Sering Diucapkan, Inilah Makna Ihdinash Shirathal Mustaqiim

Senin, 17 Januari 2022 - 19:48 WIB
loading...
Sering Diucapkan, Inilah Makna Ihdinash Shirathal Mustaqiim
Surat Al-Fatihah dijuluki Ummul Quran karena mencakup semua isi kandungan Al-Quran. Foto/Ist
A A A
Ayat ke-6 dari Surat Al-Fatiha h ini cukup familiar di kalangan umat muslim dan sering dibaca setiap sholat. Apa sebenarnya makna yang terkandung dalam ayat ini? Mari kita simak tafsirnya.

اِھْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ

Ihdinash Shirathal Mustaqiim.

Artinya: "Tunjukilah kami jalan yang lurus". (QS Al-Fatihah Ayat 6)

Tafsir:
Kami memohon, tunjukilah kami jalan yang lurus, dan teguhkanlah kami di jalan itu, yaitu jalan hidup yang benar, yang dapat membuat kami bahagia di dunia dan di akhirat, serta dapat mengantarkan kami menuju keridaan-Mu. (Tafsir Kementerian Agama)

"Ihdi" artinya pimpinlah, tunjukilah, berilah Hidayah. Arti "Hidayah" ialah menunjukkan suatu jalan atau cara menyampaikan orang kepada orang yang ditujunya, dengan baik.

Berikut Macam-macam Hidayah
Allah memberi manusia bermacam-macam Hidayah, seperti yang juga dibahas dalam Tafsir Al-Fatihah oleh Muhammad Abduh.

1. Hidayah Naluri (Garizah)
Manusia begitu juga binatang dilengkapi oleh Allah dengan bermacam-macam sifat, yang timbulnya bukan dari pelajaran, bukan pula dari pengalaman, melainkan telah dibawanya dari kandungan ibunya. Sifat-sifat ini namanya "naluri", dalam bahasa Arab disebut garizah. Umpamanya, naluri "ingin memelihara diri" (mempertahankan hidup).

Seorang bayi bila merasa lapar dia menangis. Sesudah terasa di bibirnya puting susu ibunya, dihisapnya sampai hilang laparnya. Perbuatan ini dikerjakannya tanpa seorang pun yang mengajarkan kepadanya, bukan pula timbul dari pengalamannya, hanya semata-mata ilham dan petunjuk dari Allah kepadanya, untuk mempertahankan hidupnya.

Contoh lain adalah lebah membuat sarangnya, laba-laba membuat jaringnya, semut membuat lubangnya dan menimbun makanan dalam lubang itu. Semua itu dikerjakan oleh binatang-binatang itu untuk mempertahankan hidupnya dan memelihara dirinya, dengan dorongan nalurinya semata-mata. Banyak lagi naluri yang lain, umpamanya rasa "ingin tahu", "ingin mempunyai", "ingin berlomba-lomba", "ingin bermain", "ingin meniru", "takut", dan lain-lain.

2. Hidayah Pancaindera
Manusia juga dilengkapi Allah dengan pancaindra. Pancaindra itu sangat besar perannya terhadap pertumbuhan akal dan pikiran manusia. Sehubungan dengan itu ahli-ahli pendidikan berkata: Pancaindra adalah pintu-pintu pengetahuan.

Maksudnya adalah dengan perantaraan pancaindra itulah manusia dapat berhubungan dengan alam sekitar. Tetapi naluri ditambah dengan pancaindra, juga belum cukup untuk jadi pokok-pokok kebahagiaan manusia. Banyak lagi benda-benda dalam alam ini yang tidak dapat dilihat oleh mata. Banyak macam suara yang tidak dapat didengar oleh telinga. Malah selain dari alam mahsusat (yang dapat ditangkap oleh pancaindra), ada lagi alam ma'qulat (yang hanya dapat ditangkap oleh akal).

Indra penglihatan (mata) hanya dapat menangkap alam mahsusat, tangkapannya tentang yang mahhsusat itu pun tidak selamanya betul, kadang-kadang salah. Inilah yang dinamakan dalam ilmu jiwa "ilusi optik" (tipuan pandangan), dalam bahasa Arab disebut khida' an-nadhar.

3. Hidayah Akal (Pikiran)
Manusia masih membutuhkan hidayah yang lain. Maka Allah menganugerahkan hidayah yang ketiga, yaitu "hidayah akal".Dengan adanya akal manusia dapat menyalurkan naluri ke arah yang baik, agar naluri itu menjadi sumber bagi kebaikan, dan manusia dapat membetulkan kesalahan-kesalahan pancaindranya.

Membedakan yang buruk dengan yang baik. Akal bahkan sanggup menyusun mukadimah untuk menyampaikannya kepada natijah, mempertalikan akibat dengan sebab, memakai yang mahsusat sebagai tangga kepada yang ma'qulat, mempergunakan yang dapat dilihat, diraba dan dirasakan untuk sampai kepada yang abstrak, maknawi, dan gaib, mengambil dalil dari adanya makhluk untuk menetapkan adanya khalik, dan begitulah seterusnya.

Tetapi akal manusia juga belum memadai untuk membawanya kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Maka manusia membutuhkan hidayah lain, di samping pancaindra dan akalnya, yaitu hidayah agama yang dibawa oleh para Rasul 'alaihimus-salatu was-salam.

4. Hidayah Agama
Allah mengutus Rasul-rasul untuk membawa agama yang akan menunjukkan kepada manusia jalan yang harus mereka tempuh untuk kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Mula-mula yang ditanamkan oleh Rasul-rasul itu adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, guna membersihkan itikad manusia dari syirik (mempersekutukan Allah).

Rasul membawa manusia kepada kepercayaan tauhid melalui akal dan logika, yaitu dengan mempergunakan dalil-dalil yang tepat dan logis. Dialog antara Nabi Ibrahim dengan Namrudz, Nabi Musa dengan Fir'aun, dan seruan-seruan Al-Qur'an kepada kaum musyrikin Quraisy semuanya mengajak agar mereka mempergunakan akal.

Di samping kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa, Para Rasul juga menyeru untuk percaya pada akhirat, dan para Malaikat. Di samping Akidah (kepercayaan), para rasul juga membawa hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran.

Hukum-hukum dan peraturan-peraturan ini tidak seluruhnya sama, artinya apa yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim tidak sama dengan yang diturunkan kepada Nabi Musa, dan apa yang dibawa oleh Nabi Isa, tidak serupa dengan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Hal ini dikarenakan hukum-hukum dan peraturan-peraturan itu haruslah sesuai dengan keadaan tempat dan masa. Maka syariat yang dibawa oleh Nabi-nabi itu adalah sesuai dengan masanya masing-masing. Jadi yang berlainan itu ialah hukum-hukum furu' (cabang-cabang), sedangkan pokok-pokok hukum agama seperti akidah adalah sama.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1684 seconds (0.1#10.140)