Surat Al-Jumu’ah Ayat 9, Dalil Perintah Sholat Jumat
loading...
A
A
A
Hari Jumat adalah hari yang mulia. Di antara tujuh hari dalam sepekan, dialah yang teragung. Nyaris semua ulama menyepakati hal ini, kalau tidak untuk dikatakan semuanya.
Syekh Abu Bakr Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi (1300 H) mengatakan, pada hari inilah Allah Taala membebaskan 600.000 hamba-Nya dari api neraka, juga Allah mencatat pahala sebagai syahid, lagi tak tersentuh api neraka bagi kaum muslimin yang mati di hari itu.
Keutamaan lainnya—yang dikutip Syekh Syatha ad-Dimyathi dalam Hasyiah I’anah at-Thalibin (juz 2, hal. 89)—disampaikan Sayyid al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad (1044-1132 H), di antaranya, Allah SWT menciptakan sang abul basyar Nabi Adam ‘alaihissalam di hari Jumat, di hari ini juga Allah mengizinkan para penduduk surga kelak menemui-Nya.
Saking mulianya, sampai-sampai sekalian malaikat menamainya ‘yaumul mazid’ (hari reward besar-besaran). Sebab, di waktu itulah Allah membuka sekian banyak pintu kasih-sayang, curahan karunia, dan bentangan kebaikan-Nya.
Menariknya, di hari yang teramat mulia ini, umat Islam diperintahkan untuk melakukan sembahyang secara berjamaah yang kemudian kita kenal dengan sholat Jumat. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jika (kalian) dipanggil untuk melaksanakan sholat di hari Jumat, maka bersegeralah untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya.” ( QS Al-Jumu’ah [62] : 9)
Ayat tersebut merupakan satu-satunya ayat yang menyebutkan kata al-jumu’ah dalam Al-Quran. Melalui ayat itu, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk melaksanakan sholat Jumat sebagai bentuk zikir kepada-Nya. Mereka diperintah melalui lafal fas’au untuk bersegera melaksanakannya.
Dalam Rawa’i’ul Bayan, ‘Ali As-Shabuni mengutip pendapat Pakar Bahasa, yakni Al-Farra’ bahwa as-sa’yu (asal dari fas’au) bukan berarti tergesa-gesa dengan berlarian. Melainkan bergegas melaksanakan sholat dengan sungguh-sungguh dan semangat. Ini sesuai dengan sabda Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah:
اِذَا سَمِعْتُمْ الإِقَامَةَ فَامْشُوا اِلىَ الصَّلاَةِ، وَعَلَيْكُمْ السَّكِيْنَةُ وَالْوَقَارُ، وَلَا تُسْرِعُوا، فَمَا اَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا رواه البخاري
“Jika kalian mendengar iqamah, maka jalanlah menuju ke sana. Dan wajib bagi kalian untuk tetap tenang dan anggun, dan janganlah kalian tergesa-gesa. Maka, jika kalian mendapati (sholat masih dilaksanakan), segeralah sholat. Jika kalian ketinggalan, maka sempurnakanlah.” ( HR Al-Buhkari )
Dipilihnya Hari Jumat
Pada mulanya, Hari Jumat yang kita kenal sekarang bernama ‘Arubah. Dulu, Hari ‘Arubah dijadikan kebiasaan oleh masyarakat Arab untuk memamerkan segala yang mereka miliki, seperti hasil dagangan, syair, sihir, dan lainnya. Kemudian, saat Islam datang, nama-nama hari yang digunakan pada masa jahiliyah mengalami perubahan.
Orang yang pertama kali mengubahnya menjadi Jumat adalah Ka’ab bin Luay. Sebelum kedatangan Nabi ke Madinah, penduduk di sana berkumpul dan membahas perihal Ahli Kitab yang memiliki hari tertentu sebagai waktu berkumpul. Lalu mereka bersepakat menjadikan Hari ‘Arubah sebagai hari berkumpulnya umat Islam untuk beribadah dan mengganti nama ‘Arubah menjadi Jumat.
Ada tiga versi cara membaca kata jumat dalam bahasa Arab, yaitu jumu’ah, jum’ah, dan juma’ah. Namun, penyebutan yang populer adalah jumu’ah. Menurut Al-Farra’, ketiga bacaan tersebut merupakan sifat hari, artinya berkumpulnya manusia.
Demikian pula mengenai asal penamaan kata Jumat, ada banyak pendapat. Pendapat yang lebih sahih, seperti yang tertera dalam riwayat Imam Ahmad bahwa Allah menghimpun penciptaan Nabi Adam as pada hari itu.
