Kisah Pendeta Menafsirkan Mimpi Abu Bakar sebelum Masuk Islam
loading...
A
A
A
O. Hashem dalam buku berjudul "Muhammad Sang Nabi: Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail" (2007) menambahkan di rumahnya, Muhammad (40 tahun) tinggal bersama istrinya, Khadijah (55 tahun), dan kedua putrinya, yaitu Ummu Kultsum (15 tahun) dan Fatimah (5 tahun).
Sementara itu dua putrinya yang lain, yang lebih tua, telah keluar dari rumah itu dan tinggal bersama suaminya masing-masing, mereka adalah Zainab (19 tahun) dan Ruqayyah (17 tahun).
Selain itu, di rumah itu ada anak laki-laki yang berbadan kurus, dia adalah sepupu Muhammad, Ali bin Abi Thalib (11 tahun); pembantu Muhammad, Zaid bin Haritsah; dan istri Zaid, Ummu Aiman (58 tahun).
Setibanya di rumah Muhammad, Abu Bakar mengetuk pintu. Muhammad menyambutnya dengan wajah yang ramah, kemudian dipanggilnya Khadijah, “Dia adalah Atiq, hai Khadijah.”
Lalu terjadi dialog di antara mereka, “Benarkah apa yang disampaikan oleh orang-orang itu, wahai teman sebangsa?” tanya Abu Bakar kepada Muhammad.
“Apa yang mereka sampaikan kepadamu?” tanya Muhammad.
“Kata mereka, Allah telah mengutusmu kepada kami agar kami mengibadahi-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apa pun juga.”
“Dan apa jawabanmu kepada mereka, wahai Atiq?”
“Kataku kepada mereka, ‘Jika demikian, maka benarlah dia.’.”
Mendengarnya, Muhammad kemudian berurai air mata dan memeluk Abu Bakar. Dipeluknya Abu Bakar, lalu dicium keningnya. Muhammad lalu menceritakan kepada Abu Bakar mengenai peristiwa yang dia alami di gua Hira, tidak ketinggalan dibacakannya pula wahyu yang dia terima waktu itu:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” ( QS Al-Alaq [96]: 1-5)
Sementara itu Abu Bakar menundukkan kepalanya dengan khidmat, sebagai bentuk penghormatan terhadap ayat-ayat Allah yang sedang dibacakan di depannya. Setelahnya, dia mengangkat kepalanya dan dengan kedua tangannya dipegangnya tangan Muhammad seraya berkata:
“Aku bersaksi bahwa engkau adalah orang yang benar dan terpercaya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasululullah.”
Demikianlah, dengan kesaksiannya ini, Abu Bakar telah menyatakan bahwa dirinya masuk Islam. Dia menerima tanpa ragu apa yang diceritakan Rasulullah SAW kepadanya.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Abu Bakar As-Siddiq: Sebuah Biografi, diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia oleh Ali Audah" (2003) menyatakan, bahwa sesungguhnya tidak mengherankan jika Abu Bakar langsung menerima Islam, sebab, dari sejak awal dia adalah seorang sosok pemikir yang, meskipun secara diam-diam, menilai bahwa penyembahan kepada berhala itu adalah suatu kebodohan.
Mengenai masuknya Abu Bakar kepada Islam, pada lain kesempatan Rasulullah SAW bersabda, “Tak seorang pun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu, kecuali Abu Bakar bin Abi Quhafah. Dia tidak menunggu-nunggu dan tidak ragu ketika kusampaikan kepadanya.”
Sementara itu dua putrinya yang lain, yang lebih tua, telah keluar dari rumah itu dan tinggal bersama suaminya masing-masing, mereka adalah Zainab (19 tahun) dan Ruqayyah (17 tahun).
Selain itu, di rumah itu ada anak laki-laki yang berbadan kurus, dia adalah sepupu Muhammad, Ali bin Abi Thalib (11 tahun); pembantu Muhammad, Zaid bin Haritsah; dan istri Zaid, Ummu Aiman (58 tahun).
Setibanya di rumah Muhammad, Abu Bakar mengetuk pintu. Muhammad menyambutnya dengan wajah yang ramah, kemudian dipanggilnya Khadijah, “Dia adalah Atiq, hai Khadijah.”
Lalu terjadi dialog di antara mereka, “Benarkah apa yang disampaikan oleh orang-orang itu, wahai teman sebangsa?” tanya Abu Bakar kepada Muhammad.
“Apa yang mereka sampaikan kepadamu?” tanya Muhammad.
“Kata mereka, Allah telah mengutusmu kepada kami agar kami mengibadahi-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apa pun juga.”
“Dan apa jawabanmu kepada mereka, wahai Atiq?”
“Kataku kepada mereka, ‘Jika demikian, maka benarlah dia.’.”
Mendengarnya, Muhammad kemudian berurai air mata dan memeluk Abu Bakar. Dipeluknya Abu Bakar, lalu dicium keningnya. Muhammad lalu menceritakan kepada Abu Bakar mengenai peristiwa yang dia alami di gua Hira, tidak ketinggalan dibacakannya pula wahyu yang dia terima waktu itu:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” ( QS Al-Alaq [96]: 1-5)
Sementara itu Abu Bakar menundukkan kepalanya dengan khidmat, sebagai bentuk penghormatan terhadap ayat-ayat Allah yang sedang dibacakan di depannya. Setelahnya, dia mengangkat kepalanya dan dengan kedua tangannya dipegangnya tangan Muhammad seraya berkata:
“Aku bersaksi bahwa engkau adalah orang yang benar dan terpercaya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasululullah.”
Demikianlah, dengan kesaksiannya ini, Abu Bakar telah menyatakan bahwa dirinya masuk Islam. Dia menerima tanpa ragu apa yang diceritakan Rasulullah SAW kepadanya.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Abu Bakar As-Siddiq: Sebuah Biografi, diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia oleh Ali Audah" (2003) menyatakan, bahwa sesungguhnya tidak mengherankan jika Abu Bakar langsung menerima Islam, sebab, dari sejak awal dia adalah seorang sosok pemikir yang, meskipun secara diam-diam, menilai bahwa penyembahan kepada berhala itu adalah suatu kebodohan.
Mengenai masuknya Abu Bakar kepada Islam, pada lain kesempatan Rasulullah SAW bersabda, “Tak seorang pun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu, kecuali Abu Bakar bin Abi Quhafah. Dia tidak menunggu-nunggu dan tidak ragu ketika kusampaikan kepadanya.”
(mhy)