Konflik Bani Umayyah dan Bani Hasyim, Berkaca Peristiwa Damaskus Gantikan Madinah
loading...
A
A
A
Konflik yang terjadi pada era jahiliyah antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah terus berlanjut pada masa Islam. Aroma permusuhan ini kian kental tatkala Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi Khalifah dan Dinasti Umayyah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus.
Eamon Gaeronn dalam bukunya berjudul “Turning Point on Middle East History” mamaparkan alasan pertama Dinasti Umayyah memilih Damaskus sebagai pusat pemerintahannya karena alasan prestige dan pengaruh dengan Bani Hasyim.
Hal ini mencerminkan bahwa persaingan gengsi antara Bani Umayyah dengan Bani Hasyim berlangsung terus menerus hingga masa Muawiyah. Bagi mereka, menancapkan kekuasaan di Mekkah dan Madinah sama halnya dengan menegakkan benang basah.
Di sisi lain, memimpin di tengah-tengah kaum Muslimin bukanlah perkara mudah. Akan selalu datang kritik dan kecaman bila mereka memimpin tidak di atas garis kebenaran. Dan ini tentu saja tidak akan kondusif bagi Muawiyah yang berniat untuk mendirikan sebuah imperuim Umayyah yang rencananya akan diwariskan secara turun temurun.
Selain alasan tersebut, menurut Eamon Gaeronn, karena alasan geopolitik dan geostrategis. Damaskus terletak di persimpangan dua peradaban besar, yaitu Persia dan Romawi. Sebelum ditaklukkan oleh Islam, wilayah ini merupakan bagian dari kekuasaan Romawi. Meski sebagaian besar masyarakatnya waktu itu beragama Kristen, namun berbagai infrastruktur negara adidaya sudah terinstall di tempat ini. Dan yang terpenting, masyarakatnya sangat kosmopolitan dan beragam.
Alasan ketiga, karena wilayah ini memang sudah sangat dikuasai oleh Muawiyah. Sebelum menjadi Khalifah, Muawiyah adalah gubernur di Damaskus. Dalam rentang waktu tersebut, dia sudah berhasil membangun kekuatan militer dan pondasi dukungan masyarakat terhadap kepemimpinannya.
Dengan kekuatan inilah ia berani menantang kekuatan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam perang Shiffin.
Dinasti Umayyah
Muawiyah sukses mengibarkan bendera Dinasti Umayyah. Nama dinasti ini diambil dari nama kakek buyutnya Muawiyah, Umayyah bin Abd Asy-Syam. Umayyah adalah putra dari Abd Asy-Syam bin Abd Manaf, yang juga adalah ayah dari Hasyim, kakek buyut Rasulullah SAW .
Pertalian kekeluargaan antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah ada pada diri Abd Manaf. Namun sejarah mencatat terjadi persaingan yang begitu sengit antara keduanya.
Persaingan ini sudah berlangsung bahkan sejak masa Umayyah dengan Hasyim, dan terus berlanjut hingga ke masa Muawiyah dan anak keturunannya.
Sebelum Muawiyah, Abu Sufyan adalah sosok yang begitu mewakili warna permusuhan ini. Terlebih setelah Rasululllah SAW memulai dakwahnya, kedengkian Abu Sufyan semakin menjadi-jadi. Dan alasan dasar munculnya kedengkian ini tidak lain semangat kesukuan (ashobiyah) yang begitu besar.
Sejak Qushai bin Kilab – leluhur Nabi Muhammad SAW – mendirikan kota Mekkah 200 tahun sebelum Hijrah, anak keturunannya mewarisi kehormatan yang begitu tinggi di kota ini dari klan-klan lain di sekitarnya.
Kepemimpinan kota Mekkah kemudian mewaris secara genetis dari Qushai hingga masa kelahiran Rasulullah SAW. Qushai dikaruiai 4 orang putra, diantaranya Abdud-Dar, Abd Manaf, Abd, dan Abdul Uzza.
Setelah Qushai bin Kilab, tongkat kepemimpinan Mekkah diwariskan kepada putra tertuanya, Abdud-Dar. Di masa pemerintahannya, kondisi masyarakat berlangsung aman dan damai, tidak ada masalah.
Awal Mula Konflik
Setelah Abdud-Dar wafat, masalah pewaris tongkat kepemimpinan Mekkah mulai mencuat. Terjadi keributan antara anak-anak Abdud-Dar dengan anak-anak Abd Manaf, adiknya.
Pertikaian ini menyeret tetangga dan klan-klan sekitar untuk memihak satu sama lain. Namun ketegangan ini berhasil direda melalui perundingan. Mereka akhirnya sepakat untuk membagi tugas kemasyarakat di kota Mekkah; seperti tanggungjawab untuk memungut pajak (rifada); mengurus air dan mengkoordinsikannya bagi kepentingan bersama, khususnya bagi jamaah haji (sikaya); memegang kunci Ka’bah (hijabah), dan pemegang panji pada saat perang (liwa).
