Interfaith dan Islamophobia (5): Islam Agama yang Bersahabat

Kamis, 10 Februari 2022 - 17:34 WIB
loading...
Interfaith dan Islamophobia (5): Islam Agama yang Bersahabat
Imam Shamsi Ali, Direktur/Imam Jamaica Muslim Center (kanan). Foto/Ist
A A A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center

Semua kegiatan interfaith saya selama ini baik pada tataran lokal New York dan AS maupun di tingkat global tidak bisa dilepaskan dari eksposur yang terjadi pasca 9/11 di tahun 2001. Itulah sebabnya biasanya saya selalu mengatakan bahwa dengan segala pahitnya 9/11 itu juga membawa banyak "blessings in disguise" (keberkahan tersembunyi).

Satu di antara keberkahan itu adalah kesadaran komunitas Muslim bahwa kesalahpahaman dan phobia yang ada di benak sebagian bangsa Amerika harus dikoreksi. Selain tentu dengan ragam kegiatan Dakwah secara konvensional yang dikenal selama ini, program outreach menjadi sangat mendesak. Satu di antara bentuk outreach itu adalah melakukan pendekatan (approach) kepada komunitas agama lain, yang lebih populer dengan interfaith.

Dan karenanya Interfaith sesungguhnya tidak terpisahkan dari konteks dakwah, khususnya ketika dakwah itu dijalankan di tengah-tengah mayoritas non Muslim yang sangat salah paham, takut, bahkan pada tataran tertentu benci dengan agama ini. Sekali lagi saya mengistilahkannya secara sederhana dengan pembersihan lahan.

Lalu, apa saja manfaat atau tepatnya hasil yang ingin dicapai dari interfaith ini?

Pada tulisan ini saya akan sampaikan hanya beberapa hal saja. Sebab jika saya sampaikan keseluruhan manfaat dari Interfaith yang saya pahami, minimal berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya pribadi, kemungkinan akan sangat panjang.

Di antara manfaat, tujuan dan juga hasil yang telah dan akan didapatkan dari Interfaith, antara lain sebagai berikut:

Satu, Interfaith adalah salah satu bentuk implementasi nyata dari ajaran Islam yang rahmatan lil-alamin. Bahwa Islam itu bukan ajaran yang menutup diri. Justeru bersifat inklusif dan membangun komunikasi dan relasi dengan semua manusia. Ini sekaligus menepis tanggapan sebagai orang jika Islam adalah agama yang ekslusif dan tidak bersahabat.

Dua, dengan interaksi langsung antaragama ini, non Muslim akan melihat dengan mata mereka sendiri perbedaan antara Islam yang nyata dalam prilaku dan karakter pemeluknya dan narasi tentang Islam yang dikembangkan oleh media dan mereka yang memang punya sentimen anti Islam. Saya biasa menyebutnya dengan "challenging Islamophobia by action".

Tiga, bagi umat Islam sendiri melalui kegiatan interfaith bisa belajar untuk terbiasa membuka wawasan dan pandangan. Termasuk di dalamnya wawasan dan pandangan keagamaan yang mungkin saja selama ini bagaikan "katak di bawah tempurung" itu. Merasa menguasai dunia tapi pergerakannya justru dibatasi oleh dinding-dinding ruangan dzikirnya.

Empat, sebagaimana disebutkan terdahulu bahwa dunia kita ini telah menjadi kampung global (global village) yang dari masa ke masa mengalami penyempitan. Oleh karenanya, sesungguhnya kita dalam saat ini bagaikan hidup dalam satu rumah yang sama. Dan akal sehat pasti mengajarkan kita bertanggung jawab bersama (collectively responsible) untuk menjaga rumah bersama (shared home) kita. Dialog antaragama adalah salah satu bentuk usaha menjaga rumah bersama itu (dunia).

Lima, realitanya memang Islam (Al-Qur'an) banyak bersentuhan dengan agama/keyakinan orang lain. Al-Qur'an berbicara tentang Bani Israil atau Yahudi. Juga berbicara tentang Nashoro atau Kristiani. Bahkan Al-Qur'an berbicara banyak tentang Kitab Suci mereka (Taurat dan Injil). Interfaith adalah salah satu cara praktis untuk mendapatkan penjelasan dari ayat-ayat terkait.

Dan karenanya tanyangan yang kemudian kita hadapi adalah bagaimana memahami dalil-dalil agama, baik di Al-Qur'an maupun di hadits-hadits Rasulullah yang kita dapati cukup kritis kepada dua komunitas khususnya, yaitu Yahudi dan Kristen.

Kenyataan bahwa kritikan tajam Al-Qur'an itu pada galibnya ke dua komunitas itu menunjukkan jika Al-Quran itu sangat menekankan konteks. Karena konteksnya memang Komunitas Muslim pertama di Madinah secara langsung berinteraksi dengan Kedua komunitas itu. Wajar saja kalau kritikan-kritikan Al-Qur'an bukan ke Komunitas Hindu, Buddha. Walau kenyataannya Kedua Komunitas itu telah eksis jauh Sebelum Rasulullah diutus.

Lalu bagaimana menyikapi kritikan-kritikan itu?

Pertama, satu hal yang harus ditekankan bahwa kritikan Al-Qur'an bukan pada kelompok orang. Tapi pada prilaku orang yang dianggap salah. Kritikan kepada Bani Israel misalnya justeru pada prilaku mereka yang keras hati dan membangkang Rasul-rasul mereka sendiri. Bukan karena Yahudinya.

Kedua, perlu juga dipahami secara jeli bahwa seringkali kritikan Al-Qur'an itu dimaknai justeru tantangan bagi umat ini di satu sisi. Tapi juga peringatan bagi mereka di sisi lain agar tidak terjatuh ke dalam lobang yang sama.

Saya hanya ingin mengambil dua ayat sebagai contoh.

Yang pertama, Allah berfirman: "Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah ridha kepadamu hingga kamu mengikuti millat (jalan hidup) mereka." (Al-Baqarah: 120)

Untuk memahami ayat tersebut tentu perlu perenungan sekaligus wawasan yang luas dan menyeluruh. Dan pastinya tidak tepat pemahaman itu jika didahului dengan opini yang memang penuh dengan bias dan prasangka. Karenanya, selain ilmu yang cukup juga perlu kesadaran untuk mengedepankan pikiran positif.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2527 seconds (0.1#10.140)