Imam Hasan Al-Basri dan Simeon, Penyembah Api yang Masuk Surga
loading...
A
A
A
Farid al-Din Attar dalam bukunya yang berjudul Tadhkirat al-Auliya’ berkisah, Hasan al-Basri memiliki seorang tetangga yang bernama Simeon, dia adalah seorang pemuja api. Suatu hari Simeon jatuh sakit dan ajalnya hampir tiba. Sahabat-sahabat meminta Hasan untuk bersedia menjenguknya.
Akhirnya Hasan al-Basri datang ke kediaman Simeon, dan dia mendapatkannya tengah terbaring di tempat tidur. Hasan al-Basri melihat tubuh Simeon telah menghitam karena api dan asap.
“Takutlah engkau terhadap Allah,” ujar Hasan al-Basri menasihatinya. “Engkau telah menghabiskan seluruh hidupmu di tengah api dan asap. Terimalah Islam, semoga Allah mengampunimu.”
“Ada tiga hal yang menahanku untuk menjadi seorang Muslim,” jawab pemuja api itu. “Yang pertama adalah, bahwa engkau berbicara buruk tentang dunia, namun siang dan malam engkau mengejar-ngejar hal-hal duniawi.
Kedua, engkau mengatakan bahwa kematian adalah kenyataan yang harus dihadapi, namun engkau tidak melakukan persiapan untuk kematian.
Yang ketiga, engkau mengatakan bahwa wajah Tuhan akan terlihat, namun hari ini engkau melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan keridhoan-Nya,” kata Simeon melanjutkan.
“Ini adalah bukti dari mereka yang benar-benar mengetahui,” jawab Hasan al-Basri. “Sekarang, jika seorang muslim bertindak seperti yang engkau gambarkan, apa yang akan engkau katakan?
Mereka mengakui keesaan Allah; padahal engkau telah menghabiskan hidupmu dalam penyembahan api. Engkau yang telah menyembah api selama tujuh puluh tahun, dan aku yang tidak pernah menyembah api — katakanlah kita berdua akan masuk neraka.
Neraka akan membakar baik engkau maupun aku. Allah tidak akan mempedulikanmu; tetapi jika Allah menghendaki, api tidak akan berani membakar satu helai rambutpun dari tubuhku. Karena api adalah sesuatu yang diciptakan oleh Allah; dan makhluk itu tunduk pada perintah Pencipta.
Baiklah sekarang, engkau yang telah menyembah api selama tujuh puluh tahun; mari kita berdua meletakkan tangan ke dalam api, maka engkau akan melihat dengan mata kepala sendiri ketidakberdayaan api dan kemahakuasaan Allah.”
Setelah berkata demikian Hasan al-Basri memasukkan tangannya ke dalam api dan mendiamkannya di sana. Setelah beberapa lama, tidak ada satu bagianpun dari tangannya yang terbakar. Ketika Simeon menyaksikannya, dia terkaget-kaget.
“Selama tujuh puluh tahun aku telah menyembah api,” erangnya. “Sekarang hanya satu atau dua nafas yang tersisa untukku. Apa yang harus aku lakukan?”
“Jadilah seorang Muslim,” jawab Hasan.
“Jika engkau mau memberiku surat keterangan tertulis bahwa Allah tidak akan menghukumku, maka aku akan memeluk Islam. Tetapi sampai aku belum memiliki surat keterangan tertulis itu, aku tidak akan memeluk Islam,” kata Simeon.
Hasan menyetujuinya dan dia menuliskan surat itu.
“Sekarang aku meminta dihadirkan saksi-saksi dari Basra untuk mengesahkan surat ini,” kata Simeon.
Setelah para saksi tiba, mereka mengesahkan dokumen itu. Tak lama kemudian Simeon berurai air mata dan dia menyatakan bahwa dirinya adalah seorang muslim.