Adapun keturunan Abd Manaf mewarisi tanggungjawab rifada dan sikaya, sedang sisanya tetap dipegang oleh keturunan Abdud Dar.
Eamon Gaeronn dalam bukunya berjudul “Turning Point on Middle East History” mamaparkan alasan pertama Dinasti Umayyah memilih Damaskus sebagai pusat pemerintahannya karena alasan prestige dan pengaruh dengan Bani Hasyim.
Hal ini mencerminkan bahwa persaingan gengsi antara Bani Umayyah dengan Bani Hasyim berlangsung terus menerus hingga masa Muawiyah. Bagi mereka, menancapkan kekuasaan di Mekkah dan Madinah sama halnya dengan menegakkan benang basah.
Di sisi lain, memimpin di tengah-tengah kaum Muslimin bukanlah perkara mudah. Akan selalu datang kritik dan kecaman bila mereka memimpin tidak di atas garis kebenaran. Dan ini tentu saja tidak akan kondusif bagi Muawiyah yang berniat untuk mendirikan sebuah imperuim Umayyah yang rencananya akan diwariskan secara turun temurun.
Selain alasan tersebut, menurut Eamon Gaeronn, karena alasan geopolitik dan geostrategis. Damaskus terletak di persimpangan dua peradaban besar, yaitu Persia dan Romawi. Sebelum ditaklukkan oleh Islam, wilayah ini merupakan bagian dari kekuasaan Romawi. Meski sebagaian besar masyarakatnya waktu itu beragama Kristen, namun berbagai infrastruktur negara adidaya sudah terinstall di tempat ini. Dan yang terpenting, masyarakatnya sangat kosmopolitan dan beragam.
Alasan ketiga, karena wilayah ini memang sudah sangat dikuasai oleh Muawiyah. Sebelum menjadi Khalifah, Muawiyah adalah gubernur di Damaskus. Dalam rentang waktu tersebut, dia sudah berhasil membangun kekuatan militer dan pondasi dukungan masyarakat terhadap kepemimpinannya.
Dengan kekuatan inilah ia berani menantang kekuatan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam perang Shiffin.
Dinasti Umayyah
Muawiyah sukses mengibarkan bendera Dinasti Umayyah. Nama dinasti ini diambil dari nama kakek buyutnya Muawiyah, Umayyah bin Abd Asy-Syam. Umayyah adalah putra dari Abd Asy-Syam bin Abd Manaf, yang juga adalah ayah dari Hasyim, kakek buyut Rasulullah SAW .
Pertalian kekeluargaan antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah ada pada diri Abd Manaf. Namun sejarah mencatat terjadi persaingan yang begitu sengit antara keduanya.
Persaingan ini sudah berlangsung bahkan sejak masa Umayyah dengan Hasyim, dan terus berlanjut hingga ke masa Muawiyah dan anak keturunannya.
Sebelum Muawiyah, Abu Sufyan adalah sosok yang begitu mewakili warna permusuhan ini. Terlebih setelah Rasululllah SAW memulai dakwahnya, kedengkian Abu Sufyan semakin menjadi-jadi. Dan alasan dasar munculnya kedengkian ini tidak lain semangat kesukuan (ashobiyah) yang begitu besar.
Sejak Qushai bin Kilab – leluhur Nabi Muhammad SAW – mendirikan kota Mekkah 200 tahun sebelum Hijrah, anak keturunannya mewarisi kehormatan yang begitu tinggi di kota ini dari klan-klan lain di sekitarnya.
Kepemimpinan kota Mekkah kemudian mewaris secara genetis dari Qushai hingga masa kelahiran Rasulullah SAW. Qushai dikaruiai 4 orang putra, diantaranya Abdud-Dar, Abd Manaf, Abd, dan Abdul Uzza.
Setelah Qushai bin Kilab, tongkat kepemimpinan Mekkah diwariskan kepada putra tertuanya, Abdud-Dar. Di masa pemerintahannya, kondisi masyarakat berlangsung aman dan damai, tidak ada masalah.
Awal Mula Konflik
Setelah Abdud-Dar wafat, masalah pewaris tongkat kepemimpinan Mekkah mulai mencuat. Terjadi keributan antara anak-anak Abdud-Dar dengan anak-anak Abd Manaf, adiknya.
Pertikaian ini menyeret tetangga dan klan-klan sekitar untuk memihak satu sama lain. Namun ketegangan ini berhasil direda melalui perundingan. Mereka akhirnya sepakat untuk membagi tugas kemasyarakat di kota Mekkah; seperti tanggungjawab untuk memungut pajak (rifada); mengurus air dan mengkoordinsikannya bagi kepentingan bersama, khususnya bagi jamaah haji (sikaya); memegang kunci Ka’bah (hijabah), dan pemegang panji pada saat perang (liwa).
Adapun keturunan Abd Manaf mewarisi tanggungjawab rifada dan sikaya, sedang sisanya tetap dipegang oleh keturunan Abdud Dar.