Kisah Khalifah Muawiyah Mengganti Sistem Demokratis ke Monarki

Selasa, 15 Februari 2022 - 19:15 WIB
loading...
Kisah Khalifah Muawiyah Mengganti Sistem Demokratis ke Monarki
Muawiyah bin Abu Sufyan mengubah sisten pemerintahan demokrasi menjadi monarki. (Foto/Ilustrasi: Ist)
A A A
Begitu Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi khalifah,ia memindahkan ibukota negara dari Madinah ke Damaskus. Selanjutnya, ia juga mengganti sistem pemerintahan dari demokratis ke monarki. Sebagaimana diketahui, sejak masa Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga periode Ali bin Abi Thalib ra , para khalifah dipilih langsung oleh rakyat.



Eamonn Gaerond dalam bukunya berjudul “Turning Points in Middle Eastern History” menyatakan ada beberapa peristiwa penting yang terjadi sebelum Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi khalifah. Peristiwa tersebut antara lain adalah wafatnya Ali bin Abi Thalib, dan naiknya Hasan bin Ali sebagai Khalifah kelima. Hasan dipilih oleh para pendukung Ali bin Abi Thalib di Kufah dan sekitarnya.

Sesaat setelah mendengar berita duka tentang wafatnya Ali, Muawiyah langsung mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah di Yerusalem pada tahun 660 M.

Meski di Damaskus jumlah kaum Muslimin masih minoritas, namun Muawiyah mendapat dukungan dari Mesir dan Pelestina, kedua wilayah yang dulu di taklukkan oleh Amr bin Ash, yang kemudian menjadi pendukung utama Muawiyah.

Adapun di Mekkah dan Madinah, masyarakat tetap berusaha netral dan menjaga jarak dari konflik ini.

Hanya saja, menurut Philip K Hitti dalam bukunya berjudul “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present” masyarakat Mekkah khususnya, sebenarnya memiliki kecenderungan memihak pada Damaskus. Mereka ini umumnya adalah kelompok yang masuk Islam paling akhir, yaitu ketika Kota Mekkah sudah dikepung dan ditaklukan oleh kaum Muslimin. Masuknya mereka ke agama Islam, lebih karena pertimbangan strategis, bukan karena kesadaran spiritual.

Sebagaimana Muawiyah, mereka juga masih memandang situasi politik Islam dari perspektif kesukuan (ashobiyah). Sehingga mereka melihat kepemimpinan Ali bin Abi Thalib adalah representasi dari kepemimpin Bani Hasyim atas mereka – terlebih setelah wafatnya Ali, masyarakat Irak dan Iran secara aklamasi memilih Hasan bin Ali sebagai penggantinya.

Namun Hasan bin Ali memahami sepenuhnya apa yang sedang terjadi. Soal kebijaksanaan Hasan bin Ali, tidak ada satupun kelompok yang meragukannya. Meski secara kalkulatif jumlah pendukungnya jauh lebih banyak dari Muawiyah, namun ia mempertimbangkan kemaslahatan kaum Muslimin seluruhnya.

Berusaha untuk tidak memperuncing permusuhan yang berlandaskan isu kesukuan ini – yang berpotensi besar membelokkan makna kepemimpinan dalam tradisi kaum Muslimin – akhirnya beliau memutuskan untuk mengikat perjanjian damai dengan Muawiyah.



Perjanjian damai ini dibuat hanya berselang 3 bulan sejak dilantiknya Hasan bin Ali sebagai Khalifah oleh kaum Muslimin.

Beberapa isi pokok perjanjian tersebut antara lain; “Hasan bersedia mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan beberapa syarat. Di antara syarat-syarat yang diajukan Hasan adalah:

Muawiyah tidak menaruh dendam kepada orang-orang yang dulunya mendukung Hasan, seperti masyarakat Irak dan Suriah, serta Muawiyah mau memaafkan dan menjamin keselamatan mereka.

Kursi kekhalifahan setelah Muawiyah harus diserahkan kepada pilihan umat, bukan diwariskan kepada keturunannya.

Pajak dari Ahwaz, salah satu distrik di Persia, diperuntukkan bagi Hasan; dan Muawiyah harus membayar kompensasi sebesar lima juta dirham dari bendahara Kufah, memberi satu juta dirham setiap tahun untuk Hasan, dan dua juta dirham untuk saudaranya, Husein.

Syarat-syarat tersebut disetujui oleh Muawiyah, dan pada tahun 41 H/661 M, Muawiyah datang ke Kuffah guna menandatangani perjanjian damai sekaligus menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Hasan.

Tahun itu kemudian dinamakan sebagai ”tahun persatuan” (‘am al-jama’ah), karena tidak ada lagi dualisme kepemimpinan seperti sebelumnya. Perjanjian damai ini dinilai oleh Muawiyyah sebagai bentuk pengakuan atas kekhalifahannya.

Monarki
Muawiyah kemudian memindah ibukota negara dari Madinah ke Damaskus. Ia juga mengganti sistem pemerintahan dari demokratis ke monarki. Sebagaimana diketahui, sejak masa Abu Bakar hingga periode Ali bin Abi Thalib ra, para khalifah dipilih langsung oleh rakyat dan menjalani kehidupan seperti seorang biasa.

Mereka tinggal di rumah sederhana, memenuhi kebutuhan hidup sendiri seperti pergi belanja ke pasar, memperbaiki rumah atau peralatan keluarga, persis seperti yang dijalani orang kebanyakan.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3183 seconds (0.1#10.140)