Menikahi Wanita Hamil Di Luar Nikah, Bagaimana Pendapat Ulama?
loading...
A
A
A
Dalam kehidupan modern, ada persoalan-persoalan kontemporer yang harus mendapat jawaban secara fiqih Islam . Salah satunya adalah persoalan wanita yang hamil di luar nikah, seperti apa posisinya secara syariat . Secara Islam, bagaimanakah hukum menikahi dan menikahkan wanita yang hamil di luar nikah?
Menurut pimpinan Ma'had Syaraful Haramain, Bogor, KH Hafidz Abdurrahman, menikah dengan wanita hamil ada dua kemungkinan. Pertama, wanita tersebut adalah pasangan zina pria yang hendak menikahi dirinya. kedua, wanita tersebut bukan pasangannya atau hamil karena berhubungan badan dengan orang lain.
Bagi wanita yang hamil karena zina, baik zina dengan pasangan yang hendak menikahinya, atau zina dengan orang lain, maka hukum menikahinya ada tiga pendapat. (Baca juga : Fitrah Cantik Bagi Muslimah Sesuai Syariat )
Pertama, haram dinikahi. Ini merupakan pendapat mazhab Maliki, Abu Yusuf dan Zafar dari mazhab Hanafi. Termasuk juga Ibn Taimiyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah.
Kedua, boleh dinikahi tanpa syarat. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Muhammad dari mazhab Hanafi, dan mazhab Syafii.
Ketiga, boleh dinikahi dengan beberapa syarat, yakni kehamilannya telah berakhir atau habis masa ‘iddah-nya. Dan, bertobat dengan tobatan nashuha. Ini merupakan pendapat mazhab Hambali.
Pendapat kelompok pertama, merujuk pada, firman Allah SWT:
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
"Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin." (QS an-Nur : 3).
Syaikh al-Islam , Ibn Taimiyah berkata, “Mengenai keharaman (menikahi) wanita perempuan yang berzina telah dibahas oleh para fuqaha’, baik dari kalangan pengikut Imam Ahmad maupun yang lain. Dalam hal ini, terdapat riwayat dari para generasi terdahulu. Sekalipun para fuqaha’ memperselisihkannya, bagi yang membolehkannya, tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pijakan.”
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata, “Hukum menikahi wanita pezina telah dinyatakan keharamannya oleh Allah dengan tegas dalam surat An-Nur. Allah memberitahukan, bahwa siapa saja yang menikahinya, bisa jadi sama-sama pezina atau musyrik. Adakalanya orang terikat dengan hukum-Nya serta mengimani kewajiban-Nya kepada dirinya atau tidak.
Jika tidak terikat dan tidak mengimaninya, maka dia musyrik. Jika terikat dan mengimani kewajiban-Nya, tetapi menyalahinya, maka dia disebut pezina. Kemudian Allah dengan tegas menyatakan keharamannya: Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin (QS an-Nur 24: 3).”
Alasan kedua dari Hadis Nabi Shallalhu 'alaihi wa sallam yang menyatakan:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
"Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya) (HR Abu Dawud dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim)."
Ketiga, riwayat Said bin al-Musayyib yang menyatakan bahwa pernah ada seorang pria menikahi wanita. Ketika dia menjumpai wanita itu telah hamil maka dia mengadukannya kepada Nabi Shallalhu 'alaihi wa sallam. Baginda pun menceraikan keduanya.
Alasan keempat sabda Nabi Shallalhu 'alaihi wa sallam yang menyatakan :
لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يُسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
"Tidaklah halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menumpahkan air maninya ke dalam tanaman (air mani) orang lain." (HR Abu Dawud).