Dia kemudian menyampaikan wasiat terakhirnya kepada Hasan al-Basri, “Ketika aku mati, mintalah mereka memandikanku, kemudian aku ingin engkau sendiri yang meletakkan tubuhku ke dalam bumi dengan tanganmu sendiri, dan selipkan surat ini di tanganku. Surat ini akan menjadi bukti bahwa aku seorang muslim.”
Setelah berwasiat kepada Hasan al-Basri, Simeon bersyahadat dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Mereka lalu memandikan dan menyolatkan jenazahnya, dan menguburkannya dengan surat yang diselipkan di tangannya. Malam itu, sebelum tidur Hasan al-Basri merenungkan apa yang telah dilakukannya.
“Bagaimana aku bisa membantu orang yang akan mati, sedangkan aku sendiri akan mati? Aku sendiri tidak dapat menentukan nasibku, mengapa aku memberanikan diri untuk memastikan bagaimana seharusnya Allah bertindak?”
Dengan pemikiran ini dia tertidur. Di dalam mimpi dia melihat Simeon yang bercahaya seperti pelita; di atas kepalanya terdapat sebuah mahkota, dia mengenakan jubah yang indah dan berjalan sambil tersenyum di taman Firdaus.
“Bagaimana kabarmu Simeon?” tanya Hasan al-Basri.
“Mengapa engkau bertanya? Engkau dapat melihatnya sendiri,” jawab Simeon. “Allah yang Mahakuasa atas karunia-Nya membawaku di dekat hadirat-Nya dan dengan keramahan menunjukkan wajah-Nya kepadaku. Nikmat yang Dia berikan kepadaku melampaui semua penggambaran. Engkau telah memberiku surat; sekarang ambillah suratmu. Aku tidak membutuhkannya lagi.”
Ketika Hasan al-Basri terbangun, dia melihat surat itu ada di tangannya. “Ya Allah!” serunya, “Aku tahu benar apa yang Engkau lakukan tidak membutuhkan alasan, kecuali hanya karena kasih-Mu.
Siapakah yang akan menderita kerugian di hadapan pintu-Mu? Engkau telah mengizinkan seseorang yang menyembah api selama tujuh puluh tahun untuk berada di dekat-Mu, semata-mata hanya karena satu kalimat. Lalu bagaimana mungkin Engkau akan menolak orang yang beriman selama tujuh puluh tahun?”
Akhirnya Hasan al-Basri datang ke kediaman Simeon, dan dia mendapatkannya tengah terbaring di tempat tidur. Hasan al-Basri melihat tubuh Simeon telah menghitam karena api dan asap.
“Takutlah engkau terhadap Allah,” ujar Hasan al-Basri menasihatinya. “Engkau telah menghabiskan seluruh hidupmu di tengah api dan asap. Terimalah Islam, semoga Allah mengampunimu.”
“Ada tiga hal yang menahanku untuk menjadi seorang Muslim,” jawab pemuja api itu. “Yang pertama adalah, bahwa engkau berbicara buruk tentang dunia, namun siang dan malam engkau mengejar-ngejar hal-hal duniawi.
Kedua, engkau mengatakan bahwa kematian adalah kenyataan yang harus dihadapi, namun engkau tidak melakukan persiapan untuk kematian.
Yang ketiga, engkau mengatakan bahwa wajah Tuhan akan terlihat, namun hari ini engkau melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan keridhoan-Nya,” kata Simeon melanjutkan.
“Ini adalah bukti dari mereka yang benar-benar mengetahui,” jawab Hasan al-Basri. “Sekarang, jika seorang muslim bertindak seperti yang engkau gambarkan, apa yang akan engkau katakan?
Mereka mengakui keesaan Allah; padahal engkau telah menghabiskan hidupmu dalam penyembahan api. Engkau yang telah menyembah api selama tujuh puluh tahun, dan aku yang tidak pernah menyembah api — katakanlah kita berdua akan masuk neraka.
Neraka akan membakar baik engkau maupun aku. Allah tidak akan mempedulikanmu; tetapi jika Allah menghendaki, api tidak akan berani membakar satu helai rambutpun dari tubuhku. Karena api adalah sesuatu yang diciptakan oleh Allah; dan makhluk itu tunduk pada perintah Pencipta.
