Begini Praktik Ziarah di Makam Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
loading...
A
A
A
Praktik para peziarah di makam Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani di Irak, amatlah unik. Makam yang tak pernah sepi peziarah ini sangat dikultuskan. Para peziarah datang ke makam ini berharap keinginan mereka terkabulkan.
"Bukan hanya kalangan muslim Sunni yang datang kemari, sebagain kaum Syiah dan Nasrani pun mengajukan permohonan kepada Al-Jilani," ujar Filsuf dan islamologist Prancis, Eric Geoffroy.
Eric Geoffroy pernah melakukan penelitian atas makam Abdul Qadir Al-Jilani pada saat dirinya masih sebagai pengajar bahasa dan kebudayaan Arab di Sekolah Tentara Inteligen dan Studi Linguistik di Strasbourg, Prancis.
Hasil penelitian itu dihimpun dan diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul "Le Culte Des Saints Dans Le Monde Musulman" (Bahasa Prancis) dan diterjemahkan oleh Jean Couteau dkk menjadi "Ziarah dan Wali di Dunia Islam" (2007).
Eric Geoffroy memaparkan setelah memasuki kompleks, penziarah membaca ayat al-Kursi sebelum berpaling ke makam, dan mengucapkan salam (taslimah). Mereka kemudian maju tujuh langkah menuju makam, sambil mengucapkan salam lagi pada setiap langkah. Dengan ritus ini para peziarah yakin bahwa permohonan mereka akan dikabulkan.
Kini, para pegunjung mengelilingi makam satu kali, seperti biasanya pada ziarah di kebanyakan makam Sunni lainnya.
"Pengunjung yang datang berziarah ke makam Abdul al-Qadir al-Jilani berasal dari berbagai daerah. Penduduk setempat, dan terutama kaum perempuan, sering ke makam untuk menyampaikan permohonannya kepada wali," katanya.
Hal itu mereka lakukan dengan cara berpegang pada terali pagar berwarna perak itu. Banyak pengunjung juga menyampaikan nazar dengan mengaitkan sepotong kain—kerap berwarna hijau—pada pagar tersebut. Kain itu sering diberikan oleh salah satu khidim penjaga makam.
Eric Geoffroy mengatakan bahwa pada makam Abu Hanifah penjaga setempat membagi-bagikan potongan kain berwarna hijau yang disentuhkan pada makam, dan hal itu juga berlaku, pada makam-makam Syiah. "Praktik itu adalah khas Irak, atau paling sedikit tidak berlaku di Bilad al-Syam," jelasnya.
Ada ritus lainnya yang berlaku baik untuk kalangan Sunni maupun kalangan Syiah Irak lainnya, yaitu kebiasaan orang memasang gembok (gifl) pada pagar. Ini dilakukan untuk memperkuat hubungan mereka dengan wali, atau untuk memperkuat nazar mereka.
"Memang, potongan kain dapat dilepaskan dengan mudah oleh para penjaga, namun lain halnya dengan gembok, yang harus dibuka dengan gunting besi..." tutur Eric Geoffroy.
Para peziarah pun tidak kurang akal dalam hal ini. Karena terali pagar memang amat tebal, dan tidak bisa digembok oleh semua jenis gembok, maka mereka memasang gemboknya yang kecil pada gembok yang lebih besar yang sudah tergantung pada pagar.
Semangat religius setempat juga tampak pada berbagai pemberian: wangi-wangian yang disebar-sebarkan, manisan yang dilemparkan dari atas makam dan jatuh di atas para pemohon (karena penutup makam miring).
Apabila ada nazar yang terkabul, biasanya orang-orang membagikan manisan, atau kaum perempuan memekikkan sebuah lolongan khas (ulululu) yang nyaring.
Sesungguhnya, walilah yang menjamu dan bersikap royal. Ketika seorang peziarah dari jauh sedang mengeluh dalam hati karena belum mendapatkan perhatian al-Jilani, konon mendadak akan jatuh sebuah manisan dari atas makam, dekat tempat dia duduk, dan manisan itu menggelinding sampai ke kakinya.
Kendati banyak orang Syiah dari kelas bawah membenci al-Jilani, menurut Eric Geoffroy, banyak juga di antara mereka yang mengajukan permohonan di makamnya apabila permohonannya itu tidak dikabulkan oleh para imam.
