Abu Dzar al-Ghifari (4): Ketika Suriah Berubah Jadi Sel-Sel Lebah yang Temukan Ratunya
loading...
A
A
A
Pada tahun 30 Hijriyah Abu Dzar al-Ghifari telah tiba di Suriah, tempat di mana Gubernur Muawiyah bin Abu Sufyan berkuasa. Rakyat menyambutnya dengan gegap gembita. Daerah tersebut seolah-olah telah berubah menjadi sel-sel lebah yang menemukan ratunya yang mereka taati.
Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya berjudul Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah menceritakan di Suriah rakyat jelata menyambut kedatangannya, dan mereka berkata, “Bicaralah wahai Abu Dzar! Bicaralah wahai sahabat Rasulullah!”
Abu Dzar melihat ke arah mereka, kepada orang-orang-orang yang mengerumuninya. Dilihatnya bahwa kebanyakan dari mereka adalah orang-orang miskin yang serba kekurangan.
Lalu dilayangkan pandangannya ke arah dataran agak tinggi yang tidak jauh dari sana, dia melihat bangunan-bangunan tinggi yang megah, menampilkan kemewahan. Berserulah Abu Dzar ke orang-orang miskin itu:
“Aku heran melihat orang yang tidak punya makanan di rumahnya, kenapa dia tidak mendatangi orang-orang itu dengan menghunus pedangnya!”
Kemudian Abu Dzar teringat kembali wasiat Rasulullah yang melarangnya untuk angkat senjata, maka ditinggalkannya lah bahasa-bahasa yang dapat mengobarkan peperangan.
Dia mengajarkan kepada orang-orang miskin tersebut pemahaman-pemahaman dasar mengenai Islam. Manusia ibarat gigi-gigi sisir, untuk mendapatkan rezeki semuanya harus berhimpun. Bahwa tidak ada kelebihan seseorang dari lainnya, kecuali dalam hal ketaqwaan. Dan pemimpin dari suatu golongan haruslah yang pertama kali menderita kelaparan sebelum pengikutnya, sebaliknya dia harus yang paling belakang menikmati kekenyangan.
Abu Dzar telah memutuskan, bahwa dia akan terus berbicara, dia akan membangunkan kesadaran orang-orang di negeri Islam. Dia telah bertekad untuk membangun pehamaman di tengah-tengah umat Islam, sehingga itu dapat membatasi gerak dari para pembesar dan golongan orang kaya agar tidak menyalahgunakan kekuasaan atau menumpuk harta kekayaan demi kepentingan pribadi.
Orang-orang terus berdatangan untuk mendengarkan ceramah Abu Dzar, suatu hari dia berkata, “Wahai kaum bangsawan! Wahai Muawiyah dan pemerintahannya! Bersimpatilah dengan orang miskin. Biarkan mereka yang mengumpulkan emas dan perak dan tidak menggunakannya di jalan Allah, ketahuilah bahwa dahi, sisi, dan punggung mereka akan disetrika dengan api.
Wahai penimbun kekayaan! Tidakkah kamu tahu bahwa ketika seseorang meninggal, semuanya akan terpisah darinya. Hanya tiga hal yang tersisa untuknya, amal jariyah, pengetahuan yang bermanfaat, dan anak yang saleh, yang berdoa untuknya.”
Membangun Pemahaman
Hanya dalam beberapa hari sejak kedatangan Abu Dzar di Suriah, daerah tersebut seolah-olah telah berubah menjadi sel-sel lebah yang menemukan ratunya yang mereka taati. Seandainya Abu Dzar memberikan isyarat untuk memberontak, niscaya api pemberontakan akan berkobar di Suriah. Namun, hal itu tidak dia lakukan, niatnya hanya sebatas membangun pemahaman dan kesadaran bagi umat Islam.
Golongan orang kaya Suriah mulai merasa terganggu dengan Abu Dzar. Suatu saat Habib bin Muslimah Fahri menyaksikan bagaimana orang-orang mengerumuni dan mendengarkan ceramah Abu Dzar. Dia berkesimpulan, “ini adalah gangguan besar.”
Dia segera pergi menemui Muawiyah dan berkata kepadanya, “Wahai Mu’awiyah! Abu Dzar benar-benar akan mengacaukan pemerintah Suriah. Jika engkau membutuhkan Suriah, engkau harus menghentikan gangguan ini sejak awal.”
Seruan-seruan Abu Dzar terhadap rakyat akhirnya mencapai puncaknya, Muawiyah menjadi gerah karenanya, maka dipanggil lah Abu Dzar untuk berdialog. Dialog tersebut dihadiri juga oleh beberapa kalangan sahabat.