Alasan lainnya adalah bahwa pernikahan itu merupakan perkara suci. Di antara kesuciannya adalah agar kesucian tersebut tidak dituangkan ke dalam ma’ saffah (air zina) sehingga bercampur yang halal dengan haram. Dengan begitu, air kehinaan bercampur aduk dengan air kemuliaan. ( )
Mazhab Maliki juga beragumen dengan pendapat Ibn Mas’ud Radhiyallahu-anhu. yang menyatakan, “Jika seorang pria berzina dengan seorang wanita, kemudian setelah itu dia menikahinya, maka keduanya telah berzina selama-lamanya.”
Sementara, pendapat yang membolehkan berdasarkan firman Allah SWT:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ
"Telah dihalalkan bagi kalian yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dikawini, bukan untuk berzina." (QS an-Nisa’ : 24).
Ada juga hadis penuturan Aisyah Radhiyallahu'anhu. yang menyatakan:
لاَ يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلاَل
"Perkara yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal."
Kemudian adanya kesepakatan di antara sahabat atau ijmak sahabat. Bahwa telah diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Ibn Umar, Ibn ‘Abbas dan Jabir Radhiyallahu-anhu, bahwa Abu Bakar berkata, “Jika seorang pria berzina dengan wanita, maka tidak haram bagi dirinya untuk menikahinya.”
Demikian juga telah diriwayatkan dari ‘Umar, “Seorang pria telah menikahi wanita. Wanita itu mempunyai anak laki-laki dan perempuan yang berbeda ayah. Anak laki-lakinya melakukan maksiat dengan anak perempuannya, kemudian tampak hamil. Ketika ‘Umar datang ke Mekah, kasus itu disampaikan kepadanya. ‘Umar pun menanyai keduanya, dan keduanya mengakui. ‘Umar mencambuk keduanya dengan sanksi cambuk, lalu menawarkan keduanya untuk hidup bersama, namun anak laki-laki tersebut menolaknya.”
Dalil kelompok ketiga, yakni boleh menikahkan dengan syarat, yakni berdasarkan firman Allah SWT:
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
"Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin." (QS an-Nur : 3).
.
Alasannya, keharaman menikahi wanita pezina di dalam ayat tersebut berlaku bagi yang belum bertobat, namun setelah bertobat larangan tersebut hilang. Sebabnya, ada hadis Nabi Shallahu 'alaihi wa sallam yang menyatakan:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَه
"Orang yang bertobat dari dosa statusnya sama dengan orang yang tidak mempunyai dosa." (Dikeluarkan oleh Ibn Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni).
Selain itu, ada hadis penuturan Abi Said al-Khudri yang statusnya marfu’. Dalam hadis tersebut dinyatakan:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
"Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya)." (HR Abu Dawud dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim)
Nah, dari ketiga pendapat di atas, menurut KH Hafidz Abdurrahman, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang dikemukakan oleh mazhab Hambali, yang menyatakan, bahwa hukum menikahi wanita hamil dibolehkan dengan beberapa syarat :
1. Kehamilannya telah berakhir, atau masa ‘iddah-nya habis.
2. Bertobat dengan tobat nashuha.
Adapun yang menikahinya, boleh saja pasangan zinanya, atau bukan. Tentu setelah wanita tersebut bertobat, karena tobatnya telah menghapuskan kesalahan yang telah dilakukannya. Dengan catatan, jika tobatnya dilakukan dengan tobat nashuha. (Baca Juga: 3 Syarat Agar Tobat Diterima Allah Ta'ala
Sebab, pernikahan adalah ikatan suci yang membawa konsekuensi nasab, perwalian, dan waris.
Pertama, nasab. Orang yang menikahi wanita, kemudian dari wanita itu lahir anak, maka pernikahan yang sah tersebut menjamin keabsahan nasabnya.
Kedua, perwalian. Anak mempunyai hak perwalian, baik terhadap harta maupun dirinya.
Ketiga, waris. Dengan adanya nasab, status hukum waris menjadi jelas. Karena itu, syarat istibra’ (bersihnya rahim wanita) setelah masa ‘iddah, merupakan kunci. Jika tidak, maka status janin yang ada di dalamnya tidak akan diketahui.
