bertanya.
“Saudaraku,” jawab Ibrahim, “ayo, naiklah ke punggungku.”
Dan dia mengangkatku ke punggungnya dan menggendongku selama tiga tahap (perjalanan).
Setiap hari Ibrahim pergi bekerja menawarkan jasanya dan bekerja sampai malam. Semua penghasilannya dia habiskan untuk teman-temannya. Tetapi dia baru kembali kepada teman-temannya setelah melaksanakan sholat magrib dan membeli sesuatu (makanan untuk teman-temannya), dan itu sudah terlalu malam.
Suatu malam teman-temannya berkata, “Dia terlambat datang. Ayo, mari kita makan roti dan segera tidur. Itu akan menjadi petunjuk baginya untuk kembali lebih awal ke depannya. Dia tidak semestinya membuat kita menunggu terlalu lama.”
Maka mereka melakukannya. Ketika Ibrahim kembali, dia melihat bahwa mereka sedang tertidur. Dia menyangka bahwa mereka belum makan apa-apa dan tidur dengan kelaparan, dia langsung menyalakan api.
Dia telah membawa sedikit tepung, lalu dia membuat adonan untuk memberi mereka sesuatu untuk dimakan ketika mereka terbangun, agar mereka bisa berpuasa keesokan harinya.
Teman-temannya terbangun, melihat janggutnya di tanah, dia sedang meniupi api. Air mata mengalir dari matanya (karena terkena asap dari api), dan dia dikerubungi oleh asap.
“Apa yang sedang engkau lakukan?” mereka bertanya.
“Aku melihat kalian tertidur,” jawab Ibrahim. “Aku berkata pada diriku sendiri, mungkin kalian tidak dapat menemukan apa-apa dan tidur dalam keadaan lapar. Jadi aku membuatkan sesuatu untuk kalian makan saat kalian bangun.“
“Lihatlah bagaimana dia memikirkan kita, dan bagaimana kita memikirkannya,” seru mereka.
(mhy)