Tanpa merasa gentar dan tanpa basa-basi, Muawiyah ditanya perihal kekayaannya sewaktu sebelum menjadi pejabat dan sesudahnya. Dia mempertanyakan mengenai rumah Muawiyah dulu di Makkah dan membandingkannya dengan istana-istana megahnya di Suriah saat ini.
Kemudian, dihadapkannya pula pertanyaan kepada para sahabat yang duduk di sekeliling Muawiyah mengenai bangunan-bangunan mewah dan lahan pertanian luas yang mereka miliki di Suriah.
Lalu dia berseru, “apakah tuan-tuan yang sewaktu Qur'an diturunkan kepada Rasulullah, dia (harta kekayaan) berada di lingkungan tuan-tuan?”
Sebelum sempat dijawab Abu Dzar telah berbicara kembali, “benar, kepada tuan-tuanlah Al-Qur'an diturunkan, dan tuan-tuanlah yang telah mengalami sendiri berbagai peperangan!”
Abu Dzar kembali bertanya, tidakkah tuan-tuan jumpai dalam Al-Quran ayat ini?:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (Q.S at-Taubah ayat 34-35)
Muawiyah kemudian memotong jalannya pembicaraan, “ayat ini diturunkan kepada Ahlul Kitab!”
“Tidak!” seru Abu Dzar. “Bahkan dia diturunkan kepada kita dan kepada mereka!”
Abu Dzar melanjutkan kata-katanya, dia menasihati Muawiyah dan para pengikutnya agar segera melepaskan bangunan-bangunan mewah, tanah, serta harta kekayaan mereka; dan tidak menyimpan untuk diri sendiri kecuali untuk sekadar keperluan sesehari.
Setrika Api Neraka
Berita mengenai tanya jawab Abu Dzar dengan Muawiyah ini segera tersebar dari mulut ke mulut, dan menyebar luas ke masyarakat banyak. Semboyannya semakin nyaring terdengar di rumah-rumah dan di jalan-jalan, “sampaikanlah kepada para penumpuk harta akan setrika-setrika api neraka!” Revolusi seolah terasa semakin dekat.
Muawiyah sadar akan adanya bahaya ini, dia cemas akan akibat ucapan dari tokoh ulung ini. Tetapi dia pun paham akan pengaruh dan kedudukan yang dimiliki Abu Dzar, sehingga itu mencegahnya untuk berbuat sesuatu yang dapat menyakiti Abu Dzar. Dengan segera dia menulis surat kepada Khalifah Ustman bin Affan , dalam suratnya dia berkata, “Abu Dzar telah merusak orang-orang di Suriah!”
Sebagai respons terhadap surat pengaduan tersebut, Ustman mengirim surat meminta Abu Dzar agar menghadapnya di Madinah. Abu Dzar menurut, dia berkemas dan menyingsingkan kaki celananya dan berangkat ke Madinah.
Pada hari keberangkatannya dia diantar oleh khalayak ramai yang mengucapkan selamat jalan. Ini merupakan suatu peristiwa yang belum pernah disaksikan sebelumnya.
Keputusan Khalifah Utsman
Tibalah Abu Dzar di Madinah atas panggilan Utsman bin Affan. Sebelumnya Utsman telah mendapatkan informasi bahwa Abu Dzar mendapat dukungan dari masyarakat banyak. Utsman berpendapat bahwa apa yang dilakukan Abu Dzar berbahaya dan dapat menimbulkan gejolak politik yang tidak menentu. Terhadap hal tersebut, Utsman memiliki caranya sendiri untuk menyelesaikannya.
Di depan sahabat-sahabatnya Utsman berkata kepada Abu Dzar, “tinggallah di sini di sampingku, disediakan bagimu unta yang gemuk, yang akan mengantarkan susu pagi dan sore.”
“Aku tak perlu akan dunia tuan-tuan!” jawab Abu Dzar.
Selanjutnya Abu Dzar bertanya kepada Ustman: “Katakan kepadaku ke mana aku harus pergi. Apakah aku harus pergi ke hutan?”
“Tidak,” jawab Utsman. “Baiklah, aku memberimu perintah untuk pergi ke Rabzah.”
“Allah Maha Besar! Nabi suci telah mengatakan dengan benar bahwa semua ini akan terjadi,” jawab Abu Dzar.
“Apa yang Nabi katakan?” tanya Utsman.
“Beliau mengatakan bahwa aku akan disuruh pergi dari Madinah….Tinggal di tempat sunyi di Rabzah, di mana aku akan mati dan akan dikubur oleh sekelompok orang Irak yang menuju Hijaz.”
Setelah percakapan tersebut, sebagaimana dikisahkan oleh A’tham Kufi, Utsman berkata, “bangkit dan pergilah ke Rabzah. Tinggallah di sana dan jangan pergi ke mana pun.”
