Pertikaian dan Perang Saudara Biang Keruntuhan Dinasti Saud II
loading...
A
A
A
Dinasti Saud I hancur menjadi puing-puing akibat serangan dari luar, sedangkan Dinasti Saud II menutup dinastinya akibat kekacauan internal, perang saudara.
Setelah Imam Dinasti Saud II, Faishal bin Turki bin Abdullah wafat, Kerajaan Saud II diliputi pertikaian antarkeluarga. Putra-putra Faishal larut dalam perang antarsesama yang tak berkesudahan.
Faishal bin Turki meninggalkan empat anak: Muhammad, Abdullah, Saud, dan Abdurrahman. Tiga orang putranya tersebut masing-masing diangkat menjadi Amir di sejumlah wilayah.
Prof Dr Hamka dalam bukunya berjudul "Fakta dan Khayal Tuangku Rao" menuturkan Muhammad bin Faishal menjadi Amir di daerah utara. Saud bin Faishal menjadi Amir Kharaaj dan Aflah. Abdullah bin Faishal menjadi Amir di Riyadh. Sedangkan Abdurrahman bin Faishal, putra yang bungsu, tinggal di dalam asuhan abangnya Abdullah di Riyadh.
Tiga orang putra Faisal ini --Abdullah, Saud, dan Abdurrahman-- secara bergantian memperebutkan tahta kerajaan.
Celakanya, perang saudara ini tidak hanya menyeret anggota keluarga klan Saud lainnya, tapi juga menyeret berbagai kekuatan lain di kawasan masa itu.
Pemberontakan Saud
Pada tahap awal, setelah kematian Faishal, anaknya yang bernama Abdullah naik tahta. Tapi penobatannya ini justru diprotes oleh adiknya, Saud yang langsung melancarkan pemberontakan terhadap kekuasaan kakaknya.
Abdullah meminta bantuan dari Midhat Pasya, Gubernur Usmaniyah di Baghdad untuk memadamkan pemberontakan ini. Permintaan ini dipenuhi dan invasi dari Bagdad terjadi pada 1870, walaupun hanya berhasil menghentikan perang saudara sebentar.
Buya Hamka menuturkan, Panglima Midhat Pasya merebut al-Ahsaa, dengan bantuan Syaikh Mubarak Sabah dari Kuwait. Dicaploknya al-Ahsaa oleh Ustmaniyah, menyebabkan hubungan Riyadh dengan Oman terputus. "Sebab Oman telah terpisah, dan dengan segera Inggris mencaplok Oman pula," tulisnya.
Saud yang kalah kemudian menggalang kekuatan suku-suku di sekitar kawasan yang tidak berada di bawah kendali kakaknya untuk melakukan perlawanan kembali.
Pada tahun 1871, kekuasaan Abdullah berhasil ditaklukkan oleh Saud dalam pertempuran Judah. Saud pun naik tahta menggantikan kakaknya.
Saud sempat memerintah selama 4 tahun dan meninggal pada 1875. Pada tahun 1888 M/1306 H pecah perang lagi di antara cucu-cucu Saud bin Faishal dengan paman mereka Abdullah bin Faishal. Di lain pihak juga Abdullah dengan adiknya Abdurrahman bin Faishal.
Klan Rashid
Di tengah pertikaian itu, muncul bintang baru dalam peta politik kawasan, Muḥammad ibn’Abd Allāh al-Rashīd. Klan Rashid, pada mulanya merupakan agen keluarga Saud. Oleh dinasti Saud mereka diperintahkan untuk membawahi wilayah Ha’il pada tahun 1836.
Seiring berjalannya waktu, di tengah gejolak kawasan yang tidak menentu dan instabilitas politik yang terjadi di dalam tubuh keluarga Saud, mereka justru berkembang menjadi kekuatan yang mandiri.
Secara intensif mereka menjalin hubungan yang baik dengan Ottoman, dan mendapat perlindungan serta kepercayaan dari mereka.