Wallahu A’lam.
Lihat Juga: Ulama Sepuh dan Ribuan Warga 21 Kecamatan Lombok Timur Kukuhkan Dukungan untuk Rohmi-Firin
Menurut pimpinan Ma'had Syaraful Haramain, Bogor, KH Hafidz Abdurrahman, menikah dengan wanita hamil ada dua kemungkinan. Pertama, wanita tersebut adalah pasangan zina pria yang hendak menikahi dirinya. kedua, wanita tersebut bukan pasangannya atau hamil karena berhubungan badan dengan orang lain.
Bagi wanita yang hamil karena zina, baik zina dengan pasangan yang hendak menikahinya, atau zina dengan orang lain, maka hukum menikahinya ada tiga pendapat. (Baca juga : Fitrah Cantik Bagi Muslimah Sesuai Syariat )
Pertama, haram dinikahi. Ini merupakan pendapat mazhab Maliki, Abu Yusuf dan Zafar dari mazhab Hanafi. Termasuk juga Ibn Taimiyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah.
Kedua, boleh dinikahi tanpa syarat. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Muhammad dari mazhab Hanafi, dan mazhab Syafii.
Ketiga, boleh dinikahi dengan beberapa syarat, yakni kehamilannya telah berakhir atau habis masa ‘iddah-nya. Dan, bertobat dengan tobatan nashuha. Ini merupakan pendapat mazhab Hambali.
Pendapat kelompok pertama, merujuk pada, firman Allah SWT:
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
"Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin." (QS an-Nur : 3).
Syaikh al-Islam , Ibn Taimiyah berkata, “Mengenai keharaman (menikahi) wanita perempuan yang berzina telah dibahas oleh para fuqaha’, baik dari kalangan pengikut Imam Ahmad maupun yang lain. Dalam hal ini, terdapat riwayat dari para generasi terdahulu. Sekalipun para fuqaha’ memperselisihkannya, bagi yang membolehkannya, tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pijakan.”
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata, “Hukum menikahi wanita pezina telah dinyatakan keharamannya oleh Allah dengan tegas dalam surat An-Nur. Allah memberitahukan, bahwa siapa saja yang menikahinya, bisa jadi sama-sama pezina atau musyrik. Adakalanya orang terikat dengan hukum-Nya serta mengimani kewajiban-Nya kepada dirinya atau tidak.
Jika tidak terikat dan tidak mengimaninya, maka dia musyrik. Jika terikat dan mengimani kewajiban-Nya, tetapi menyalahinya, maka dia disebut pezina. Kemudian Allah dengan tegas menyatakan keharamannya: Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin (QS an-Nur 24: 3).”
Alasan kedua dari Hadis Nabi Shallalhu 'alaihi wa sallam yang menyatakan:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
"Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya) (HR Abu Dawud dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim)."
Ketiga, riwayat Said bin al-Musayyib yang menyatakan bahwa pernah ada seorang pria menikahi wanita. Ketika dia menjumpai wanita itu telah hamil maka dia mengadukannya kepada Nabi Shallalhu 'alaihi wa sallam. Baginda pun menceraikan keduanya.
Alasan keempat sabda Nabi Shallalhu 'alaihi wa sallam yang menyatakan :
لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يُسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
"Tidaklah halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menumpahkan air maninya ke dalam tanaman (air mani) orang lain." (HR Abu Dawud).
Alasan lainnya adalah bahwa pernikahan itu merupakan perkara suci. Di antara kesuciannya adalah agar kesucian tersebut tidak dituangkan ke dalam ma’ saffah (air zina) sehingga bercampur yang halal dengan haram. Dengan begitu, air kehinaan bercampur aduk dengan air kemuliaan. ( )
Mazhab Maliki juga beragumen dengan pendapat Ibn Mas’ud Radhiyallahu-anhu. yang menyatakan, “Jika seorang pria berzina dengan seorang wanita, kemudian setelah itu dia menikahinya, maka keduanya telah berzina selama-lamanya.”
