Marwan Bin Hakam, Pecahan Laknat Allah yang Jadi Khalifah Dinasti Umayyah

Minggu, 27 Februari 2022 - 15:44 WIB
loading...
Marwan Bin Hakam, Pecahan Laknat Allah yang Jadi Khalifah Dinasti Umayyah
Marwan bin Hakam adalah tokoh kontroversial. Ia pernah diusir Nabi dari Madinah, (Foto/Ilustrasi: Ist)
A A A
Marwan bin Al-Hakam dibaiat sebagai Khalifah Dinasti Umayyah dalam Konferensi Al-Jabiyah pada Dzulqa’dah 64 H/Juni 684 M. Nama lengkapnya adalah Marwan bin Al-Hakam bin Abul Ash bin Umayyah bin Abdus Syams bin Abdu Manaf Al-Quraisyi Al-Umawi. Dia sering dipanggil Abu Abdul Malik, Abul Hakam, dan Abul Qasim.

Ia lahir 4 bulan setelah kelahiran Abdullah bin Zubair yang lahir tahun 1 H. Marwan berusia 10 tahun saat SAW wafat.

Marwan sempat membaiat Abdullah bin Zubair sebagai khalifah. Namun setelah dirinya menduduki jabatan yang sama di Damaskus, ia mencabut kembali baiatnya dan berbalik melawan Abdullah bin Zubair.

Marwan bin Hakam hanya berkuasa kurang dari satu tahun. Semasa berkuasa, dia berhasil merebut wilayah Syam dan Mesir dari tangan pendukung Abdullah bin Zubair.

Tampilnya Marwan bin Hakam ke puncak kekuasaan Bani Umayyah menjadi titik balik yang penting dalam sejarah perkembangan dinasti ini selanjutnya. Naiknya Marwan menandai berakhirnya era kepemimpinan trah Abu Sufyan, dan beralih pada trah Hakam bin Abu Al-Ash. Dari Marwanlah nanti Khalifah Dinasti Umayyah terus mewaris hingga mencapai puncak kejayaannya, dan mengalami masa dekadensi yang parah, hingga akhirnya tumbang.



Pohon Terkutuk
Marwan bin Hakam adalah sosok kontroversial. Ayahnya, Hakam bin Abi Ash, terhitung sebagai sahabat Nabi yang masuk Islam setelah Fathu Makkah . Ada riwayat dari Siti Aisyah bahwa Nabi Muhammad telah melaknat Hakam bin Abi Ash dan keturunannya.

Nabi juga mengusir Hakam keluar Madinah karena tingkah lakunya yang menyakitkan Nabi, meski telah masuk Islam. Namun, pada masa Khalifah Utsman , Hakam yang merupakan paman sang khalifah, namanya direhabilitasi dan kembali ke Madinah. Bahkan Khalifah Utsman mengangkat Marwan bin Hakam, sepupunya, sebagai sekretaris.

Nadirsyah Hosen dalam tulisannya berjudul "Khalifah Marwan bin Hakam dan Pohon Terkutuk dalam Qur’an" mencatat tentang perdebatan Marwan dengan Ummul Mu’minim Aisyah binti Abu Bakar . Perdebatan ini menceritakan banyak hal tentang kedudukan Marwan bin Hakam, termasuk juga dinamika politik pada era sahabat. Dari Abdullah, ia berkata:

Aku sedang berada di masjid ketika Marwan berkhutbah. Ia berkata: "Sesungguhnya Allah SWT telah memberi kepada Amirul Mukminin, Muawiyah, pandangan yang baik tentang Yazid. Ia ingin mengangkatnya sebagai khalifah sebagaimana Abu Bakar dan Umar pernah melakukannya."

Berkata Abdurrahman bin Abu Bakar: "Sungguh, Abu Bakar, demi Allah, tidak menyerahkannya kepada anaknya atau salah seorang di antara keluarganya. Sedangkan Muawiyah melakukannya karena sayang dan ingin memberikan anugrah kepada anaknya.”