Kemudian Utsman memerintahkan Marwan untuk memberikan unta kepada Abu Dzar yang akan digunakan sebagai alat transportasi menuju Rabzah. (Bersambung)
Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya berjudul Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah menceritakan di Suriah rakyat jelata menyambut kedatangannya, dan mereka berkata, “Bicaralah wahai Abu Dzar! Bicaralah wahai sahabat Rasulullah!”
Abu Dzar melihat ke arah mereka, kepada orang-orang-orang yang mengerumuninya. Dilihatnya bahwa kebanyakan dari mereka adalah orang-orang miskin yang serba kekurangan.
Lalu dilayangkan pandangannya ke arah dataran agak tinggi yang tidak jauh dari sana, dia melihat bangunan-bangunan tinggi yang megah, menampilkan kemewahan. Berserulah Abu Dzar ke orang-orang miskin itu:
“Aku heran melihat orang yang tidak punya makanan di rumahnya, kenapa dia tidak mendatangi orang-orang itu dengan menghunus pedangnya!”
Kemudian Abu Dzar teringat kembali wasiat Rasulullah yang melarangnya untuk angkat senjata, maka ditinggalkannya lah bahasa-bahasa yang dapat mengobarkan peperangan.
Dia mengajarkan kepada orang-orang miskin tersebut pemahaman-pemahaman dasar mengenai Islam. Manusia ibarat gigi-gigi sisir, untuk mendapatkan rezeki semuanya harus berhimpun. Bahwa tidak ada kelebihan seseorang dari lainnya, kecuali dalam hal ketaqwaan. Dan pemimpin dari suatu golongan haruslah yang pertama kali menderita kelaparan sebelum pengikutnya, sebaliknya dia harus yang paling belakang menikmati kekenyangan.
Abu Dzar telah memutuskan, bahwa dia akan terus berbicara, dia akan membangunkan kesadaran orang-orang di negeri Islam. Dia telah bertekad untuk membangun pehamaman di tengah-tengah umat Islam, sehingga itu dapat membatasi gerak dari para pembesar dan golongan orang kaya agar tidak menyalahgunakan kekuasaan atau menumpuk harta kekayaan demi kepentingan pribadi.
Orang-orang terus berdatangan untuk mendengarkan ceramah Abu Dzar, suatu hari dia berkata, “Wahai kaum bangsawan! Wahai Muawiyah dan pemerintahannya! Bersimpatilah dengan orang miskin. Biarkan mereka yang mengumpulkan emas dan perak dan tidak menggunakannya di jalan Allah, ketahuilah bahwa dahi, sisi, dan punggung mereka akan disetrika dengan api.
Wahai penimbun kekayaan! Tidakkah kamu tahu bahwa ketika seseorang meninggal, semuanya akan terpisah darinya. Hanya tiga hal yang tersisa untuknya, amal jariyah, pengetahuan yang bermanfaat, dan anak yang saleh, yang berdoa untuknya.”
Membangun Pemahaman
Hanya dalam beberapa hari sejak kedatangan Abu Dzar di Suriah, daerah tersebut seolah-olah telah berubah menjadi sel-sel lebah yang menemukan ratunya yang mereka taati. Seandainya Abu Dzar memberikan isyarat untuk memberontak, niscaya api pemberontakan akan berkobar di Suriah. Namun, hal itu tidak dia lakukan, niatnya hanya sebatas membangun pemahaman dan kesadaran bagi umat Islam.
Golongan orang kaya Suriah mulai merasa terganggu dengan Abu Dzar. Suatu saat Habib bin Muslimah Fahri menyaksikan bagaimana orang-orang mengerumuni dan mendengarkan ceramah Abu Dzar. Dia berkesimpulan, “ini adalah gangguan besar.”
Dia segera pergi menemui Muawiyah dan berkata kepadanya, “Wahai Mu’awiyah! Abu Dzar benar-benar akan mengacaukan pemerintah Suriah. Jika engkau membutuhkan Suriah, engkau harus menghentikan gangguan ini sejak awal.”
Seruan-seruan Abu Dzar terhadap rakyat akhirnya mencapai puncaknya, Muawiyah menjadi gerah karenanya, maka dipanggil lah Abu Dzar untuk berdialog. Dialog tersebut dihadiri juga oleh beberapa kalangan sahabat.
Tanpa merasa gentar dan tanpa basa-basi, Muawiyah ditanya perihal kekayaannya sewaktu sebelum menjadi pejabat dan sesudahnya. Dia mempertanyakan mengenai rumah Muawiyah dulu di Makkah dan membandingkannya dengan istana-istana megahnya di Suriah saat ini.