Pada saat Faisal bin Turki wafat, klan Rashid justru naik pamornya dan menjadi salah satu kekuatan yang disegani di kawasan.
Pada saat Abdullah mengalami konflik dengan adiknya, Saud, ia memohon bantuan pada Ottoman, yang kemudian mengutus Muhammad ibn Rashid untuk memenuhi permohonan Abdullah.
Awalnya, Muhammad ibn Rashid berusaha menjaga jarak dari konflik internal keluarga Saud. Namun sejak diperintahkan oleh Ottoman, dan atas permohonan Abdullah, maka ia memutuskan untuk masuk dalam konflik keluarga tersebut.
Tapi sejarah kemudian menuliskan, bahwa Muhammad ibn Rashid justru berbalik mengkhianati kepercayaan ini.
Setelah berhasil menundukkan kekuatan dinasti Saud, ia kemudian menguasai Riyadh dan menyandera Abdullah di Ha’il, serta memaksanya tunduk pada klan Rashid.
Di sisi lain, Muhammad ibn Rashid juga menyatakan merdeka dari kekuasaan Ottoman. Atas kondisi ini, Abdullah akhirnya menyetujui keinginan Muhammad ibn Rashid dan menjadi gubernur dinasti Rashid di Riyadh pada 1889.
Pada tahun yang sama Abdullah wafat dengan membawa segudang kekecewaan dan jejak kekalahan.
Abdurrahman bin Faishal
Sisa kekuatan dinasti Saud kemudian berpindah tangan ke adiknya, Abdurrahman bin Faishal. Ia menggantikan kedudukan kakaknya sebagai gubernur dinasti Rashid di Riyadh.
Tugas berat menantinya. Untuk membangun kembali klan Saud, ia juga harus terlebih dahulu melepaskan diri dari belenggu kekuasaan dinasti Rashid.
Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya, ia secara perlahan melakukan perlawanan kepada dinasti Rashid, dan menyatakan memisahkan diri dari kekuasaan Rashid. Atas pembangkangan ini, Muhammad bin Rashid tidak mentolerir. Ia mengerahkan pasukan untuk merebut Riyadh.
Pada tahun 1891 pertempuran Al-Mulayah pecah antara sisa kekuatan dinasti Saud dengan kekuatan dinasti Rashid yang sedang berada di puncak supremasinya.
Pertempuran ini bisa dikatakan sebagai pertempuran penghabisan. Hampir seluruh sisa kekuatan dinasti Saud dikerahkan untuk mempertahankan Riyadh. Dan pada saat mereka mengalami kekalahan, maka kekuatan Dinasti Saud II mengalami kehancuran sangat parah.
Abdul Aziz al-Saud
Abdurrahman pun melarikan diri bersama sebagain kecil keluarganya yang tersisa ke Bahrain untuk memohon perlindungan. Selanjutnya, pada tahun 1308 H/1890 M berpindah ke Kuwait. Di tempat ini mereka berada di bawah perlindungan klan Al-Sabah, penguasa Kuwait waktu itu.
Usia Abdul Aziz bin Abdurrahman al-Saud ketika dibawa pindah oleh ayahnya baru 12 tahun. Dialah, dalam usia 24 tahun (1902) mengadu untung dengan 40 orang pengiringnya, menyelinap secara gerilya, datang kembali ke Riyadh dan merebut kota itu kembali dari tangan musuhnya.
Abdul Aziz al-Saud pembangun Kerajaan Saudi kembali di awal abad kedua puluh. Selain merebut Riyadh ia mengalahkan dinasti Rashid, menguasai Makkah, Madinah dan hampir seluruh semenanjung Arabia. Wilayah kekuasaannya inilah yang kini kita kenal dengan Saudi Arabia.
Buya Hamka menulis setelah duduk menjadi Imam Besar Kerajaan yang didirikannya sendiri dengan pedangnya dan buah kurma --lambang negerinya sekarang-- 50 tahun lamanya Abdul Aziz “Thawil ul-umur” (Si Panjang Umur) pun mangkat tahun 1953.
