Habib al-Ajami: Rentenir Tajir Itu Tobat, Lalu Menjadi Sufi

Selasa, 19 Oktober 2021 - 18:26 WIB
loading...
A A A
“Inilah dia Habib si rentenir. Lari, jangan sampai debunya menempel pada kita dan kita menjadi dikutuk seperti dia!”

Kata-kata ini sangat menyakitkan bagi Habib. Dia lalu mengambil jalan ke gedung pertemuan, dan di sana dia mendengar suatu kalimat dari bibir Hasan al-Basri (yang sedang ceramah) yang tepat menusuk ke jantung hatinya, sampai-sampai dia pingsan. Menyadari apa yang terjadi, Hasan al-Basri memegang tangannya dan menenangkannya.

Ketika dia pulang dari pertemuan itu, salah satu pengutangnya melihatnya, kemudian melarikan diri.

“Janganlah lari,” Habib memanggilnya. “Sampai barusan adalah engkau yang lari dariku; tapi sekarang akulah yang harus lari darimu.”

Dia berjalan kembali. Anak-anak masih bermain. Ketika mereka melihat Habib mereka berteriak lagi.

“Inilah dia Habib yang bertobat. Lari, jangan sampai debu kita menempel padanya, karena kita adalah para pendosa yang melawan Allah.”

“Ya Allah, ya Tuhanku!” tangis Habib. “Karena satu hari ini saja, ketika aku telah berdamai dengan-Mu, Engkau telah mengetuk genderang hati orang-orang untukku dan melambungkan namaku dengan kebaikkan.”

Kemudian dia membuat sebuah pengumuman.

“Siapa pun yang menginginkan apa pun dari Habib, datang dan ambillah!”

Orang-orang berkumpul, dan dia menyerahkan semua harta miliknya sampai tidak sedikitpun uangnya tersisa. Seorang lainnya datang dengan sebuah permintaan. Karena tidak ada lagi yang tersisa, Habib memberinya chaddur (pakaian bagian luar) istrinya. Kepada peminta yang lainnya lagi, dia memberikan bajunya sendiri, dan membuatnya menjadi telanjang.



Di Bawah Bimbingan Hasan al-Basri
Dia kemudian membereskan sebuah tempat untuk menyepi di tepi Sungai Eufrat, dan di sana dia memasrahkan dirinya untuk menyembah Allah. Setiap malam dia belajar di bawah bimbingan Hasan al-Basri, tetapi dia tidak mampu mempelajari Alquran, dan karenanya dia dijuluki si Barbar.

Waktu berlalu, dan dia menjadi benar-benar melarat. Istrinya terus menerus memintanya uang untuk kebutuhan rumah tangga. Karenanya Habib pergi dari rumahnya dan menuju ke tempat penyepian untuk melanjutkan pengabdiannya (kepada Allah). Ketika malam tiba, dia baru kembali ke istrinya.

“Dari mana saja engkau bekerja, kenapa tidak membawa apa pun ke rumah?” desak istrinya.

“Orang yang aku bekerja untuknya begitu murah hati,” jawab Habib. “Dia begitu murah hati sehingga aku malu untuk meminta sesuatu padanya. Jika waktu yang tepat telah tiba, dia akan memberi. Karena dia telah berkata, ‘Setiap sepuluh hari sekali aku akan memberi upah.’.”

Jadilah Habib al-Ajami setiap harinya mendatangi tempat penyepian untuk beribadah, sampai waktu sepuluh hari telah habis. Pada hari ke sepuluh, pada waktu salat Dzuhur, sebuah pikiran memasuki benaknya.

“Apa yang bisa aku bawa pulang malam ini, dan apa yang harus aku katakan kepada istriku?”

Dan dia merenungkan ini dalam-dalam. Langsung saja Allah Yang Mahakuasa mengirim seorang pengangkut barang ke depan pintu rumahnya dengan membawa begitu banyak tepung gandum, yang lainnya membawa daging domba yang telah dikuliti, dan yang lainnya lagi membawa minyak, madu, rempah-rempah, dan bumbu-bumbuan.

Para tukang angkut memuat semua barang-barang ini. Seorang pemuda tampan menemani mereka, membawa dompet berisi tiga ratus dirham perak. Datang ke rumah Habib, dia mengetuk pintu.

“Ada perlu apa?” tanya istri Habib, membuka pintu.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1916 seconds (0.1#10.140)