Tradisi Memberi Sesajen dalam Fatwa Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary
loading...
A
A
A
3. Bila diyakini bahwa kedua upacara tersebut tidak memberi bekas, baik dengan kekuatan yang ada padanya maupun dengan kekuatan yang dijadikan Tuhan padanya, tetapi Allah jua yang menolak bahaya itu dengan memberlakukan hukum kebiasaan (hukum adat) dengan kedua upacara tersebut, maka hukumnya tidak kafir, tetapi hukumnya "Bid’ah" saja. Namun bila diyakini bahwa kedua upacara itu halal atau tiada terlarang maka hukumnya juga "Kafir".
Dalam memberantas upacara-upacara tradisional seperti tersebut di atas, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tidak saja memberikan keputusan hukum seperti telah diuraikan, tapi beliau juga berusaha mematahkan segala argumen yang mungkin atau pun dikemukakan oleh para pelakunya untuk membenarkan apa yang telah mereka lakukan dalam upacara tersebut.
Secara dialogis, Syekh Muhammad Arsayd al-Banjari menggambarkan hal itu dalam kitabnya "Tuhfah al-Raghibin", antara lain dijelaskan sebagai berikut:
1. Para pelaku mengatakan bahwa mereka hanya memberi makan manusia yang gaib (tidak mati) pada zaman dahulu dari kalangan raja-raja. Mereka itu diberi makan dengan warna makanan yang disajikan, sehingga tidak mubazir. Dengan itu mereka mengatakan bahwa mereka tidak meminta tolong untuk minta bantuannya dalam kehidupan ini.
Untuk alasan ini, Mujtahid abad ke-19 ini menjawab bahwa alasan seperti itu tidak berdasarkan pada Alquran, hadits, atau pendapat ulama, tetapi hanya berdasarkan pada mitos saja, yang tidak bisa diperpegangi oleh umat Islam dalam keyakinannya.
Justru hal tersebut tidak boleh dilakukan, meskipun "Sesaji" yang diletakkan di tempat manyanggar itu dimakan manusia atau binatang, maka tetap saja hukumnya "Haram" dan "Bid’ah", karena mubazir dan ada unsur kebid’ahan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
2. Para pelaku memang beralasan dengan dasar mitos atau dari orang yang kasarungan (kerasukan) manusia-manusia gaib yang mengharuskan mereka melakukannya.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menegaskan bahwa kedua dasar itu pun tidak bisa diterima. Mitos tidak bisa digunakan sebagai dalil keyakinannya, sedangkan yang "Manyarung" tersebut adalah setan yang selalu membisikkan hal-hal yang negatif bagi agama.
Sebab, hanya malaikat dan setan yang bisa "Manyarungi" manusia, sedangkan malaikat selalu membisikkan hal-hal yang baik menurut agama, sebagai kebalikan dari seruan setan. Demikianlah penjelasan dari hadits Nabi yang dikutip Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
3. Para pelaku mengatakan pula bahwa yang mereka beri makan itu adalah setan juga, tetapi memberi makan mereka itu adalah seperti memberi makan kepada anjing, jadi suatu perbuatan yang mubah.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menjawab bahwa alasan itu pun tidak logis, karena yang dikatakan itu tidak sesuai dengan yang ada dalam hati di mana mereka sangat menghormat kepada setan itu dengan bukti pemberian makanan tersebut yang penuh dengan keindahan dan makanan-makanan yang istimewa.
Mulai dari pendekatan hukum syar'i dan pendekatan akidah terhadap upacara-upacara tradisional yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat, sampai kepada dialognya dengan para pelaku upacara untuk meruntuhkan argumentasi mereka yang membenarkan upacara tersebut, tampak sekali adanya pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tentang pemurnian akidah, yang diupayakan beliau sendiri dalam penerapannya, disamping beliau juga minta partisipasi para kaum bangsawan dan pembesar negeri untuk memberantasnya.
Tindakan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang terakhir ini memang tepat, sebab yang banyak melakukan upacara-upacara tersebut adalah dari kalangan kaum bangsawan, di mana dia sendiri termasuk dalam lingkungan masyarakat tersebut.
Selain itu, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari juga mengirim, mengutus, dan menyebarkan kader-kader dakwah ke berbagai daerah untuk menjadi penyuluh masyarakat.
Kader dakwah yang telah dididik oleh Datuk Kelampayan dengan ilmu-ilmu agama ini terdiri dari anak cucu dan murid-muridnya menjadi Ulama; agen dakwah yang penting untuk lebih menyebarluaskan dan memeratakan dakwah Islam ke berbagai kelompok masyarakat dan pelosok daerah.
Sehingga dengan upaya tersebut, akselarasi dakwah semakin luas dan terbuka. Melalui mereka ini pulalah, peningkatan dan pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam dan keimanan semakit ditingkatkan.
Terakhir, untuk lebih menguatkan dakwah lisannya tersebut, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari juga menulis dan membahas hal-hal penting tentang keimanan (ketauhidan) dalam kitabnya yang berjudul: "Tuhfah ar-Raghibin min haqiqatil Imani wa Yufsiduhu".
Kitab ini ditulis oleh Al-Banjari pada tahun 1188 H (1774 M) dan pernah diterbitkan di Mesir pada 1353 H.
Kitab "Tuhfah ar-Raghibin" ini membicarakan masalah tauhid (keimanan). Isinya cukup ringkas, dan terdiri terdiri dari muqaddimah, tiga fasal, dan penutup.
