Kisah Khalifah Muawiyah Mengganti Sistem Demokratis ke Monarki
loading...
A
A
A
Dalam hal ini dia mengatakan bahwa hanya Yazid bin Muawiyah yang paling tepat menggantikan kedudukan ayahnya. Setelah itu pidatonya berisi puji-pujian kepada Yazid. Dan diakhiri dengan permintaan kepada hadirin untuk ikut mendukung pendapatnya.
Hanya saja, Akbar Shah Najeebabadi menyebut deklarasi pertama terhadap Yazid dimulai ketika Muawiyah memanggil semua gubernur di wilayah kekuasaannya.
Menurutnya, sejak memulai pidatonya, Muawiyah sudah terlebih dahulu menyampaikan niatnya secara langsung kepada delegasi yang hadir.
Adapun Dahhak adalah orang pertama yang bangkit dan menguatkan pendapat Muawiyah. Sebagian hadirin pada awalnya ada yang ragu, namun alasan Muawiyah adalah karena kekuasaan Islam membutuhkan sosok pemimpin yang muda. Dengan alasan ini, hampir semua orang yang hadir menyetujui usul dan Muawiyah, kecuali satu orang, yaitu Ahnaf bin Qais yang berasal dari Mesir.
Hasan bin Ali Wafat
Setelah itu, dalam tahun 50 H tersebut, Muawiyah tidak lagi menyatakan niatnya dihadapan publik. Namun secara bertahap mendekati tokoh satu ke tokoh yang lain. Dan tak lama kemudian, di Madinah tersiar kabar bahwa Hasan bin Ali wafat.
Berita yang beredar, beliau diracun oleh istrinya yang bernama Ja’dah putri Asy’ad bin Qais, sosok yang sangat membenci Ali bin Abi Thalib. Kegaduhanpun terjadi. Rumor yang beredar, bahwa ini adalah pembunuhan politik, dan tersangka utamanya tidak lain adalah Muawiyah.
Dalam sejarah, begitu banyak informasi yang simpang siur terkait peristiwa ini. Banyak yang meyakini keterlibatan Muawiyah secara langsung dalam pembunuhan ini, namun tidak sedikit juga yang membantahnya. Bahkan menurut Muhammad Rida, Ibn Khaldun pun meragukan keterlibatan Muawiyah. Karena bagaimanapun tidak ada orang yang sanggup membayangkan seorang khalifah kaum Muslimin dapat melakukan perbuatan sekeji dan sepengecut ini kepada seorang yang sangat mulia seperti Hasan bin Ali.
Sedangkan bagi yang meyakininya, memang sangat sulit untuk membantah keterlibatan Muawiyah dalam peristiwa ini. Data yang mereka sebutkan memang demikian rinci, temasuk berapa jumlah uang yang dijanjikan oleh Muawiyah, hingga kesepakatan untuk meminang Ja’dah bagi Yazid bila Hasan bin Ali terbunuh.
Tapi terlepas dari semua itu, setelah wafatnya Hasan bin Ali, jalan politik Muawiyah semakin terbuka.
Abdullah bin Abbas menceritakan, bahwa ketika berita tentang wafatnya Hasan bin Ali tersiar di Damaskus, ia sedang berada di sana. Ketika ia sedang berada di dalam Masjid, tiba-tiba ia mendengar Muawiyah mengucapkan takbir yang disambut takbir pula oleh para prajuritnya.
Dan orang-orang yang di dalam Masjid-pun lalu bertakbir pula. Melihat peristiwa ini, Abdullah bin Abbas lalu mendatangai Muawiyah, dan Muawiyah berkata, “Ibn Abbas, anda tahu Hasan sudah meninggal?”
Ibn Abbas balik bertanya, “untuk ini anda bertakbir?”
Muawiyah menjawab dengan girang, “Iya”.
Mendengar pernyataan ini, Ibn Abbas lalu mengecam keras sikap Muawiyah tersebut.
Nyaris Tanpa Oposisi
Setelah wafatnya Hasan bin Ali, jalan politik dinasti Umayyah semakin tak tertahankan. Sisa-sisa kekuatan Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali di preteli satu persatu di semua wilayah.
Pemimpin semua wilayah Islam diganti dengan orang-orang kepercayaan Muawiyah. Nyaris tanpa oposisi, kekuasaan dinasti Umayyah dikenal sebagai bentuk negara despotik pertama dalam sejarah Islam.
Tidak ada satupun suara sumbang yang boleh di dengar Muawiyah, sehingga kekejaman para aparaturnya nyaris tidak terkontrol. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan, tirani yang berlangsung ini, tidak lain adalah atas kehendak Muawiyah.