Setelah Imam Dinasti Saud II, Faishal bin Turki bin Abdullah wafat, Kerajaan Saud II diliputi pertikaian antarkeluarga. Putra-putra Faishal larut dalam perang antarsesama yang tak berkesudahan.
Faishal bin Turki meninggalkan empat anak: Muhammad, Abdullah, Saud, dan Abdurrahman. Tiga orang putranya tersebut masing-masing diangkat menjadi Amir di sejumlah wilayah.
Prof Dr Hamka dalam bukunya berjudul "Fakta dan Khayal Tuangku Rao" menuturkan Muhammad bin Faishal menjadi Amir di daerah utara. Saud bin Faishal menjadi Amir Kharaaj dan Aflah. Abdullah bin Faishal menjadi Amir di Riyadh. Sedangkan Abdurrahman bin Faishal, putra yang bungsu, tinggal di dalam asuhan abangnya Abdullah di Riyadh.
Tiga orang putra Faisal ini --Abdullah, Saud, dan Abdurrahman-- secara bergantian memperebutkan tahta kerajaan.
Celakanya, perang saudara ini tidak hanya menyeret anggota keluarga klan Saud lainnya, tapi juga menyeret berbagai kekuatan lain di kawasan masa itu.
Pemberontakan Saud
Pada tahap awal, setelah kematian Faishal, anaknya yang bernama Abdullah naik tahta. Tapi penobatannya ini justru diprotes oleh adiknya, Saud yang langsung melancarkan pemberontakan terhadap kekuasaan kakaknya.
Abdullah meminta bantuan dari Midhat Pasya, Gubernur Usmaniyah di Baghdad untuk memadamkan pemberontakan ini. Permintaan ini dipenuhi dan invasi dari Bagdad terjadi pada 1870, walaupun hanya berhasil menghentikan perang saudara sebentar.
Buya Hamka menuturkan, Panglima Midhat Pasya merebut al-Ahsaa, dengan bantuan Syaikh Mubarak Sabah dari Kuwait. Dicaploknya al-Ahsaa oleh Ustmaniyah, menyebabkan hubungan Riyadh dengan Oman terputus. "Sebab Oman telah terpisah, dan dengan segera Inggris mencaplok Oman pula," tulisnya.
Saud yang kalah kemudian menggalang kekuatan suku-suku di sekitar kawasan yang tidak berada di bawah kendali kakaknya untuk melakukan perlawanan kembali.
Pada tahun 1871, kekuasaan Abdullah berhasil ditaklukkan oleh Saud dalam pertempuran Judah. Saud pun naik tahta menggantikan kakaknya.
Saud sempat memerintah selama 4 tahun dan meninggal pada 1875. Pada tahun 1888 M/1306 H pecah perang lagi di antara cucu-cucu Saud bin Faishal dengan paman mereka Abdullah bin Faishal. Di lain pihak juga Abdullah dengan adiknya Abdurrahman bin Faishal.
Klan Rashid
Di tengah pertikaian itu, muncul bintang baru dalam peta politik kawasan, Muḥammad ibn’Abd Allāh al-Rashīd. Klan Rashid, pada mulanya merupakan agen keluarga Saud. Oleh dinasti Saud mereka diperintahkan untuk membawahi wilayah Ha’il pada tahun 1836.
Seiring berjalannya waktu, di tengah gejolak kawasan yang tidak menentu dan instabilitas politik yang terjadi di dalam tubuh keluarga Saud, mereka justru berkembang menjadi kekuatan yang mandiri.
Secara intensif mereka menjalin hubungan yang baik dengan Ottoman, dan mendapat perlindungan serta kepercayaan dari mereka.
Pada saat Faisal bin Turki wafat, klan Rashid justru naik pamornya dan menjadi salah satu kekuatan yang disegani di kawasan.