Pasal pertama berkenaan dengan hakikat iman, pasal kedua berkenaan dengan perkara-perkara yang merusak keimanan, dan pasal ketiga berkenaan dengan syarat yang menimbulkan murtad dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya.
Dalam memberantas upacara-upacara tradisional seperti tersebut di atas, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tidak saja memberikan keputusan hukum seperti telah diuraikan, tapi beliau juga berusaha mematahkan segala argumen yang mungkin atau pun dikemukakan oleh para pelakunya untuk membenarkan apa yang telah mereka lakukan dalam upacara tersebut.
Secara dialogis, Syekh Muhammad Arsayd al-Banjari menggambarkan hal itu dalam kitabnya "Tuhfah al-Raghibin", antara lain dijelaskan sebagai berikut:
1. Para pelaku mengatakan bahwa mereka hanya memberi makan manusia yang gaib (tidak mati) pada zaman dahulu dari kalangan raja-raja. Mereka itu diberi makan dengan warna makanan yang disajikan, sehingga tidak mubazir. Dengan itu mereka mengatakan bahwa mereka tidak meminta tolong untuk minta bantuannya dalam kehidupan ini.
Untuk alasan ini, Mujtahid abad ke-19 ini menjawab bahwa alasan seperti itu tidak berdasarkan pada Alquran, hadits, atau pendapat ulama, tetapi hanya berdasarkan pada mitos saja, yang tidak bisa diperpegangi oleh umat Islam dalam keyakinannya.
Justru hal tersebut tidak boleh dilakukan, meskipun "Sesaji" yang diletakkan di tempat manyanggar itu dimakan manusia atau binatang, maka tetap saja hukumnya "Haram" dan "Bid’ah", karena mubazir dan ada unsur kebid’ahan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
2. Para pelaku memang beralasan dengan dasar mitos atau dari orang yang kasarungan (kerasukan) manusia-manusia gaib yang mengharuskan mereka melakukannya.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menegaskan bahwa kedua dasar itu pun tidak bisa diterima. Mitos tidak bisa digunakan sebagai dalil keyakinannya, sedangkan yang "Manyarung" tersebut adalah setan yang selalu membisikkan hal-hal yang negatif bagi agama.
Sebab, hanya malaikat dan setan yang bisa "Manyarungi" manusia, sedangkan malaikat selalu membisikkan hal-hal yang baik menurut agama, sebagai kebalikan dari seruan setan. Demikianlah penjelasan dari hadits Nabi yang dikutip Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
3. Para pelaku mengatakan pula bahwa yang mereka beri makan itu adalah setan juga, tetapi memberi makan mereka itu adalah seperti memberi makan kepada anjing, jadi suatu perbuatan yang mubah.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menjawab bahwa alasan itu pun tidak logis, karena yang dikatakan itu tidak sesuai dengan yang ada dalam hati di mana mereka sangat menghormat kepada setan itu dengan bukti pemberian makanan tersebut yang penuh dengan keindahan dan makanan-makanan yang istimewa.
Mulai dari pendekatan hukum syar'i dan pendekatan akidah terhadap upacara-upacara tradisional yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat, sampai kepada dialognya dengan para pelaku upacara untuk meruntuhkan argumentasi mereka yang membenarkan upacara tersebut, tampak sekali adanya pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tentang pemurnian akidah, yang diupayakan beliau sendiri dalam penerapannya, disamping beliau juga minta partisipasi para kaum bangsawan dan pembesar negeri untuk memberantasnya.
Tindakan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang terakhir ini memang tepat, sebab yang banyak melakukan upacara-upacara tersebut adalah dari kalangan kaum bangsawan, di mana dia sendiri termasuk dalam lingkungan masyarakat tersebut.
Selain itu, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari juga mengirim, mengutus, dan menyebarkan kader-kader dakwah ke berbagai daerah untuk menjadi penyuluh masyarakat.
Kader dakwah yang telah dididik oleh Datuk Kelampayan dengan ilmu-ilmu agama ini terdiri dari anak cucu dan murid-muridnya menjadi Ulama; agen dakwah yang penting untuk lebih menyebarluaskan dan memeratakan dakwah Islam ke berbagai kelompok masyarakat dan pelosok daerah.
Sehingga dengan upaya tersebut, akselarasi dakwah semakin luas dan terbuka. Melalui mereka ini pulalah, peningkatan dan pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam dan keimanan semakit ditingkatkan.
Terakhir, untuk lebih menguatkan dakwah lisannya tersebut, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari juga menulis dan membahas hal-hal penting tentang keimanan (ketauhidan) dalam kitabnya yang berjudul: "Tuhfah ar-Raghibin min haqiqatil Imani wa Yufsiduhu".
Kitab ini ditulis oleh Al-Banjari pada tahun 1188 H (1774 M) dan pernah diterbitkan di Mesir pada 1353 H.
Kitab "Tuhfah ar-Raghibin" ini membicarakan masalah tauhid (keimanan). Isinya cukup ringkas, dan terdiri terdiri dari muqaddimah, tiga fasal, dan penutup.
Pasal pertama berkenaan dengan hakikat iman, pasal kedua berkenaan dengan perkara-perkara yang merusak keimanan, dan pasal ketiga berkenaan dengan syarat yang menimbulkan murtad dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya.