Kisah Sufi, Putri yang Tidak Patuh
loading...
A
A
A
"Di sini," katanya kepada dirinya sendiri, "adalah suatu kehidupan yang unsur-unsurnya saling mengisi, membentuk sebuah kelengkapan, namun tak satu pun dari unsur-unsur itu yang secara sendiri atau bersama tunduk kepada perintah ayahku."
Suatu hari seorang pengelana yang tersesat dia seorang kaya dan berbudi tinggi --tanpa sengaja bertemu dengan putri buangan itu, jatuh cinta kepadanya, dan membawanya pulang ke negerinya. Di sana mereka menikah.
Setelah sekian waktu, mereka berdua memutuskan untuk kembali ke alam liar, kemudian mereka membangun sebuah kota yang megah dan makmur di mana kebijaksanaan, akal, dan keteguhan hati mereka sepenuhnya terpancar. Orang-orang 'sinting' dan orang buangan lainnya, banyak di antaranya dulu dianggap orang gila, hidup serasi dan saling membantu dalam berbagai hal.
Kota itu dan desa-desa di sekitarnya menjadi mashyur hingga ke seluruh dunia. Kekuatan dan keindahannya lebih cemerlang dari pada kerajaan ayah sang putri.
Dengan suara bulat, para penduduk di wilayah tersebut, sang putri, dan suaminya diangkat untuk memerintah atas kerajaan baru dan serba indah itu.
Pada akhirnya, ayah sang putri memutuskan untuk mengunjungi negeri asing dan penuh teka-teki itu, yang dibangun di alam liar, dan seperti yang didengarnya, dihuni oleh orang-orang buangan yang direndahkan olehnya dan sejawatnya.
Dengan kepala tertunduk, perlahan dihampirinya tahta pasangan penguasa muda itu. Ketika ditengadahkannya matanya untuk memandang mereka yang keadilan, kemakmuran, dan kebijaksanaannya harum mengungguli miliknya ia dapat mendengar kata-kata lembut putrinya:
"Kau lihat, Ayah, setiap laki-laki dan perempuan mempunyai nasib dan pilihannya sendiri."
Idries Shah menyebut, menurut sebuah naskah Sufi, Sultan Saladin bertemu guru agung Ahmad Al-Rifai, pendiri Tarekat Rifaiyyah, 'Kaum Darwis yang Menangis', dan mengajukan beberapa pertanyaan.
Cerita di atas dituturkan oleh Rifai untuk menjawab pertanyaan: "Apa alasanmu, jika pun ada, sehingga engkau menganggap bahwa pemberlakuan aturan hukum tidaklah memadai untuk melestarikan kebahagian dan keadilan?"
Pertemuan itu terjadi pada tahun 1174, tetapi kisah ini, yang juga dikenal dalam tradisi-tradisi lain selain dalam naskah sufi tersebut, telah dipakai untuk menjelaskan kemungkinan adanya suatu perbedaan keadaan kesadaran dalam diri manusia.
Kisah ini juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Ahmad Bahar dengan judul Putri yang Tidak Patuh dalam buku berjudul Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi.
Suatu hari seorang pengelana yang tersesat dia seorang kaya dan berbudi tinggi --tanpa sengaja bertemu dengan putri buangan itu, jatuh cinta kepadanya, dan membawanya pulang ke negerinya. Di sana mereka menikah.
Setelah sekian waktu, mereka berdua memutuskan untuk kembali ke alam liar, kemudian mereka membangun sebuah kota yang megah dan makmur di mana kebijaksanaan, akal, dan keteguhan hati mereka sepenuhnya terpancar. Orang-orang 'sinting' dan orang buangan lainnya, banyak di antaranya dulu dianggap orang gila, hidup serasi dan saling membantu dalam berbagai hal.
Kota itu dan desa-desa di sekitarnya menjadi mashyur hingga ke seluruh dunia. Kekuatan dan keindahannya lebih cemerlang dari pada kerajaan ayah sang putri.
Dengan suara bulat, para penduduk di wilayah tersebut, sang putri, dan suaminya diangkat untuk memerintah atas kerajaan baru dan serba indah itu.
Pada akhirnya, ayah sang putri memutuskan untuk mengunjungi negeri asing dan penuh teka-teki itu, yang dibangun di alam liar, dan seperti yang didengarnya, dihuni oleh orang-orang buangan yang direndahkan olehnya dan sejawatnya.
Dengan kepala tertunduk, perlahan dihampirinya tahta pasangan penguasa muda itu. Ketika ditengadahkannya matanya untuk memandang mereka yang keadilan, kemakmuran, dan kebijaksanaannya harum mengungguli miliknya ia dapat mendengar kata-kata lembut putrinya:
"Kau lihat, Ayah, setiap laki-laki dan perempuan mempunyai nasib dan pilihannya sendiri."
Idries Shah menyebut, menurut sebuah naskah Sufi, Sultan Saladin bertemu guru agung Ahmad Al-Rifai, pendiri Tarekat Rifaiyyah, 'Kaum Darwis yang Menangis', dan mengajukan beberapa pertanyaan.
Cerita di atas dituturkan oleh Rifai untuk menjawab pertanyaan: "Apa alasanmu, jika pun ada, sehingga engkau menganggap bahwa pemberlakuan aturan hukum tidaklah memadai untuk melestarikan kebahagian dan keadilan?"
Pertemuan itu terjadi pada tahun 1174, tetapi kisah ini, yang juga dikenal dalam tradisi-tradisi lain selain dalam naskah sufi tersebut, telah dipakai untuk menjelaskan kemungkinan adanya suatu perbedaan keadaan kesadaran dalam diri manusia.
Kisah ini juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Ahmad Bahar dengan judul Putri yang Tidak Patuh dalam buku berjudul Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi.
Baca Juga
(mhy)