Kemudian, dihadapkannya pula pertanyaan kepada para sahabat yang duduk di sekeliling Muawiyah mengenai bangunan-bangunan mewah dan lahan pertanian luas yang mereka miliki di Suriah.
Lalu dia berseru, “apakah tuan-tuan yang sewaktu Qur'an diturunkan kepada Rasulullah, dia (harta kekayaan) berada di lingkungan tuan-tuan?”
Sebelum sempat dijawab Abu Dzar telah berbicara kembali, “benar, kepada tuan-tuanlah Al-Qur'an diturunkan, dan tuan-tuanlah yang telah mengalami sendiri berbagai peperangan!”
Abu Dzar kembali bertanya, tidakkah tuan-tuan jumpai dalam Al-Quran ayat ini?:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (Q.S at-Taubah ayat 34-35)
Muawiyah kemudian memotong jalannya pembicaraan, “ayat ini diturunkan kepada Ahlul Kitab!”
“Tidak!” seru Abu Dzar. “Bahkan dia diturunkan kepada kita dan kepada mereka!”
Abu Dzar melanjutkan kata-katanya, dia menasihati Muawiyah dan para pengikutnya agar segera melepaskan bangunan-bangunan mewah, tanah, serta harta kekayaan mereka; dan tidak menyimpan untuk diri sendiri kecuali untuk sekadar keperluan sesehari.
Setrika Api Neraka
Berita mengenai tanya jawab Abu Dzar dengan Muawiyah ini segera tersebar dari mulut ke mulut, dan menyebar luas ke masyarakat banyak. Semboyannya semakin nyaring terdengar di rumah-rumah dan di jalan-jalan, “sampaikanlah kepada para penumpuk harta akan setrika-setrika api neraka!” Revolusi seolah terasa semakin dekat.
Muawiyah sadar akan adanya bahaya ini, dia cemas akan akibat ucapan dari tokoh ulung ini. Tetapi dia pun paham akan pengaruh dan kedudukan yang dimiliki Abu Dzar, sehingga itu mencegahnya untuk berbuat sesuatu yang dapat menyakiti Abu Dzar. Dengan segera dia menulis surat kepada Khalifah Ustman bin Affan , dalam suratnya dia berkata, “Abu Dzar telah merusak orang-orang di Suriah!”
Sebagai respons terhadap surat pengaduan tersebut, Ustman mengirim surat meminta Abu Dzar agar menghadapnya di Madinah. Abu Dzar menurut, dia berkemas dan menyingsingkan kaki celananya dan berangkat ke Madinah.
Pada hari keberangkatannya dia diantar oleh khalayak ramai yang mengucapkan selamat jalan. Ini merupakan suatu peristiwa yang belum pernah disaksikan sebelumnya.
Keputusan Khalifah Utsman
Tibalah Abu Dzar di Madinah atas panggilan Utsman bin Affan. Sebelumnya Utsman telah mendapatkan informasi bahwa Abu Dzar mendapat dukungan dari masyarakat banyak. Utsman berpendapat bahwa apa yang dilakukan Abu Dzar berbahaya dan dapat menimbulkan gejolak politik yang tidak menentu. Terhadap hal tersebut, Utsman memiliki caranya sendiri untuk menyelesaikannya.
Di depan sahabat-sahabatnya Utsman berkata kepada Abu Dzar, “tinggallah di sini di sampingku, disediakan bagimu unta yang gemuk, yang akan mengantarkan susu pagi dan sore.”
“Aku tak perlu akan dunia tuan-tuan!” jawab Abu Dzar.
Selanjutnya Abu Dzar bertanya kepada Ustman: “Katakan kepadaku ke mana aku harus pergi. Apakah aku harus pergi ke hutan?”
“Tidak,” jawab Utsman. “Baiklah, aku memberimu perintah untuk pergi ke Rabzah.”
“Allah Maha Besar! Nabi suci telah mengatakan dengan benar bahwa semua ini akan terjadi,” jawab Abu Dzar.
“Apa yang Nabi katakan?” tanya Utsman.
“Beliau mengatakan bahwa aku akan disuruh pergi dari Madinah….Tinggal di tempat sunyi di Rabzah, di mana aku akan mati dan akan dikubur oleh sekelompok orang Irak yang menuju Hijaz.”
Setelah percakapan tersebut, sebagaimana dikisahkan oleh A’tham Kufi, Utsman berkata, “bangkit dan pergilah ke Rabzah. Tinggallah di sana dan jangan pergi ke mana pun.”
Kemudian Utsman memerintahkan Marwan untuk memberikan unta kepada Abu Dzar yang akan digunakan sebagai alat transportasi menuju Rabzah. (Bersambung)
(mhy)