Tindakan sebaliknya juga benar terjadi, bahkan konon orang-orang Sunni dari Babilonia (Babil) meratapi ulang tahun kematian al-Husain, pada tanggal 10 Muharram, dengan lebih keras lagi daripada orang-orang Syiah.
"Bukan hanya kalangan muslim Sunni yang datang kemari, sebagain kaum Syiah dan Nasrani pun mengajukan permohonan kepada Al-Jilani," ujar Filsuf dan islamologist Prancis, Eric Geoffroy.
Eric Geoffroy pernah melakukan penelitian atas makam Abdul Qadir Al-Jilani pada saat dirinya masih sebagai pengajar bahasa dan kebudayaan Arab di Sekolah Tentara Inteligen dan Studi Linguistik di Strasbourg, Prancis.
Hasil penelitian itu dihimpun dan diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul "Le Culte Des Saints Dans Le Monde Musulman" (Bahasa Prancis) dan diterjemahkan oleh Jean Couteau dkk menjadi "Ziarah dan Wali di Dunia Islam" (2007).
Eric Geoffroy memaparkan setelah memasuki kompleks, penziarah membaca ayat al-Kursi sebelum berpaling ke makam, dan mengucapkan salam (taslimah). Mereka kemudian maju tujuh langkah menuju makam, sambil mengucapkan salam lagi pada setiap langkah. Dengan ritus ini para peziarah yakin bahwa permohonan mereka akan dikabulkan.
Kini, para pegunjung mengelilingi makam satu kali, seperti biasanya pada ziarah di kebanyakan makam Sunni lainnya.
"Pengunjung yang datang berziarah ke makam Abdul al-Qadir al-Jilani berasal dari berbagai daerah. Penduduk setempat, dan terutama kaum perempuan, sering ke makam untuk menyampaikan permohonannya kepada wali," katanya.
Hal itu mereka lakukan dengan cara berpegang pada terali pagar berwarna perak itu. Banyak pengunjung juga menyampaikan nazar dengan mengaitkan sepotong kain—kerap berwarna hijau—pada pagar tersebut. Kain itu sering diberikan oleh salah satu khidim penjaga makam.
Eric Geoffroy mengatakan bahwa pada makam Abu Hanifah penjaga setempat membagi-bagikan potongan kain berwarna hijau yang disentuhkan pada makam, dan hal itu juga berlaku, pada makam-makam Syiah. "Praktik itu adalah khas Irak, atau paling sedikit tidak berlaku di Bilad al-Syam," jelasnya.
Ada ritus lainnya yang berlaku baik untuk kalangan Sunni maupun kalangan Syiah Irak lainnya, yaitu kebiasaan orang memasang gembok (gifl) pada pagar. Ini dilakukan untuk memperkuat hubungan mereka dengan wali, atau untuk memperkuat nazar mereka.
"Memang, potongan kain dapat dilepaskan dengan mudah oleh para penjaga, namun lain halnya dengan gembok, yang harus dibuka dengan gunting besi..." tutur Eric Geoffroy.
Para peziarah pun tidak kurang akal dalam hal ini. Karena terali pagar memang amat tebal, dan tidak bisa digembok oleh semua jenis gembok, maka mereka memasang gemboknya yang kecil pada gembok yang lebih besar yang sudah tergantung pada pagar.
Semangat religius setempat juga tampak pada berbagai pemberian: wangi-wangian yang disebar-sebarkan, manisan yang dilemparkan dari atas makam dan jatuh di atas para pemohon (karena penutup makam miring).
Apabila ada nazar yang terkabul, biasanya orang-orang membagikan manisan, atau kaum perempuan memekikkan sebuah lolongan khas (ulululu) yang nyaring.
Sesungguhnya, walilah yang menjamu dan bersikap royal. Ketika seorang peziarah dari jauh sedang mengeluh dalam hati karena belum mendapatkan perhatian al-Jilani, konon mendadak akan jatuh sebuah manisan dari atas makam, dekat tempat dia duduk, dan manisan itu menggelinding sampai ke kakinya.
Kendati banyak orang Syiah dari kelas bawah membenci al-Jilani, menurut Eric Geoffroy, banyak juga di antara mereka yang mengajukan permohonan di makamnya apabila permohonannya itu tidak dikabulkan oleh para imam.
Tindakan sebaliknya juga benar terjadi, bahkan konon orang-orang Sunni dari Babilonia (Babil) meratapi ulang tahun kematian al-Husain, pada tanggal 10 Muharram, dengan lebih keras lagi daripada orang-orang Syiah.