Politik Dinasti Umayyah: Ketika Umar bin Abdul Aziz Dipecat sebagai Gubernur Madinah

Jum'at, 04 Maret 2022 - 17:21 WIB
loading...
Politik Dinasti Umayyah: Ketika Umar bin Abdul Aziz Dipecat sebagai Gubernur Madinah
Jabatan Umar bin Abdul Aziz sebagai Gubernur Madinah relatif pendek karena dianggap kurang keras terhadap pendukung Ali bin Abi Thalib. (ilustrasi: Ist)
A A A
Umar bin Abdul Aziz adalah sepupu dari Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik . Ayahnya adalah Abdul Aziz, adik dari Abdul Malik bin Marwan. Seyogyanya, pengganti Abdul Malik adalah Abdul Aziz. Tapi karena Abdul Aziz keburu wafat, maka kedudukan tersebut diwariskan kepada Al-Walid.



Umar bin Abdul Aziz terkenal sebagai bangsawan yang saleh. Ia menjabat sebagai Gubernur Madinah pada tahun 87 H, atau setahun setelah Al-Walid dinobatkan sebagai khalifah. Ketika itu usianya 25 tahun. Menurut riwayat Waqidi yang dikutip Ath-Thabari, Umar bin Abdul Aziz lahir pada tahun 62 H atau bertepatan dengan tahun 681/682M.

Ia datang bersama caravan yang berisi 30 unta, dan berhenti di Dar Marwan. Ketika mendengar penduduk Madinah mendengar kedatangannya, mereka langsung berdatangan menyambutnya.

Kemudian ia memanggil 10 orang berpengaruh untuk menduduki posisi sebagai dewan syuro di Madinah. Kesepuluh orang tersebut antara lain; ‘Urwah bin al-Zubayr, ‘Ubaydallah bin ‘Abdallah bin ‘Utbah, Abu Bakr bin ‘Abd al-Rahman, Abu Bakr bin Sulayman bin Abi Hathmah, Sulayman bin Yasar, al-Qasim bin Muhammad, Salim bin ‘Abdallah bin ‘Umar, ‘Abdallah bin ‘Abdallah bin ‘Umar, ‘Abdallah bin ‘Amin bin Rabi’ah, and Kharijah bin Zayd.

Maka hadirlah kesepuluh orang tersebut di hadapan Umar bin Abdul Aziz. Setelah Umar mempersilakan mereka duduk, ia lalu berpidato, setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT, ia berkata:

”Aku memanggil kalian untuk sesuatu yang kalian akan mendapatkan perhargaan atasnya, yaitu kalian akan membantu untuk memutuskan apa yang benar."

"Aku tidak akan membuat satupun keputusan tanpa meminta pendapat kalian, atau setidaknya pendapat tersebut yang akan digunakan. Apabila kalian melihat ada yang melampaui batas, atau melihat sebuah ketidakadilan dalam pemerintahanku yang sampai pada kalian, aku mohon kalian melaporkannya kepadaku.”

Mendengar ini mereka menjawab, “semoga Allah memberimu kebaikan”, dan mereka semua bubar.



Penduduk Madinah merasakan perbedaan yang positif sejak dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz. Mereka mengirimkan surat kepada Khalifah Al-Walid yang isinya ucapan teriman kasih karena khalifah sudah menunjuk Umar menjadi gubernur di Madinah.

Sejak dipimpin oleh Umar, Madinah menjadi tempat yang layak dikunjungi. Ia merenovasi Masjid Nabawi dan memuliakan ummul mukminin dengan merenovasi juga rumah-rumah mereka. Dan salah satu yang cukup monumental, adalah perlakuannya kepada kelompok Syiah, atau pengikut Ali bin Abi Thalib.

Selama turun temurun, para pemimpin dinasti Umayyah memperlakukan kelompok Syiah sangat diskriminatif. Baru di bawah kepemimpinan Umar lah kelompok ini diperlakukan secara baik dan tanpa deskriminasi. Tapi sayangnya, karena sikapnya yang seperti ini, usia jabatannya hanya berlangsung 4 tahun, setelah itu kedudukkan dicopot oleh Al-Walid.

