Membandingkan Karamah Habib al-Ajami dan Pengetahuan Imam Hasan Al-Basri
loading...
A
A
A
Habib al-Ajami (dari kata Ajam, yang artinya adalah orang non-Arab) adalah seorang rentenir. Pada kesehariannya dalam menagih piutang. Dia biasanya akan membebankan denda apabila ada yang tidak sanggup membayar tepat waktu.
Suatu hari ketika sedang menagih, seorang istri dari yang berutang, karena tidak punya uang, memberinya daging.
Habib kemudian pulang, sampai di rumah istrinya memberitahu bahwa dia tidak memiliki bahan bakar maupun roti untuk makan.
Pada kesempatan lain, setelah melakukan aktivitas penagihan, dalam perjalanan pulang Habib bertemu seorang pengemis yang meminta-minta kepadanya. Karena tidak suka, Habib kemudian menamparnya tanpa perasaan.
Sesampainya di rumah, istrinya memberitahu bahwa makanan yang telah dipersiapkannya entah mengapa berubah menjadi darah.
Dengan serangkaian peristiwa tersebut, Habib akhirnya menyesal, dan dia memutuskan untuk tidak lagi menjadi seorang rentenir.
Pada hari Jumat, dia pergi untuk sholat Jumat, dan di sana dia mendengarkan khotbah Hasan al-Basri. Di tengah khotbah, Habib jatuh pingsan. Setelah sadar dia membuat sebuah pengumuman, dia menyatakan akan menghapuskan semua utang dan akan mengembalikan semua keuntungan dari riba yang dia peroleh dari para pengutang.
Beberapa tahun setelah Habib memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktunya untuk belajar kepada Hasan al-Basri , istrinya sakit parah.
Setiap malam ketika dia pulang, dia tidak membawa uang sepeser pun. Setelah berlangsung sepuluh hari, tiba-tiba seseorang datang ke rumahnya dan memberinya banyak makanan dan kebutuhan rumah tangga. Habib sangat keheranan, dan setelahnya dia mendedikasikan dirinya sepenuhnya untuk Allah SWT, Sang Maha Pengasih.
Setelah menjadi murid Imam Hasan Al-Basri, suatu hari Habib bertemu gurunya di tepi Sungai Tigris dan bertanya kepadanya mengapa dia berada di sana. Hasan menjawab bahwa dia sedang menunggu perahu.
Habib kemudian teringat akan sebuah pelajaran dari Hasan: jika dia benar-benar meninggalkan dunia dan bergantung kepada Allah, maka dia dapat berjalan di atas air. Habib kemudian melakukannya, berjalan di atas air. Melihat hal itu Hasan jatuh pingsan.
Setelah sadar, Hasan memberitahu teman-temannya bahwa Habib memiliki karamah berjalan di atas air. Namun Hasan mengatakan bahwa kemampuan Habib, sebagian besar berkat dirinya, karena Habib merupakan muridnya.
Farid al-Din Attar dalam buku berjudul Kisah para Wali berkisah, pada suatu hari Hasan bertemu Habib, dan dia bertanya bagaimana Habib dapat mencapai tingkatan spiritual seperti itu.
Habib berkata, “Dengan memutihkan hatiku, sementara engkau menghitamkan kertas.”
Hasan kemudian menjawab, “Pengetahuanku tidak memberi manfaat kepada diriku sendiri, tetapi memberi manfaat kepada orang lain.”
Menyimak kisah di atas, sepintas Habib terlihat telah melampaui Hasan. Namun tidak demikian menurut Farid al-Din Attar. Habib tetap masih di bawah Hasan. Dia menjelaskan bahwa karamah nilainya masih di bawah pengetahuan.
Karamah hanya membutuhkan tingkat kesalehan lebih lanjut, tetapi tidak halnya dalam pengetahuan, ia membutuhkan perenungan yang jauh lebih mendalam.
