Kisah Khalifah Muawiyah Mengganti Sistem Demokratis ke Monarki

Selasa, 15 Februari 2022 - 19:15 WIB
loading...
A A A
Pada sekitar tahun 51 H, Muawiyah yang sudah lama tidak berhaji, berangkat haji ke Mekkah. Sebelumnya ia sudah memerintahkan Marwan bin Hakam untuk mengkondisikan situasi di wilayah tersebut. Tapi memang keempat orang ini sangat berpengaruh, sehingga harus didekati dengan cara khusus.

Ketika berkunjung, Muawiyah begitu royal membagi-bagian hartanya kepada penduduk Madinah dan Mekkah. Hal ini memang sengaja ia lakukan untuk menarik simpati masyarakat di kedua kota tersebut.

Sambil bersamaan dengan itu, ia mendatangi keempat tokoh kunci masyarakat di sana, kecuali Husein bin Ali yang menurutnya terlalu rumit untuk didekati. Di samping karena ia adalah musuh Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali, Husein bin Ali sudah tegas sikapnya, dan juga memiliki keteguhan hati yang luar biasa. Kecerdasan dan kefasihannya dalam menjelaskan segala sesuatu bisa sangat merepotkan Muawiyah bila tetap memaksakan diri bertemu dengan Husein bin Ali.

Namun bukan juga hal yang mudah menaklukkan ketiga orang lainnya. Ketiganya, baik Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Zubair menolak keras rencana Muawiyah untuk mewariskan tahta khalifah kepada Yazid.

Hingga akhirnya, Muawiyah kembali ke Damaskus tanpa mendapatkan satupun bai’at dari keempat tokoh tersebut. Namun ia sudah berhasil membuat masyarakat Mekkah dan Madinah bersukaria dengan harta-harta yang ditebarkannya secara royal.

Kecerdikan Muawiyah yang seperti inilah yang tidak dimiliki oleh para penerusnya, terutama Yazid. Muawiyah dapat secara bersamaan memuliakan satu penduduk di tempat tertentu, dan menindas tanpa ampun penduduk di tempat lainnya.

Menurut Ath-Thabari, salah satu sosok kunci keberhasilan Muawiyah adalah Ziyad bin Abihi. Ziyad mulanya adalah musuh Muawiyah dan sangat di benci oleh Muawiyah. Ia di sebut “bin Abihi” karena memang tidak jelas siapa ayahnya. Namun kabar yang tersiar, ia adalah anak jadah Abu Sufyan dari hubungan gelapnya dengan seorang budak yang bernama Sumayyah.



Selama bertahun-tahun, Ziyad berpura-pura menjadi pendukung Ali bin Abi Thalib dan mempelajari dengan detail tabiat masyarakat pendukung Ali, seperti di Kufah, Basrah dan sebagian besar Persia. Dan ketika Ziyad menyatakan kesetiaannya kepada Muawiyah, sikap Muawiyah menjadi berubah, dan Ziyad pun akhinya diperkenankan menyandang nama Ziyad bin Abu Sufyan.

Dengan semua modal pengetahuan yang sudah dimilikinya, ia ditugaskan Muawiyah untuk menjadi gubernur Basrah. Dan Ziyad memang tidak mengecewakan. Ia menindak keras semua gejala subversif dalam bentuk apapun kepada kekhalifahan Umayyah. Atas prestasinya ini, ia kemudian dipercayakan untuk mengelola Kufah. Tapi tidak sampai di sana, Ziyad bersama putranya yang bernama Ubaidillah bin Ziyad juga berhasil dalam berbagai ekspedisi penaklukkan ke wilayah Iran hingga Asia Tengah, dan semua ia persembahkan untuk kelangsungan kekuasaan dinasti Umayyah.

Muawiyah bin Abu Sufyan wafat pada tahun 60 H di Damaskus. Ia meninggalkan wilayah kekuasaan yang membentang dari Persia hingga pesisir samudera atlantik yang terkontrol penuh dalam kendalinya.

(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2718 seconds (0.1#10.140)