Kisah Faishal bin Turki, Khalifah Saudi yang Sempat Dipenjara
loading...
A
A
A
Kisah Faishal bin Turki , Khalifah Dinasti Saud II , pengganti Turki bin Abdullah memang unik. Ia sukses merebut tahta dari lawan politiknya yang mengkudeta ayahnya.
Pada saat menjabat khalifah, ia ditangkap dan dimasukkan ke penjara oleh penguasa Mesir. Lolos dari penjara, ia kembali menduduki tahtanya dan membawa Dinasti Saud II mencapai masa pertumbuhan.
Prof Dr Hamka dalam bukunya berjudul "Fakta dan Khayal Tuanku Rao" menuturkan pada saat terjadi kudeta atas tahta Khalifah Turki bin Abdullah, Faishal sedang memerintah atas nama ayahnya di Qathif. Begitu ia menerima berita bahwa ayahnya terbunuh dalam kudeta itu, Faishal buru-buru pulang ke Riyadh.
Faishal bin Turki kembali merebut haknya sebagai Khalifah pada Dinasti Saudi II yang sempat jatuh ke tangan pembunuh ayahnya. Dalam hal ini Faishal dibantu Ibnu Rasyid, Amir di Haail.
Menurut Buya Hamka, sejak itu dengan sendirinya telah tumbuh kasam-kasumat di antara cabang keluarga. "Dan Faishal bin Turki berutang budi kepada Ibnu Rasyid yang menyokongnya," tulis Buya Hamka.
Salah Satu Tawanan
Masa lalu Faishal bin Turki bin Abdullah cukup berliku. Ia adalah salah satu tawanan yang diarak ke Mesir pada waktu penguasa Mesir, Ibrahim Pasha, menaklukan Dinasti Saud I.
Setelah Abdullah bin Saud dieskekusi di Istambul, maka sebagian dari anggota klan Saud ada yang dibiarkan hidup dan hanya ditahan di Mesir, salah satunya adalah Faisal bin Turki bin Abdullah.
Ia naik tahta setelah pada 1834, Turki bin Abdullah -- ayahnya-- dibunuh oleh sepupunya sendiri dengan alasan kekuasaan.
Menurut Buya Hamka, setelah 3 tahun memerintah, tidaklah membuat Faishal tenteram. Lawan-lawan politiknya terus mencari cara buat meruntuhkannya. Pada saat kelemahannya itu tiba-tiba datang sekali lagi tentara Mesir yang berpangkalan di Madinah, di bawah Komandan Khoursyid Pasha.
"Imam Faishal ditangkap karena dianggap tidak sanggup mengatur negerinya. Beliau ditawan dan dibawa ke Mesir. Sebagai penggantinya, diangkatlah seorang Amir-boneka, bernama Amir Khalid," tutur Buya Hamka.
Amir ini sudah lama tinggal di Mesir sehingga rakyat Nejd menganggapnya sebagai orang lain. Dia hanya dua tahun sanggup memegang pangkat Amir yang tidak berurat itu.
Setelah dua tahun hidup seperti terpencil dalam negeri sendiri, dia diturunkan dari kedudukannya, dan terpaksa ke Madinah. Ia pun digantikan oleh Abdullah bin Tsanian bin Ibrahim bin Tsanian bin Saud.
Rakyat juga tidak menyukai Amir baru ini. Pada saat itu, Faishal bin Turki berada dalam tahanan di satu benteng di Mesir. Kendati demikian, Faishal mengikuti perkembangan yang terjadi berkat laporan para pengikutnya.
Pada satu tengah malam keluarlah Imam Faishal dari tahanan dengan menyamar. Dengan susah payah akhirnya beliau sampai juga kembali ke negerinya.
Dia disambut rakyat dengan gembira. Karena beliau memang Imam yang sah. Abdullah bin Tsanian lari dan mencari perlindungan kepada tentara Mesir. Pemerintahan Mesir pun tidak bersemangat lagi menyambut perkembangan baru ini.
Kala itu Muhammad Ali Pasha telah meninggal dunia (1849), setelah putranya, Ibrahim Pasha, mendahuluinya (1848).
Pada saat Faishal pulang ke negerinya, Emir Mesir dijabat Abbas Pasha I bin Thouson Pasya bin Muhammad Ali Pasha (memerintah dari tahun 1849 sampai 1854).
Masa yang pendek dari pemerintahan Abbas Pasha I (5 tahun) adalah masa tenang bagi Mesir, menyelesaikan pusaka agresi dari ayahnya dan kakeknya, dengan percobaan mereka hendak meluaskan kekuasaan, mendirikan sebuah Imperium telah distop oleh Kerajaan-kerajaan Eropa.
