Kisah Sufi Ibrahim bin Adham: Ketika Anaknya Meninggal dalam Pelukannya
loading...
A
A
A
“Apakah kalian menyaksikannya?” Ibrahim berseru.
“Kami menyaksikannya,” jawab mereka.
“Ketika aku meninggalkan Balkh,” Ibrahim memberi tahu mereka, “Aku meninggalkan seorang anak laki-laki yang masih menyusu di sana. Aku tahu bahwa anak laki-laki itu adalah anak itu.”
Keesokan harinya salah satu temannya pergi terlebih dahulu sebelum Ibrahim mencari karavan dari Balkh. Setelah tiba di sana, dia mengamati di tengah-tengah karavan itu ada sebuah tenda yang seluruhnya terbuat dari brokat.
Di dalam tenda itu sebuah singgasana didirikan, dan anak laki-laki itu duduk di atas singgasana, membaca Al-Qur'an dan menangis. Teman Ibrahim itu bertanya apakah dia boleh masuk.
“Dari mana asalmu?” dia bertanya.
“Dari Balkh,” jawab anak itu.
“Putra siapa engkau?”
Anak laki-laki itu meletakkan tangannya di wajahnya dan mulai menangis. “Aku belum pernah melihat ayahku,” katanya sambil menyimpan Al-Qur'an di sampingnya.
“Tidak sampai kemarin — aku tidak tahu apakah itu dia atau bukan. Aku khawatir jika aku berbicara dia akan lari, karena dia pernah lari dari kami sebelumnya. Ayahku adalah Ibrahim-e Adham, Raja Balkh.”
Orang itu menariknya untuk membawanya ke Ibrahim. Ibunya bangkit dan ikut pergi bersamanya. Ibrahim, ketika mereka mendekatinya, sedang duduk-duduk bersama teman-temannya di depan Pojok Yamani.
Dia melihat dari jauh temannya sedang bersama anak laki-laki itu dan ibunya. Begitu wanita itu melihatnya, dia menangis keras dan tidak bisa mengendalikan dirinya lagi.
“Ini adalah ayahmu.”
Kegemparan yang tak terlukiskan muncul. Seluruh orang yang ada di situ dan juga teman-teman Ibrahim menangis tersedu sedan. Begitu anak itu dapat mengendalikan dirinya, dia memberi salam kepada ayahnya. Ibrahim membalas salamnya dan mendekapnya ke dadanya.
“Agama apa yang engkau ikuti?” dia bertanya.
“Agama Islam,” jawab putranya.
“Alhamdulillah,” seru Ibrahim. “Apakah engkau memahami Al-Qur'an?”
“Ya.”
“Alhamdulillah. Sudahkah engkau mempelajari akidah?”
“Kami menyaksikannya,” jawab mereka.
“Ketika aku meninggalkan Balkh,” Ibrahim memberi tahu mereka, “Aku meninggalkan seorang anak laki-laki yang masih menyusu di sana. Aku tahu bahwa anak laki-laki itu adalah anak itu.”
Keesokan harinya salah satu temannya pergi terlebih dahulu sebelum Ibrahim mencari karavan dari Balkh. Setelah tiba di sana, dia mengamati di tengah-tengah karavan itu ada sebuah tenda yang seluruhnya terbuat dari brokat.
Di dalam tenda itu sebuah singgasana didirikan, dan anak laki-laki itu duduk di atas singgasana, membaca Al-Qur'an dan menangis. Teman Ibrahim itu bertanya apakah dia boleh masuk.
“Dari mana asalmu?” dia bertanya.
“Dari Balkh,” jawab anak itu.
“Putra siapa engkau?”
Anak laki-laki itu meletakkan tangannya di wajahnya dan mulai menangis. “Aku belum pernah melihat ayahku,” katanya sambil menyimpan Al-Qur'an di sampingnya.
“Tidak sampai kemarin — aku tidak tahu apakah itu dia atau bukan. Aku khawatir jika aku berbicara dia akan lari, karena dia pernah lari dari kami sebelumnya. Ayahku adalah Ibrahim-e Adham, Raja Balkh.”
Orang itu menariknya untuk membawanya ke Ibrahim. Ibunya bangkit dan ikut pergi bersamanya. Ibrahim, ketika mereka mendekatinya, sedang duduk-duduk bersama teman-temannya di depan Pojok Yamani.
Dia melihat dari jauh temannya sedang bersama anak laki-laki itu dan ibunya. Begitu wanita itu melihatnya, dia menangis keras dan tidak bisa mengendalikan dirinya lagi.
“Ini adalah ayahmu.”
Kegemparan yang tak terlukiskan muncul. Seluruh orang yang ada di situ dan juga teman-teman Ibrahim menangis tersedu sedan. Begitu anak itu dapat mengendalikan dirinya, dia memberi salam kepada ayahnya. Ibrahim membalas salamnya dan mendekapnya ke dadanya.
“Agama apa yang engkau ikuti?” dia bertanya.
“Agama Islam,” jawab putranya.
“Alhamdulillah,” seru Ibrahim. “Apakah engkau memahami Al-Qur'an?”
“Ya.”
“Alhamdulillah. Sudahkah engkau mempelajari akidah?”