Attar menekankan bahwa pengetahuan Hasan begitu tinggi sehingga dia diumpamakan seperti hubungan Nabi Musa terhadap Nabi Sulaiman. Sulaiman memang memiliki banyak mukjizat, tetapi Musa, dengan pengetahuannya mampu melakukan sesuatu yang lebih besar ketimbang dari sekadar mukjizat.
Suatu hari ketika sedang menagih, seorang istri dari yang berutang, karena tidak punya uang, memberinya daging.
Habib kemudian pulang, sampai di rumah istrinya memberitahu bahwa dia tidak memiliki bahan bakar maupun roti untuk makan.
Pada kesempatan lain, setelah melakukan aktivitas penagihan, dalam perjalanan pulang Habib bertemu seorang pengemis yang meminta-minta kepadanya. Karena tidak suka, Habib kemudian menamparnya tanpa perasaan.
Sesampainya di rumah, istrinya memberitahu bahwa makanan yang telah dipersiapkannya entah mengapa berubah menjadi darah.
Dengan serangkaian peristiwa tersebut, Habib akhirnya menyesal, dan dia memutuskan untuk tidak lagi menjadi seorang rentenir.
Pada hari Jumat, dia pergi untuk sholat Jumat, dan di sana dia mendengarkan khotbah Hasan al-Basri. Di tengah khotbah, Habib jatuh pingsan. Setelah sadar dia membuat sebuah pengumuman, dia menyatakan akan menghapuskan semua utang dan akan mengembalikan semua keuntungan dari riba yang dia peroleh dari para pengutang.
Beberapa tahun setelah Habib memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktunya untuk belajar kepada Hasan al-Basri , istrinya sakit parah.
Setiap malam ketika dia pulang, dia tidak membawa uang sepeser pun. Setelah berlangsung sepuluh hari, tiba-tiba seseorang datang ke rumahnya dan memberinya banyak makanan dan kebutuhan rumah tangga. Habib sangat keheranan, dan setelahnya dia mendedikasikan dirinya sepenuhnya untuk Allah SWT, Sang Maha Pengasih.
Setelah menjadi murid Imam Hasan Al-Basri, suatu hari Habib bertemu gurunya di tepi Sungai Tigris dan bertanya kepadanya mengapa dia berada di sana. Hasan menjawab bahwa dia sedang menunggu perahu.
Habib kemudian teringat akan sebuah pelajaran dari Hasan: jika dia benar-benar meninggalkan dunia dan bergantung kepada Allah, maka dia dapat berjalan di atas air. Habib kemudian melakukannya, berjalan di atas air. Melihat hal itu Hasan jatuh pingsan.
Setelah sadar, Hasan memberitahu teman-temannya bahwa Habib memiliki karamah berjalan di atas air. Namun Hasan mengatakan bahwa kemampuan Habib, sebagian besar berkat dirinya, karena Habib merupakan muridnya.
Farid al-Din Attar dalam buku berjudul Kisah para Wali berkisah, pada suatu hari Hasan bertemu Habib, dan dia bertanya bagaimana Habib dapat mencapai tingkatan spiritual seperti itu.
Habib berkata, “Dengan memutihkan hatiku, sementara engkau menghitamkan kertas.”
Hasan kemudian menjawab, “Pengetahuanku tidak memberi manfaat kepada diriku sendiri, tetapi memberi manfaat kepada orang lain.”
Menyimak kisah di atas, sepintas Habib terlihat telah melampaui Hasan. Namun tidak demikian menurut Farid al-Din Attar. Habib tetap masih di bawah Hasan. Dia menjelaskan bahwa karamah nilainya masih di bawah pengetahuan.
Karamah hanya membutuhkan tingkat kesalehan lebih lanjut, tetapi tidak halnya dalam pengetahuan, ia membutuhkan perenungan yang jauh lebih mendalam.
Attar menekankan bahwa pengetahuan Hasan begitu tinggi sehingga dia diumpamakan seperti hubungan Nabi Musa terhadap Nabi Sulaiman. Sulaiman memang memiliki banyak mukjizat, tetapi Musa, dengan pengetahuannya mampu melakukan sesuatu yang lebih besar ketimbang dari sekadar mukjizat.
(mhy)