Marwan yang tidak suka dengan reaksi tersebut berkata kepada Abdurrahman: "Bukankah kamu yang dimaksud al-Quran sebagai “orang yang berkata kepada orangtuanya ‘cis bagi kalian’ (QS Al-Ahqaf: 17)”.

Abdurrahman membalas berkata: “Bukankah kamu anak orang terkutuk. Rasulullah SAW melaknat bapakmu.”



Siti Aisyah yang mendengar perdebatan Marwan dan Abdurrahman bin Abu Bakar (saudara lelakinya Aisyah) berkata: “Hai Marwan. Demi Allah, ayat itu tidak turun kepada Abdurrahman. Tapi ayat yang ini justru turun untuk ayahmu: 'Janganlah kamu menaati setiap tukang sumpah (palsu) yang hina, yang banyak mencela, yang ke sana kemari menyebar fitnah, yang melarang perbuatan baik, melampaui batas dan banyak berbuat dosa'.” (Al-Qalam 10-12).

Siti Aisyah melanjutkan, “Rasulullah SAW pernah melaknat ayah Marwan ketika Marwan berada dalam sulbinya. Engkau adalah pecahan laknat Allah”.

Sebagaimana dikatakan oleh Nadirsyah Hosen, kisah di atas cukup terkenal. Sejumlah kitab tafsir dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah menceritakan kisah tersebut dengan berbagai redaksi, seperti Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Razi, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Durr al-Mantsur.



Ibnu Sa’ad dalam At-Thabaqat menggolongkan Marwan sebagai tabi’in angkatan pertama.

Marwan meriwayatkan hadits dari Rasulullah tentang perjanjian Hudaibiyah. Ia juga meriwayatkan hadits dari sejumlah sahabat senior (Umar, Utsman, Ali, Zaid, dan Busairah). Sejumlah tabi’in meriwayatkan hadits darinya: Abdul Malik, Sahl bin Sa’ad, Sa’ad bin Musayyab, Urwah bin Az-Zubair, Ali bin Al-Husain, Mujahid, dan sebagainya.

Marwan disebut sebagai pemimpin pemuda Quraisy. Pasca pertempuran Jamal, Ali bin Abi Thalib bertanya tentang kabar Marwan yang bergabung dengan pasukan Jamal, “Sungguh aku merasa kasihan kepadanya. Ia adalah salah satu pemimpin pemuda Quraisy.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 8: 257; Siyar A’lam An-Nubala, 3: 477)

Ad-Dzahabi berkata: “Ia (Marwan) adalah orang yang ksatria, pemberani, cerdik, dan cerdas.”

As-Syafi’i meriwayatkan bahwa Al-Hasan dan Al-Husain pernah sholat di belakang Marwan ketika Marwan menjabat Walikota Madinah.

Marwan pernah menjadi Sekretaris Utsman bin Affan, bergabung dengan Pasukan Jamal, berbaiat kepada Ali dan tidak terlibat pertempuran Shiffin bersama Muawiyah.

Pada masa kekhalifahan Muawiyah, Marwan beberapa kali menjabat menjadi walikota Madinah bergantian dengan Sa’id Al-Ash.

Ia yang pertama kali menyatukan ukuran standar sha’, yang kemudian dikenal dengan sha’ Marwan (1 sha adalah 4 mud, kl 3 kg).



Politik Marwan
Marwan bin Hakam bukanlah sosok baru dalam catur perpolitikan kala itu. Sebelumnya, ia pernah menjabat penasihat Khalifah Utsman bin Affan. Pengaruhnya tidak kecil terhadap kebijakan pemerintahan. Tak sedikit kebijakan yang ditelurkan Khalifah Utsman kental aroma kekeluargaan. Beberapa gubernur kala itu banyak yang diganti dengan orang-orang dari pihak keluarga Umayyah. Misalnya, jabatan gubernur di Mesir yang dipegang oleh Amr bin Ash, diganti oleh Abdullah bin Sa’ad.

