Kisah Sufi Ahmad Al-Badawi: Ketika Api Mulai Disembah dan Orang-Orang Tidak Waras
loading...
A
A
A
Idries Shah dalam bukunya berjudul "Tales of The Dervishes" menulis kisah sufi Ahmad Al-Badawi yang berjudul "Kisah Api". Berikut kisah tersebut:
Pada suatu masa, ada seorang yang merenungkan cara kerja alam, dan karena ketekunan dan percobaan terus-menerus, ia berhasil menemukan cara membuat api.
Orang itu bernama Nur. Ia memutuskan untuk berkelana dari satu negeri ke negeri lain, menunjukkan kepada khalayak tentang hasil penemuannya.
Nur membuka rahasia temuannya kepada berbagai kelompok orang. Beberapa di antaranya mengambil manfaat dari pengetahuan itu. Yang lain mengusirnya, menganggapnya orang yang berbahaya, sebelum mereka sempat memikirkan betapa penemuan api itu berharga bagi mereka.
Akhirnya, sekelompok orang yang menyaksikan pertunjukan Nur membuat api menjadi begitu ketakutan sehingga mereka menangkapnya dan kemudian membunuhnya, meyakini bahwa Nur itu adalah setan.
Abad demi abad berlalu, Suku pertama yang telah belajar tentang api mempercayakan rahasia itu kepada para pendeta, yang tetap berada dalam kemakmuran dan kekuasaan sementara rakyat kedinginan.
Suku kedua lupa bagaimana membuat api dan malah memuja alat-alat pembuat api. Suku ketiga menyembah patung Nur karena dialah yang mengajari mereka.
Suku keempat menyimpan cerita itu dalam legenda-legenda mereka: sebagian masih percaya, sebagian tidak. Suku kelima benar-benar mengunakan api: untuk menghangatkan badan, untuk memasak makanan, untuk membuat alat-alat pertukangan yang berguna bagi mereka.
Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya, seorang bijak dari sekelompok kecil muridnya mengadakan perjalanan melalui negeri-negeri suku-suku tersebut. Para murid itu terheran-heran menyaksikan berbagai upacara yang dilakukan suku-suku itu; dan mereka berkata pada gurunya. "Tetapi, semua ritual itu sebenarnya berkaitan dengan pembuatan api, tiada yang lain. Kita harus menyadarkan orang-orang ini!"
Guru itu menjawab, "Baiklah kalau begitu. Kita akan memulai kembali perjalanan kita. Di akhir perjalanan ini nanti, mereka yang selamat akan mengetahui masalah yang sesungguhnya dan bagaimana mendekati mereka."
Ketika mereka sampai di negeri suku pertama, rombongan itu disambut dengan ramah. Para pendeta mengundang tamunya menghadiri upacara keagamaan, pembuatan api. Saat upacara selesai, dan suku itu sedang bersuka hati atas apa yang mereka saksikan, guru itu bertanya, "Apakah ada yang ingin angkat bicara?"
Murid pertama berkata, "Demi kebenaran, saya merasa harus menyampaikan sesuatu kepada khalayak ini."
"Kalau engkau siap menanggung sendiri akibatnya, bicaralah!" kata Sang Guru pula.
Murid itu pun maju ke hadapan pemimpin suku dan segenap pendetanya, lalu berkata, "Saya pun bisa melakukan keajaiban yang kalian anggap perwujudan kuasa para dewa itu. Jika kutunjukkan sekarang juga di depan kalian semua, maukah kalian mengakui kekeliruan yang kalian lakukan bertahun-tahun lamanya?"
Tetapi, para pendeta itu berseru, "Tangkap dia!" dan murid itu pun dibawa pergi, itulah terakhir kali ia dilihat orang,
Para musafir itu melanjutkan perjalanan ke negeri suku yang memuja alat-alat pembuatan api. Lagi, seorang murid mengajukan diri untuk meluruskan jalan pikir suku itu.
Seizin gurunya, ia berkata, "Saya minta izin berbicara pada pada kalian sebagai orang yang berakal. Kalian memuja alat-alat yang bisa digunakan untuk menciptakan sesuatu, bahkan bukan ciptaan itu sendiri. Dengan demikian, kalian mengabaikan kegunaannya. Saya tahu bahwa tipuan kalian gunakan untuk mendasari upacara ini."
Orang-orang suku ini lebih berakal sehat. Namun, mereka menjawab murid itu, "Saudara disambut baik sebagai musafir dan tamu di tengah-tengah kami. Tetapi, sebagai pendatang, yang buta terhadap sejarah dan adat kami, saudara tak paham apa yang kami lakukan. Saudara berbuat kesalahan. Barangkali, saudara bahkan bermaksud menyingkirkan atau mengganti agama kami. Karena itu, kami tidak sudi mendengarkan ocehan saudara."