Sementara, pendapat yang membolehkan berdasarkan firman Allah SWT:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ
"Telah dihalalkan bagi kalian yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dikawini, bukan untuk berzina." (QS an-Nisa’ : 24).
Ada juga hadis penuturan Aisyah Radhiyallahu'anhu. yang menyatakan:
لاَ يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلاَل
"Perkara yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal."
Kemudian adanya kesepakatan di antara sahabat atau ijmak sahabat. Bahwa telah diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Ibn Umar, Ibn ‘Abbas dan Jabir Radhiyallahu-anhu, bahwa Abu Bakar berkata, “Jika seorang pria berzina dengan wanita, maka tidak haram bagi dirinya untuk menikahinya.”
Demikian juga telah diriwayatkan dari ‘Umar, “Seorang pria telah menikahi wanita. Wanita itu mempunyai anak laki-laki dan perempuan yang berbeda ayah. Anak laki-lakinya melakukan maksiat dengan anak perempuannya, kemudian tampak hamil. Ketika ‘Umar datang ke Mekah, kasus itu disampaikan kepadanya. ‘Umar pun menanyai keduanya, dan keduanya mengakui. ‘Umar mencambuk keduanya dengan sanksi cambuk, lalu menawarkan keduanya untuk hidup bersama, namun anak laki-laki tersebut menolaknya.”
Dalil kelompok ketiga, yakni boleh menikahkan dengan syarat, yakni berdasarkan firman Allah SWT:
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
"Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin." (QS an-Nur : 3).
.
Alasannya, keharaman menikahi wanita pezina di dalam ayat tersebut berlaku bagi yang belum bertobat, namun setelah bertobat larangan tersebut hilang. Sebabnya, ada hadis Nabi Shallahu 'alaihi wa sallam yang menyatakan:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَه
"Orang yang bertobat dari dosa statusnya sama dengan orang yang tidak mempunyai dosa." (Dikeluarkan oleh Ibn Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni).
Selain itu, ada hadis penuturan Abi Said al-Khudri yang statusnya marfu’. Dalam hadis tersebut dinyatakan:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
"Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya)." (HR Abu Dawud dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim)
Nah, dari ketiga pendapat di atas, menurut KH Hafidz Abdurrahman, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang dikemukakan oleh mazhab Hambali, yang menyatakan, bahwa hukum menikahi wanita hamil dibolehkan dengan beberapa syarat :
1. Kehamilannya telah berakhir, atau masa ‘iddah-nya habis.
2. Bertobat dengan tobat nashuha.
Adapun yang menikahinya, boleh saja pasangan zinanya, atau bukan. Tentu setelah wanita tersebut bertobat, karena tobatnya telah menghapuskan kesalahan yang telah dilakukannya. Dengan catatan, jika tobatnya dilakukan dengan tobat nashuha. (Baca Juga: 3 Syarat Agar Tobat Diterima Allah Ta'ala
Sebab, pernikahan adalah ikatan suci yang membawa konsekuensi nasab, perwalian, dan waris.
Pertama, nasab. Orang yang menikahi wanita, kemudian dari wanita itu lahir anak, maka pernikahan yang sah tersebut menjamin keabsahan nasabnya.
Kedua, perwalian. Anak mempunyai hak perwalian, baik terhadap harta maupun dirinya.
Ketiga, waris. Dengan adanya nasab, status hukum waris menjadi jelas. Karena itu, syarat istibra’ (bersihnya rahim wanita) setelah masa ‘iddah, merupakan kunci. Jika tidak, maka status janin yang ada di dalamnya tidak akan diketahui.
Wallahu A’lam.
Lihat Juga: Ulama Sepuh dan Ribuan Warga 21 Kecamatan Lombok Timur Kukuhkan Dukungan untuk Rohmi-Firin
(wid)