Kisah Sufi al-Rudbari: Ketika Tuan Lalim Menutup Bendungan
loading...
A
A
A
Idries Shah dalam bukunya berjudul "Tales of The Dervishes", menyampaikan kisah dari Abu-Ali Muhammad bin al-Qasim al-Rudbari yang merupakan cerita terkenal dari Jalan Guru, tarekat Khwajagan. Berikut kisahnya:
Konon, seorang janda dan lima anak lelakinya hidup di atas sepetak tanah yang diairi. Mereka hidup sederhana dari hasil panen tanah pertanian itu. Tetapi, hak mereka untuk memperoleh air dirampas oleh seorang tuan lalim yang memalang dan menutup bendungan itu.
Si Sulung beberapa kali berusaha memindahkan palang itu, tetapi ia tak cukup kuat, sedangkan adik-adiknya masih kecil. Lagipula, ia tahu bahwa tuan lalim itu selalu bisa menutup kembali bendungannya sehingga upayanya akan sia-sia belaka.
Suatu hari, Si Sulung bertemu ayahnya dalam mimpi. Oleh ayahnya, ia diberi petunjuk tertentu yang menimbulkan harapan. Tak lama kemudian, tuan lalim yang marah atas perilaku pemuda itu menyebarkan berita ke seluruh negeri bahwa ia seorang pembuat onar sehingga membuat masyarakat benci kepadanya.
Pemuda ini menyingkir ke sebuah kota yang jauh. Di sana, selama bertahun-tahun, ia bekerja sebagai pembantu seorang pedagang. Dan waktu ke waktu dikirimnya sejumlah uang kepada ibunya lewat perantaraan para pedagang yang sedang dalam perjalanan. Sebab ia tak ingin keluarganya merasa berutang budi kepada orang asing dan agar para pedagang itu tidak dicurigai, ia meminta mereka memberikan uang itu kepada adik-adiknya sebagai upah untuk pekerjaan tertentu.
Setelah berpuluh-puluh tahun lewat, Si Sulung pun memutuskan untuk kembali ke rumah ibunya. Ketika ia tiba di rumah, hanya seorang adiknya yang dengan ragu mengenalinya, sebab ia kini tampak jauh lebih tua.
"Kakak tertuaku berambut hitam," kata adiknya.
"Tetapi aku lebih tua sekarang," kata Si Sulung.
"Kami bukan pedagang," kata adiknya yang lain. "Bagaimana mungkin orang ini, dengan pakaian dan cara bicaranya, mengaku saudara kita?"
Si Sulung menjelaskan alasannya, tetapi adiknya itu tidak sepenuhnya yakin.
"Aku masih ingat bagaimana kalian berempat kujagai, dan betapa kalian merindukan air yang muncrat dari lekukan yang melewati bendungan," kata Si Sulung.
"Kami tidak ingat itu," kata mereka, sebab waktu itu mereka masih kecil dan waktu telah menghapuskan banyak hal dari ingatan mereka.
"Namun, aku mengirimi kalian uang, yang mempertahankan hidup kalian sejak bendungan itu ditutup," kata Si Sulung.
"Kami tak pernah menerima uangmu; uang yang kami peroleh merupakan upah atas pekerjaan kami sendiri membantu para pengelana pedagang," jawab mereka serempak.
"Apa kau bisa menggambarkan tentang ibu kami?" tanya seorang adiknya yang masih mencari bukti.
Tetapi, ibu mereka sudah lama meninggal, dan ingatan mereka pun telah kabur sehingga mereka meragukan semua ingatan Si Sulung tentang sang ibu.
"Kalaupun kau ini benar-benar kakak kami, apa maksud kedatanganmu?" tanya mereka.
"Aku ingin mengatakan pada kalian bahwa tuan lalim itu sudah tewas. Bahwa para prajuritnya telah membelot mengabdi kepada orang lain. Bahwa inilah saatnya bagi kita untuk mengembalikan kehijauan dan kebahagian di tanah ini."
"Aku tak ingat ada tuan lalim," kata adiknya yang pertama.
Konon, seorang janda dan lima anak lelakinya hidup di atas sepetak tanah yang diairi. Mereka hidup sederhana dari hasil panen tanah pertanian itu. Tetapi, hak mereka untuk memperoleh air dirampas oleh seorang tuan lalim yang memalang dan menutup bendungan itu.
Si Sulung beberapa kali berusaha memindahkan palang itu, tetapi ia tak cukup kuat, sedangkan adik-adiknya masih kecil. Lagipula, ia tahu bahwa tuan lalim itu selalu bisa menutup kembali bendungannya sehingga upayanya akan sia-sia belaka.
Suatu hari, Si Sulung bertemu ayahnya dalam mimpi. Oleh ayahnya, ia diberi petunjuk tertentu yang menimbulkan harapan. Tak lama kemudian, tuan lalim yang marah atas perilaku pemuda itu menyebarkan berita ke seluruh negeri bahwa ia seorang pembuat onar sehingga membuat masyarakat benci kepadanya.
Pemuda ini menyingkir ke sebuah kota yang jauh. Di sana, selama bertahun-tahun, ia bekerja sebagai pembantu seorang pedagang. Dan waktu ke waktu dikirimnya sejumlah uang kepada ibunya lewat perantaraan para pedagang yang sedang dalam perjalanan. Sebab ia tak ingin keluarganya merasa berutang budi kepada orang asing dan agar para pedagang itu tidak dicurigai, ia meminta mereka memberikan uang itu kepada adik-adiknya sebagai upah untuk pekerjaan tertentu.
Setelah berpuluh-puluh tahun lewat, Si Sulung pun memutuskan untuk kembali ke rumah ibunya. Ketika ia tiba di rumah, hanya seorang adiknya yang dengan ragu mengenalinya, sebab ia kini tampak jauh lebih tua.
"Kakak tertuaku berambut hitam," kata adiknya.
"Tetapi aku lebih tua sekarang," kata Si Sulung.
"Kami bukan pedagang," kata adiknya yang lain. "Bagaimana mungkin orang ini, dengan pakaian dan cara bicaranya, mengaku saudara kita?"
Si Sulung menjelaskan alasannya, tetapi adiknya itu tidak sepenuhnya yakin.
"Aku masih ingat bagaimana kalian berempat kujagai, dan betapa kalian merindukan air yang muncrat dari lekukan yang melewati bendungan," kata Si Sulung.
"Kami tidak ingat itu," kata mereka, sebab waktu itu mereka masih kecil dan waktu telah menghapuskan banyak hal dari ingatan mereka.
"Namun, aku mengirimi kalian uang, yang mempertahankan hidup kalian sejak bendungan itu ditutup," kata Si Sulung.
"Kami tak pernah menerima uangmu; uang yang kami peroleh merupakan upah atas pekerjaan kami sendiri membantu para pengelana pedagang," jawab mereka serempak.
"Apa kau bisa menggambarkan tentang ibu kami?" tanya seorang adiknya yang masih mencari bukti.
Tetapi, ibu mereka sudah lama meninggal, dan ingatan mereka pun telah kabur sehingga mereka meragukan semua ingatan Si Sulung tentang sang ibu.
"Kalaupun kau ini benar-benar kakak kami, apa maksud kedatanganmu?" tanya mereka.
"Aku ingin mengatakan pada kalian bahwa tuan lalim itu sudah tewas. Bahwa para prajuritnya telah membelot mengabdi kepada orang lain. Bahwa inilah saatnya bagi kita untuk mengembalikan kehijauan dan kebahagian di tanah ini."
"Aku tak ingat ada tuan lalim," kata adiknya yang pertama.