Meneladani Rasulullah SAW: Maksimalisasi Potensi Masjid

Rabu, 20 Oktober 2021 - 12:36 WIB
loading...
Meneladani Rasulullah...
Imam Shamsi Ali, Direktur/Imam Jamaica Muslim Center. Foto/Ist
A A A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center

Hari-hari ini umat di seantero dunia mengingat kelahiran baginda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (SAW). Manusia terbaik, mutiara di antara bebatuan, utusan terakhir Ilahi untuk menuntun manusia ke jalan kebenaran.

Di tengah ragam perbedaan pendapat tentang kata "Maulid" apalagi dikaitkan dengan peringatan, ada satu hal yang penting untuk diingat. Bahwa semua anak-anak umat ini, setuju atau tidak dengan peringatan itu, semua sepakat bahwa Muhammad itu harus dikenal, diimani, dicintai dan ditaati. Kesepakatan ini yang seringkali saya istilahkan sebagai "common ground" keumatan.

Poin yang ingin saya garisbawahi bahwa jangan sampai perbedaan pendapat, sesuatu yang alami bahkan terkadang diperlukan, menjadikan umat ini terpecah dan merobek ikatan ukhuwahnya.

Kata kunci dari relasi antara Rasulullah SAW dan Umat ini adalah "keteladanan". Dalam Al-Qur'an ada dua kata yang dipakai untuk memaknai keteladanan ini. Yang pertama kata “ittiba’” (ittabi’uuni) yang berarti “mengikut”. Dan yang kedua “uswah” (uswatun hasanah) yang berarti ketauladanan itu sendiri.

Dan karenanya di momen-momen seperti ini hal yang terpenting yang kita perbaharui (tajdid) dan segarkan (refresh) adalah komitmen teladan. Yaitu menguatkan komitmen untuk mengikuti jalan atau contoh hidup yang beliau pernah jalani.

Jalan hidup ini yang kemudian dibahasakan dengan kata populer "Sunnah". Sunnah atau jalan hidup Rasulullah mencakup seluruh aspek hidupnya. Bahkan pada hal yang bersifat personal sekalipun. Sebagai misal, ada sebuah hadits yang menegaskan pernikahan itu sebagai jalan hidup Rasul. Memilih untuk tidak menikah tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i dapat dikategorikan memilih jalan hidup yang di luar dari jalan hidup Rasulullah SAW.

"Annikahu min sunnati. Faman raghiba an sunnati falaesan minni." (Hadits)

Membangun Peradaban itu Jalan Rasul
Sesungguhnya sunnah tertinggi dari Rasulullah SAW itu adalah mewujudkan peradaban dunia. Tentu peradaban yang dimaksud adalah perwujudan dari konsep "baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafuur”. Peradaban yang berasaskan 'Tauhid', kuat dengan ubudiyah dan indah dengan karakter (Akhlaq karimah).

Jika kita merujuk kepada kronologis perjalanan Hidup Rasulullah SAW, ada tiga fase yang harus menjadi rujukan.

Pertama, fase kelahiran (Milad) hingga pengangkatan (bi'tsah).Seringkali fase ini tidak menjadi perhatian Umat. Seolah fase ini tidak memiliki makna dalam sejarah Perjalanan Umat ini. Padahal fase ini adalah fase persiapan dan pemantapan baginda Rasul, khususnya dalam membangun karakter pribadi yang unggul. Bukankah pada fase ini begitu banyak bukti-bukti agung bagaimana Allah mempersiapkan beliau untuk menjadi "Lentera alam semesta?"

Di fase inilah misalnya beliau dikenal telah menjadi individu yang al-Amin (trustworthy). Di fase ini beliau memperlihatkan keunggulan kepemimpinan yang menyatukan (kisah Hajar Aswad). Di fase ini beliau memperlihatkan heroisme (kepahlawanan) yang tinggi (kisah perang fijar).

Fase ini mengajarkan kepada umat, khususnya kepada para du'at dan Ulama bahwa untuk mencapai 'maqam' (posisi) sebagai da’i dan Ulama bukan dengan cara instant. Memerlukan persiapan yang matang. Teristimewa dalam hal persiapan karakter dan integritas. Karena ilmu tanpa karakter dan integritas bagaikan pohon liar yang tiada buah.

Kedua, fase al-bi'tsah (pengangkatan) hingga Al-Isra wal mi’raj. Pada fase ini sesungguhnya sudah memasuki pembangunan. Bukan lagi persiapan. Kalau sekiranya perjuangan itu bangunan pada fase ini fondasi bangunan itu mulai dipasang. Fondasi Umat tentunya adalah akidah Tauhid. Dan inilah yang Rasulullah SAW lakukan di Mekah: "Quuluu laa ilaaha illa Allah". Mengajak manusia pada akidah Tauhid sebagai asas kehidupannya.

Puncak penguatan fase ini terjadi justeru ketika ringangan perjuangan itu memuncak. Di tahun yang sangat sulit itu yang dikenal dengan "aamul huzni" (tahun kesedihan) justeru Allah mengangkat RasulNya ke Sidratul Muntaha melalui proses perjalan suci dari masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsha.

Esensi dari perjalanan ini sesungguhnya adalah penguatan akidah dan spiritualitas umat. Karenanya perjalanan ini menjadi ujian iman. Tapi sekaligus menjadi jalan bagi turunnya perintah sholat yang merupakan energi spiritulitas Mukmin. Fase ini adalah fase kebangkitan Umat secara spiritualitas (ruhiyah) dan pribadi (fardi).

Ketiga, fase Hijrahnya Rasulullah SAW hingga Fathu Makkah. Jika fase sebelumnya adalah fase kebangkitan Umat secara individu, fase Hijrah adalah fase kebangkitan Umat secara kolektif (komunal). Karenanya hijrahnya Rasulullah bukan sekedar pindah tempat. Apalagi asumsi karena beratnya tantangan di Mekah. Seorang nabi atau rasul tidak akan menghindar dari tantangan seberat apapun itu.

Hijrahnya Rasulullah SAW justeru karena Allah telah mempersiapkan Kota Yatsrib sebagai Madinah yang bermakna pusat peradaban. Dan karenanya kota itu (Madinah) memiliki kata Sifat yang disebut Al-Munawwarah atau yang tersinari.

Rasulullah SAW Membangun Umat dari Madinah
Di Madinah, inilah Rasulullah SAW mewujudkan peradaban manusia. Sebuah peradaban yang jauh melampaui wawasan dan visi zamannya. Peradaban yang memiliki visi jauh ke depan (visionary) melebihi realita masyarakat ketika itu. Peradaban yang belum pernah terbayangkan oleh masyarakat manapun sebelumnya. Baik bangsa Romawi, Persia, China maupun India.

Masjid Sebagai Sentra Peradaban
Sejarah mengenal bahwa ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah hal pertama yang beliau lakukan adalah Membangun masjid. Masjid inilah yang saat ini dikenal dengan masjid Kuba.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2214 seconds (0.1#10.140)