Semua wilayah dipaksa satu suara, khususnya untuk isu tentang pengangkatan Yazid. Tinggal satu ganjalannya, yaitu menjinakkan tokoh-tokoh kunci yang menetap di Madinah dan Mekkah. Mereka adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Zubair bin Awam, dan Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Hanya saja, Akbar Shah Najeebabadi menyebut deklarasi pertama terhadap Yazid dimulai ketika Muawiyah memanggil semua gubernur di wilayah kekuasaannya.
Menurutnya, sejak memulai pidatonya, Muawiyah sudah terlebih dahulu menyampaikan niatnya secara langsung kepada delegasi yang hadir.
Adapun Dahhak adalah orang pertama yang bangkit dan menguatkan pendapat Muawiyah. Sebagian hadirin pada awalnya ada yang ragu, namun alasan Muawiyah adalah karena kekuasaan Islam membutuhkan sosok pemimpin yang muda. Dengan alasan ini, hampir semua orang yang hadir menyetujui usul dan Muawiyah, kecuali satu orang, yaitu Ahnaf bin Qais yang berasal dari Mesir.
Hasan bin Ali Wafat
Setelah itu, dalam tahun 50 H tersebut, Muawiyah tidak lagi menyatakan niatnya dihadapan publik. Namun secara bertahap mendekati tokoh satu ke tokoh yang lain. Dan tak lama kemudian, di Madinah tersiar kabar bahwa Hasan bin Ali wafat.
Berita yang beredar, beliau diracun oleh istrinya yang bernama Ja’dah putri Asy’ad bin Qais, sosok yang sangat membenci Ali bin Abi Thalib. Kegaduhanpun terjadi. Rumor yang beredar, bahwa ini adalah pembunuhan politik, dan tersangka utamanya tidak lain adalah Muawiyah.
Dalam sejarah, begitu banyak informasi yang simpang siur terkait peristiwa ini. Banyak yang meyakini keterlibatan Muawiyah secara langsung dalam pembunuhan ini, namun tidak sedikit juga yang membantahnya. Bahkan menurut Muhammad Rida, Ibn Khaldun pun meragukan keterlibatan Muawiyah. Karena bagaimanapun tidak ada orang yang sanggup membayangkan seorang khalifah kaum Muslimin dapat melakukan perbuatan sekeji dan sepengecut ini kepada seorang yang sangat mulia seperti Hasan bin Ali.
Sedangkan bagi yang meyakininya, memang sangat sulit untuk membantah keterlibatan Muawiyah dalam peristiwa ini. Data yang mereka sebutkan memang demikian rinci, temasuk berapa jumlah uang yang dijanjikan oleh Muawiyah, hingga kesepakatan untuk meminang Ja’dah bagi Yazid bila Hasan bin Ali terbunuh.
Tapi terlepas dari semua itu, setelah wafatnya Hasan bin Ali, jalan politik Muawiyah semakin terbuka.
Abdullah bin Abbas menceritakan, bahwa ketika berita tentang wafatnya Hasan bin Ali tersiar di Damaskus, ia sedang berada di sana. Ketika ia sedang berada di dalam Masjid, tiba-tiba ia mendengar Muawiyah mengucapkan takbir yang disambut takbir pula oleh para prajuritnya.
Dan orang-orang yang di dalam Masjid-pun lalu bertakbir pula. Melihat peristiwa ini, Abdullah bin Abbas lalu mendatangai Muawiyah, dan Muawiyah berkata, “Ibn Abbas, anda tahu Hasan sudah meninggal?”
Ibn Abbas balik bertanya, “untuk ini anda bertakbir?”
Muawiyah menjawab dengan girang, “Iya”.
Mendengar pernyataan ini, Ibn Abbas lalu mengecam keras sikap Muawiyah tersebut.
Nyaris Tanpa Oposisi
Setelah wafatnya Hasan bin Ali, jalan politik dinasti Umayyah semakin tak tertahankan. Sisa-sisa kekuatan Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali di preteli satu persatu di semua wilayah.
Pemimpin semua wilayah Islam diganti dengan orang-orang kepercayaan Muawiyah. Nyaris tanpa oposisi, kekuasaan dinasti Umayyah dikenal sebagai bentuk negara despotik pertama dalam sejarah Islam.
Tidak ada satupun suara sumbang yang boleh di dengar Muawiyah, sehingga kekejaman para aparaturnya nyaris tidak terkontrol. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan, tirani yang berlangsung ini, tidak lain adalah atas kehendak Muawiyah.
Semua wilayah dipaksa satu suara, khususnya untuk isu tentang pengangkatan Yazid. Tinggal satu ganjalannya, yaitu menjinakkan tokoh-tokoh kunci yang menetap di Madinah dan Mekkah. Mereka adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Zubair bin Awam, dan Husein bin Ali bin Abi Thalib.