Pada suatu masa, ada seorang yang merenungkan cara kerja alam, dan karena ketekunan dan percobaan terus-menerus, ia berhasil menemukan cara membuat api.
Orang itu bernama Nur. Ia memutuskan untuk berkelana dari satu negeri ke negeri lain, menunjukkan kepada khalayak tentang hasil penemuannya.
Nur membuka rahasia temuannya kepada berbagai kelompok orang. Beberapa di antaranya mengambil manfaat dari pengetahuan itu. Yang lain mengusirnya, menganggapnya orang yang berbahaya, sebelum mereka sempat memikirkan betapa penemuan api itu berharga bagi mereka.
Akhirnya, sekelompok orang yang menyaksikan pertunjukan Nur membuat api menjadi begitu ketakutan sehingga mereka menangkapnya dan kemudian membunuhnya, meyakini bahwa Nur itu adalah setan.
Abad demi abad berlalu, Suku pertama yang telah belajar tentang api mempercayakan rahasia itu kepada para pendeta, yang tetap berada dalam kemakmuran dan kekuasaan sementara rakyat kedinginan.
Suku kedua lupa bagaimana membuat api dan malah memuja alat-alat pembuat api. Suku ketiga menyembah patung Nur karena dialah yang mengajari mereka.
Suku keempat menyimpan cerita itu dalam legenda-legenda mereka: sebagian masih percaya, sebagian tidak. Suku kelima benar-benar mengunakan api: untuk menghangatkan badan, untuk memasak makanan, untuk membuat alat-alat pertukangan yang berguna bagi mereka.
Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya, seorang bijak dari sekelompok kecil muridnya mengadakan perjalanan melalui negeri-negeri suku-suku tersebut. Para murid itu terheran-heran menyaksikan berbagai upacara yang dilakukan suku-suku itu; dan mereka berkata pada gurunya. "Tetapi, semua ritual itu sebenarnya berkaitan dengan pembuatan api, tiada yang lain. Kita harus menyadarkan orang-orang ini!"
Guru itu menjawab, "Baiklah kalau begitu. Kita akan memulai kembali perjalanan kita. Di akhir perjalanan ini nanti, mereka yang selamat akan mengetahui masalah yang sesungguhnya dan bagaimana mendekati mereka."
Ketika mereka sampai di negeri suku pertama, rombongan itu disambut dengan ramah. Para pendeta mengundang tamunya menghadiri upacara keagamaan, pembuatan api. Saat upacara selesai, dan suku itu sedang bersuka hati atas apa yang mereka saksikan, guru itu bertanya, "Apakah ada yang ingin angkat bicara?"
Murid pertama berkata, "Demi kebenaran, saya merasa harus menyampaikan sesuatu kepada khalayak ini."
"Kalau engkau siap menanggung sendiri akibatnya, bicaralah!" kata Sang Guru pula.
Murid itu pun maju ke hadapan pemimpin suku dan segenap pendetanya, lalu berkata, "Saya pun bisa melakukan keajaiban yang kalian anggap perwujudan kuasa para dewa itu. Jika kutunjukkan sekarang juga di depan kalian semua, maukah kalian mengakui kekeliruan yang kalian lakukan bertahun-tahun lamanya?"
Tetapi, para pendeta itu berseru, "Tangkap dia!" dan murid itu pun dibawa pergi, itulah terakhir kali ia dilihat orang,
Para musafir itu melanjutkan perjalanan ke negeri suku yang memuja alat-alat pembuatan api. Lagi, seorang murid mengajukan diri untuk meluruskan jalan pikir suku itu.
Seizin gurunya, ia berkata, "Saya minta izin berbicara pada pada kalian sebagai orang yang berakal. Kalian memuja alat-alat yang bisa digunakan untuk menciptakan sesuatu, bahkan bukan ciptaan itu sendiri. Dengan demikian, kalian mengabaikan kegunaannya. Saya tahu bahwa tipuan kalian gunakan untuk mendasari upacara ini."
Orang-orang suku ini lebih berakal sehat. Namun, mereka menjawab murid itu, "Saudara disambut baik sebagai musafir dan tamu di tengah-tengah kami. Tetapi, sebagai pendatang, yang buta terhadap sejarah dan adat kami, saudara tak paham apa yang kami lakukan. Saudara berbuat kesalahan. Barangkali, saudara bahkan bermaksud menyingkirkan atau mengganti agama kami. Karena itu, kami tidak sudi mendengarkan ocehan saudara."