Cerita tentang mencopotan kedudukan Umar bin Abdul Aziz sebagai gubernur Madinah ini bermula ketika begitu banyak kelompok Syiah dari Irak datang mengungsi ke kota Madinah.

Di Irak, mereka diperlakukan dengan keras oleh pemimpin setempat yakni Hajjaj bin Yusuf. Maka ketika mendengar munculnya seorang gubernur yang adil di Madinah mereka memohon perlindungan ke sana.

Mendengar keluhan mereka, Umar bin Abdul Aziz akhirnya menulis surat kepada Khalifah Al-Walid. Ia menginformasikan semua perbuatan Hajjaj kepada kelompok ini. Tapi isi surat itu bocor dan diketahui oleh Hajjaj bin Yusuf. Iapun akhirnya menulis surat yang sejenis kepada Al-Walid.

Ia mengatakan dalam suratnya bahwa, perlakuan kerasnya kepada kelompok Syiah tersebut semata-mata untuk mengamankan posisi dan legitimasi dinasti Umayyah. Justru sebaliknya, Hajjaj berbalik mengecam sikap Umar yang dinilainya terlalu lunak kepada kelompok tersebut. Sikap Umar tersebut menurut Hajjaj bisa melemahkan posisi dinasti Umayyah.

Dalam hal ini, Umar bin Abdul Aziz memang salah langkah. Bagaimanapun, Hajjaj bin Yusuf memang memiliki posisi tersendiri bagi Al-Walid. Ia tidak bisa menegasikan peran sentral Hajjaj dalam mengokohkan pondasi kekuasaan dinasti Umayyah. Maka setelah membaca surat dari Hajjaj, Al Walid membalas surat tersebut dengan berkata, “ajukan aku beberapa nama”, kemudian Hajjaj mengajukan dua nama, ‘Uthman bin Hayyan dan Khalid bin ‘Abdullah.



Setelah mendapatkan rekomendasi nama dari Hajjaj, maka Umar pun langsung dicopot. Al-Walid kemudian menunjuk ‘Uthman bin Hayyan sebagai Gubernur Mekkah, dan Khalid bin ‘Abdullah menjadi gubernur Madinah.

Tapi bagaimanapun kuatnya, Hajjaj bin Yusuf hanya seorang abdi. Dalam skema perebutan kekuasan Khalifah, ia tidak berdaya. Sebagaimana sudah diamanatkan oleh Abdul Malik, bahwa khalifah pengganti Al Walid adalah Sulaiman bin Abdul Malik.

Hubungan Sulaiman dengan Hajjaj tidaklah baik. Maka ketika Hajjaj mendengar kabar bahwa Al-Walid menderita sakit, ia langsung berdoa agar ia lebih baik diwafatkan sebelum Sulaiman naik takhta. Dan doanya terkabul. Dia wafat hanya beberapa bulan sebelum Sulaiman naik takhta.

Terkait dengan naiknya Sulaiman bin Abdul Malik, sebagaimana juga yang terjadi pada masa Abdul Malik dan Abdul Aziz, Al Walid juga sebenarnya sempat berusaha menggeser posisi Sulaiman dari posisi putra mahkota dan menggantinya dengan Abdul Aziz bin Al Walid, putra tertuanya.



Beberapa upaya sudah dilakukan oleh Al-Walid, tapi Sulaiman adalah orang yang cerdik. Ia selalu bisa menghindar sebelum ia tidak mampu menolak.

Sebelum wafat, Al-Walid berencana memanggil Sulaiman ke Damaskus, untuk kemudian mencopot kedudukannya sebagai putra mahkota setelahnya. Ketika dipanggil oleh Al-Walid, Sulaiman sengaja menunda-nunda waktu, dan akhirnya ikhtiarnya tercapai.

Al-Walid wafat pada tahun 96 H, sebelum Sulaiman sempat menghadapnya. Maka naiklah Sulaiman bin Abdul Malik menjadi Khalifah setelah Al Walid.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Nadirsyah Hosen dalam salah satu artikelnya terkait kisah ini, “Kekuasaan memang meninabobokan, bahkan sesama saudara pun berebutan bila sudah bicara soal kekuasaan. Begitulah yang terjadi dalam buku-buku sejarah.”

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1124 seconds (0.1#10.140)