Pada saat Abdullah mengalami konflik dengan adiknya, Saud, ia memohon bantuan pada Ottoman, yang kemudian mengutus Muhammad ibn Rashid untuk memenuhi permohonan Abdullah.
Awalnya, Muhammad ibn Rashid berusaha menjaga jarak dari konflik internal keluarga Saud. Namun sejak diperintahkan oleh Ottoman, dan atas permohonan Abdullah, maka ia memutuskan untuk masuk dalam konflik keluarga tersebut.
Tapi sejarah kemudian menuliskan, bahwa Muhammad ibn Rashid justru berbalik mengkhianati kepercayaan ini.
Setelah berhasil menundukkan kekuatan dinasti Saud, ia kemudian menguasai Riyadh dan menyandera Abdullah di Ha’il, serta memaksanya tunduk pada klan Rashid.
Di sisi lain, Muhammad ibn Rashid juga menyatakan merdeka dari kekuasaan Ottoman. Atas kondisi ini, Abdullah akhirnya menyetujui keinginan Muhammad ibn Rashid dan menjadi gubernur dinasti Rashid di Riyadh pada 1889.
Pada tahun yang sama Abdullah wafat dengan membawa segudang kekecewaan dan jejak kekalahan.
Abdurrahman bin Faishal
Sisa kekuatan dinasti Saud kemudian berpindah tangan ke adiknya, Abdurrahman bin Faishal. Ia menggantikan kedudukan kakaknya sebagai gubernur dinasti Rashid di Riyadh.
Tugas berat menantinya. Untuk membangun kembali klan Saud, ia juga harus terlebih dahulu melepaskan diri dari belenggu kekuasaan dinasti Rashid.
Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya, ia secara perlahan melakukan perlawanan kepada dinasti Rashid, dan menyatakan memisahkan diri dari kekuasaan Rashid. Atas pembangkangan ini, Muhammad bin Rashid tidak mentolerir. Ia mengerahkan pasukan untuk merebut Riyadh.
Pada tahun 1891 pertempuran Al-Mulayah pecah antara sisa kekuatan dinasti Saud dengan kekuatan dinasti Rashid yang sedang berada di puncak supremasinya.
Pertempuran ini bisa dikatakan sebagai pertempuran penghabisan. Hampir seluruh sisa kekuatan dinasti Saud dikerahkan untuk mempertahankan Riyadh. Dan pada saat mereka mengalami kekalahan, maka kekuatan Dinasti Saud II mengalami kehancuran sangat parah.
Abdul Aziz al-Saud
Abdurrahman pun melarikan diri bersama sebagain kecil keluarganya yang tersisa ke Bahrain untuk memohon perlindungan. Selanjutnya, pada tahun 1308 H/1890 M berpindah ke Kuwait. Di tempat ini mereka berada di bawah perlindungan klan Al-Sabah, penguasa Kuwait waktu itu.
Usia Abdul Aziz bin Abdurrahman al-Saud ketika dibawa pindah oleh ayahnya baru 12 tahun. Dialah, dalam usia 24 tahun (1902) mengadu untung dengan 40 orang pengiringnya, menyelinap secara gerilya, datang kembali ke Riyadh dan merebut kota itu kembali dari tangan musuhnya.
Abdul Aziz al-Saud pembangun Kerajaan Saudi kembali di awal abad kedua puluh. Selain merebut Riyadh ia mengalahkan dinasti Rashid, menguasai Makkah, Madinah dan hampir seluruh semenanjung Arabia. Wilayah kekuasaannya inilah yang kini kita kenal dengan Saudi Arabia.
Buya Hamka menulis setelah duduk menjadi Imam Besar Kerajaan yang didirikannya sendiri dengan pedangnya dan buah kurma --lambang negerinya sekarang-- 50 tahun lamanya Abdul Aziz “Thawil ul-umur” (Si Panjang Umur) pun mangkat tahun 1953.
(mhy)