Syarat Safar yang Bebas dari Perintah Puasa (2)

Jum'at, 24 April 2020 - 03:12 WIB
loading...
Syarat Safar yang Bebas dari Perintah Puasa (2)
Syarat berikutnya yang diajukan oleh para ulama adalah bahwa status safarnya itu bukan safar yang bertujuan untuk mengerjakan kemaksiatan.Ilustrasi/SINDOnews
A A A
MAZHAB Al-Hanafiyah berpendapat jarak perjalanan seseorang dikatakan sebagai musafir minimal adalah jarak perjalanan yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik unta selama tiga hari tiga malam.

Dasarnya adalah semua hadis tentang perjalanan yang selalu disebut adalah perjalanan yang memakan waktu tiga hari. Salah satunya disebutkan tentang kebolehan musafir untuk selalu mengusap khuff-nya selama tiga hari perjalanan.

Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengusap kedua sepatu bila kedua kaki kami dalam keadaan suci selama tiga hari tiga malam (HR. Ahmad Nasa’i Tirmizi)

Kalau kita hitung-hitung, berarti jarak yang dijadikan syarat oleh mazhab ini untuk boleh tidak berpuasa lebih jauh.

Jumhur ulama menetapkan perjalanan dua hari, sedangkan mazhab Al-Hanafiyah menetapkan 3 hari. Sehingga perbandingan jaraknya 1,5 kali lebih jauh dari yang disyaratkan oleh Jumhur ulama. Maka jarak itu adalah 1,5 x 88,704 Km = 132,611 Km

Sedangkan para ulama di kalangan mazhab Al-Hanabilah umumnya tidak menetapkan batas jarak minimal. Dalam pandangan mereka, asalkan disebut sebagai safar, berapa pun jaraknya, maka seseorang sudah boleh untuk berbuka puasa.

Dalil yang mereka kemukakan adalah sebagaimana pendapat Ibnu Qudamah ketika menolak pendapat jumhur ulama dalam masalah jarak minimal. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa Al-Quran hanya menyebutkan musafir itu boleh tidak berpuasa, tanpa menyebutkan jarak minimal perjalanannya.

Selain itu mazhab Al-Hanabilah ini berhujjah bahwa Rasulullah SAW mengqashar salatnya walau pun hanya berjarak 3 farsakh atau 3 mil.

Syarat berikutnya yang diajukan oleh para ulama adalah bahwa status safarnya itu bukan safar yang bertujuan untuk mengerjakan kemaksiatan atau kemungkaran yang dilarang Allah SWT.

Misalnya, safarnya itu melakukan pembegalan di jalan, atau perampokan, penodongan, penipuan atau hal-hal yang lain yang jelas-jelas bertujuan haram. Termasuk safar dengan tujuan untuk bermabuk-mabukan, berzina, atau berjudi.

Sebab kebolehan tidak berpuasa itu sifatnya keringanan yang Allah SWT berikan, namun keringanan itu tidak diberikan kepada mereka yang dalam safarnya bertujuan yang tidak dihalalkan oleh Allah SWT.

Hanya saja, madzhab Al-Hanafiyah tidak mensyaratkan hal ini. Dalam pandangan mereka, maksiat memang haram, tetapi safarnya sendiri tidak haram. ( Baca Juga: Syarat Safar yang Bebas dari Perintah Puasa (1) )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1249 seconds (0.1#10.140)