Abu Ubaidah bin Jarrah yang berhasil menaklukkan wilayah Syria dan Palestina dari tangan Romawi, jabatannya digantikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Sa’ad bin Abi Waqqash yang berhasil menaklukkan wilayah Irak dan Iran dari tangan Persia, jabatannya digantikan oleh Ziyad bin Abihi. Begitu pun dengan beberapa wilayah lain. Sebagian besar para pemimpinnya diganti dengan orang-orang dari pihak keluarga Umayyah. Kebijakan ini tak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh Marwan bin Hakam, mengingat kondisi Khalifah Utsman yang sudah lanjut usia kala itu.

Kebijakan yang tidak terjadi sebelumnya itu, melahirkan berbagai ketidakpuasan. Gejolak muncul di beberapa tempat. Puncaknya, Khalifah Utsman terbunuh. Marwan bin Hakam melarikan diri ke Damaskus dengan membawa pakaian Utsman yang berlumuran darah. Lantaran merasa tidak puas dengan kebijakan Khalifah Ali yang tidak segera mengusut pembunuh Utsman, menyebabkan semakin keruhnya suasana.

Terjadilah Perang Shiffin antara Khalifah Ali dan Muawiyah. Dari sana lahir kelompok Khawarij, yang merasa tak puas dengan kedua belah pihak, serta berniat membunuh Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash yang dianggap sebagai penyebab segala kekeruhan.

Khalifah Ali terbunuh. Hasan bin Ali yang hanya menjabat Khalifah selama beberapa bulan, menyerahkan jabatannya kepada Muawiyah. Pada masa inilah, Marwan diserahi jabatan gubernur untuk wilayah Hijaz yang berkedudukan di Madinah. Begitu penduduk Madinah menyatakan dukungan kepada Abdullah bin Zubair, Marwan melarikan diri ke Damaskus.



Dengan demikian, sosok Marwan bin Hakam tidak begitu diterima oleh para sahabat dan tabiin kala itu. Bahkan beberapa ahli sejarah seperti Adz-Dzahabi seperti dikutip Suyuthi dalam Tarikhul Khulafa’-nya tidak memasukkan Marwan sebagai khalifah.

Pertentangan antara pihak Abdullah bin Zubair dan Marwan bin Hakam mencapai puncaknya pada Perang Marju Rahith yang terjadi pada 65 H. Pada peperangan ini pasukann Abdullah bin Zubair mengalami kekalahan cukup telak. Penduduk wilayah Mesir dan Libya yang semula berpihak padanya, mengangkat baiat atas Marwan. Namun wilayah Hijaz, Irak dan Iran tetap tunduk kepada Abdullah bin Zubair.

Dengan demikian, pada masa itu wilayah Islam terpecah menjadi dua khilafah. Daerah Hijaz dan sekitarnya termasuk Makkah dan Madinah tunduk kepada Abdullah bin Zubair. Sedangkan wilayah Syria berada dalam kekuasaan Marwan bin Hakam.

Untuk mengukuhkan jabatan khilafahnya itu, Marwan bin Hakam yang sudah berusia 63 tahun itu mengawini Ummu Khalid, janda Yazid bin Muawiyah. Perkawinan yang tidak seimbang itu sangat kental aroma politik. Dengan mengawini janda Yazid, Marwan bermaksud menyingkirkan Khalid, putra termuda Yazid dari tuntutan khilafah.

Dalam suatu kesempatan, Marwan sempat memberikan ejekan kepada Khalid dan ibunya. Akibatnya fatal, Ummu Khalid menaruh dendam yang luar biasa. Pada suatu kesempatan, ketika Marwan mendatanginya, bersama para dayang, Ummu Khalid mencekik Marwan beramai-ramai. Marwan meninggal pada usia 63 tahun. Ia hanya menjabat sebagai khalifah selama 9 bulan 18 hari. Masa pemerintahannya tak membawa banyak perubahan bagi sejarah Islam.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1600 seconds (0.1#10.140)