Baiklah sekarang, engkau yang telah menyembah api selama tujuh puluh tahun; mari kita berdua meletakkan tangan ke dalam api, maka engkau akan melihat dengan mata kepala sendiri ketidakberdayaan api dan kemahakuasaan Allah.”
Setelah berkata demikian Hasan al-Basri memasukkan tangannya ke dalam api dan mendiamkannya di sana. Setelah beberapa lama, tidak ada satu bagianpun dari tangannya yang terbakar. Ketika Simeon menyaksikannya, dia terkaget-kaget.
“Selama tujuh puluh tahun aku telah menyembah api,” erangnya. “Sekarang hanya satu atau dua nafas yang tersisa untukku. Apa yang harus aku lakukan?”
“Jadilah seorang Muslim,” jawab Hasan.
“Jika engkau mau memberiku surat keterangan tertulis bahwa Allah tidak akan menghukumku, maka aku akan memeluk Islam. Tetapi sampai aku belum memiliki surat keterangan tertulis itu, aku tidak akan memeluk Islam,” kata Simeon.
Hasan menyetujuinya dan dia menuliskan surat itu.
“Sekarang aku meminta dihadirkan saksi-saksi dari Basra untuk mengesahkan surat ini,” kata Simeon.
Setelah para saksi tiba, mereka mengesahkan dokumen itu. Tak lama kemudian Simeon berurai air mata dan dia menyatakan bahwa dirinya adalah seorang muslim.
Dia kemudian menyampaikan wasiat terakhirnya kepada Hasan al-Basri, “Ketika aku mati, mintalah mereka memandikanku, kemudian aku ingin engkau sendiri yang meletakkan tubuhku ke dalam bumi dengan tanganmu sendiri, dan selipkan surat ini di tanganku. Surat ini akan menjadi bukti bahwa aku seorang muslim.”
Setelah berwasiat kepada Hasan al-Basri, Simeon bersyahadat dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Mereka lalu memandikan dan menyolatkan jenazahnya, dan menguburkannya dengan surat yang diselipkan di tangannya. Malam itu, sebelum tidur Hasan al-Basri merenungkan apa yang telah dilakukannya.
“Bagaimana aku bisa membantu orang yang akan mati, sedangkan aku sendiri akan mati? Aku sendiri tidak dapat menentukan nasibku, mengapa aku memberanikan diri untuk memastikan bagaimana seharusnya Allah bertindak?”
Dengan pemikiran ini dia tertidur. Di dalam mimpi dia melihat Simeon yang bercahaya seperti pelita; di atas kepalanya terdapat sebuah mahkota, dia mengenakan jubah yang indah dan berjalan sambil tersenyum di taman Firdaus.
“Bagaimana kabarmu Simeon?” tanya Hasan al-Basri.
“Mengapa engkau bertanya? Engkau dapat melihatnya sendiri,” jawab Simeon. “Allah yang Mahakuasa atas karunia-Nya membawaku di dekat hadirat-Nya dan dengan keramahan menunjukkan wajah-Nya kepadaku. Nikmat yang Dia berikan kepadaku melampaui semua penggambaran. Engkau telah memberiku surat; sekarang ambillah suratmu. Aku tidak membutuhkannya lagi.”
Ketika Hasan al-Basri terbangun, dia melihat surat itu ada di tangannya. “Ya Allah!” serunya, “Aku tahu benar apa yang Engkau lakukan tidak membutuhkan alasan, kecuali hanya karena kasih-Mu.
Siapakah yang akan menderita kerugian di hadapan pintu-Mu? Engkau telah mengizinkan seseorang yang menyembah api selama tujuh puluh tahun untuk berada di dekat-Mu, semata-mata hanya karena satu kalimat. Lalu bagaimana mungkin Engkau akan menolak orang yang beriman selama tujuh puluh tahun?”
(mhy)