Pada saat menjabat khalifah, ia ditangkap dan dimasukkan ke penjara oleh penguasa Mesir. Lolos dari penjara, ia kembali menduduki tahtanya dan membawa Dinasti Saud II mencapai masa pertumbuhan.
Prof Dr Hamka dalam bukunya berjudul "Fakta dan Khayal Tuanku Rao" menuturkan pada saat terjadi kudeta atas tahta Khalifah Turki bin Abdullah, Faishal sedang memerintah atas nama ayahnya di Qathif. Begitu ia menerima berita bahwa ayahnya terbunuh dalam kudeta itu, Faishal buru-buru pulang ke Riyadh.
Faishal bin Turki kembali merebut haknya sebagai Khalifah pada Dinasti Saudi II yang sempat jatuh ke tangan pembunuh ayahnya. Dalam hal ini Faishal dibantu Ibnu Rasyid, Amir di Haail.
Menurut Buya Hamka, sejak itu dengan sendirinya telah tumbuh kasam-kasumat di antara cabang keluarga. "Dan Faishal bin Turki berutang budi kepada Ibnu Rasyid yang menyokongnya," tulis Buya Hamka.
Salah Satu Tawanan
Masa lalu Faishal bin Turki bin Abdullah cukup berliku. Ia adalah salah satu tawanan yang diarak ke Mesir pada waktu penguasa Mesir, Ibrahim Pasha, menaklukan Dinasti Saud I.
Setelah Abdullah bin Saud dieskekusi di Istambul, maka sebagian dari anggota klan Saud ada yang dibiarkan hidup dan hanya ditahan di Mesir, salah satunya adalah Faisal bin Turki bin Abdullah.
Ia naik tahta setelah pada 1834, Turki bin Abdullah -- ayahnya-- dibunuh oleh sepupunya sendiri dengan alasan kekuasaan.
Menurut Buya Hamka, setelah 3 tahun memerintah, tidaklah membuat Faishal tenteram. Lawan-lawan politiknya terus mencari cara buat meruntuhkannya. Pada saat kelemahannya itu tiba-tiba datang sekali lagi tentara Mesir yang berpangkalan di Madinah, di bawah Komandan Khoursyid Pasha.
"Imam Faishal ditangkap karena dianggap tidak sanggup mengatur negerinya. Beliau ditawan dan dibawa ke Mesir. Sebagai penggantinya, diangkatlah seorang Amir-boneka, bernama Amir Khalid," tutur Buya Hamka.
Amir ini sudah lama tinggal di Mesir sehingga rakyat Nejd menganggapnya sebagai orang lain. Dia hanya dua tahun sanggup memegang pangkat Amir yang tidak berurat itu.
Setelah dua tahun hidup seperti terpencil dalam negeri sendiri, dia diturunkan dari kedudukannya, dan terpaksa ke Madinah. Ia pun digantikan oleh Abdullah bin Tsanian bin Ibrahim bin Tsanian bin Saud.
Rakyat juga tidak menyukai Amir baru ini. Pada saat itu, Faishal bin Turki berada dalam tahanan di satu benteng di Mesir. Kendati demikian, Faishal mengikuti perkembangan yang terjadi berkat laporan para pengikutnya.
Pada satu tengah malam keluarlah Imam Faishal dari tahanan dengan menyamar. Dengan susah payah akhirnya beliau sampai juga kembali ke negerinya.
Dia disambut rakyat dengan gembira. Karena beliau memang Imam yang sah. Abdullah bin Tsanian lari dan mencari perlindungan kepada tentara Mesir. Pemerintahan Mesir pun tidak bersemangat lagi menyambut perkembangan baru ini.
Kala itu Muhammad Ali Pasha telah meninggal dunia (1849), setelah putranya, Ibrahim Pasha, mendahuluinya (1848).
Pada saat Faishal pulang ke negerinya, Emir Mesir dijabat Abbas Pasha I bin Thouson Pasya bin Muhammad Ali Pasha (memerintah dari tahun 1849 sampai 1854).
Masa yang pendek dari pemerintahan Abbas Pasha I (5 tahun) adalah masa tenang bagi Mesir, menyelesaikan pusaka agresi dari ayahnya dan kakeknya, dengan percobaan mereka hendak meluaskan kekuasaan, mendirikan sebuah Imperium telah distop oleh Kerajaan-kerajaan Eropa.