Tinggalkan Aktivitas Dagang
Selanjutnya, pada ayat di atas, Allah juga mengingatkan hamba-Nya agar meninggalkan aktivitas jual beli saat panggilan salat dikumandangkan. Hal ini karena saat hari mulai siang, orang-orang Islam masih terbawa kebiasaan penduduk Arab sebelumnya yang melakukan aktivitas seperti berdagang. Sehingga, Allah mengajak mereka untuk bersegera dalam aktivitas transaksi akhirat dan meninggalkan transaksi dunia sampai salat selesai dilaksanakan.
As-Shabuni menyebutkan, larangan ini tidak hanya berlaku untuk jual beli, tetapi berlaku juga untuk aktivitas muamalah yang lain, seperti sewa-menyewa, pinjaman, pesanan, dan lainnya.
Ada beberapa hikmah yang perlu kita tahu di balik pensyariatan sholat Jum’at.
Pertama, memperkuat silaturahim serta penyatuan visi dan misi umat. Hal ini bisa dilihat dari larangan berbicara bagi jamaah ketika khatib telah membacakan khutbahnya. Mereka juga bersama-sama mendengarkan pesan-pesan yang disampaikan dalam khutbah yang memotivasi diri dalam meningkatkan keimanan dan ketaqwaan.
Kedua, pengingat diri akan pentingnya sungguh-sungguh dan semangat menuju Allah Sang Pemberi Rezeki. Dengan demikian, rezeki itu akan dicurahkan pada kita tanpa harus melalaikan ibadah kepada-Nya.
Syekh Abu Bakr Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi (1300 H) mengatakan, pada hari inilah Allah Taala membebaskan 600.000 hamba-Nya dari api neraka, juga Allah mencatat pahala sebagai syahid, lagi tak tersentuh api neraka bagi kaum muslimin yang mati di hari itu.
Keutamaan lainnya—yang dikutip Syekh Syatha ad-Dimyathi dalam Hasyiah I’anah at-Thalibin (juz 2, hal. 89)—disampaikan Sayyid al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad (1044-1132 H), di antaranya, Allah SWT menciptakan sang abul basyar Nabi Adam ‘alaihissalam di hari Jumat, di hari ini juga Allah mengizinkan para penduduk surga kelak menemui-Nya.
Saking mulianya, sampai-sampai sekalian malaikat menamainya ‘yaumul mazid’ (hari reward besar-besaran). Sebab, di waktu itulah Allah membuka sekian banyak pintu kasih-sayang, curahan karunia, dan bentangan kebaikan-Nya.
Menariknya, di hari yang teramat mulia ini, umat Islam diperintahkan untuk melakukan sembahyang secara berjamaah yang kemudian kita kenal dengan sholat Jumat. Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika (kalian) dipanggil untuk melaksanakan sholat di hari Jumat, maka bersegeralah untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya.” ( QS Al-Jumu’ah [62] : 9)
Ayat tersebut merupakan satu-satunya ayat yang menyebutkan kata al-jumu’ah dalam Al-Quran. Melalui ayat itu, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk melaksanakan sholat Jumat sebagai bentuk zikir kepada-Nya. Mereka diperintah melalui lafal fas’au untuk bersegera melaksanakannya.
Dalam Rawa’i’ul Bayan, ‘Ali As-Shabuni mengutip pendapat Pakar Bahasa, yakni Al-Farra’ bahwa as-sa’yu (asal dari fas’au) bukan berarti tergesa-gesa dengan berlarian. Melainkan bergegas melaksanakan sholat dengan sungguh-sungguh dan semangat. Ini sesuai dengan sabda Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah:
اِذَا سَمِعْتُمْ الإِقَامَةَ فَامْشُوا اِلىَ الصَّلاَةِ، وَعَلَيْكُمْ السَّكِيْنَةُ وَالْوَقَارُ، وَلَا تُسْرِعُوا، فَمَا اَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا رواه البخاري
“Jika kalian mendengar iqamah, maka jalanlah menuju ke sana. Dan wajib bagi kalian untuk tetap tenang dan anggun, dan janganlah kalian tergesa-gesa. Maka, jika kalian mendapati (sholat masih dilaksanakan), segeralah sholat. Jika kalian ketinggalan, maka sempurnakanlah.” ( HR Al-Buhkari )
Dipilihnya Hari Jumat
Pada mulanya, Hari Jumat yang kita kenal sekarang bernama ‘Arubah. Dulu, Hari ‘Arubah dijadikan kebiasaan oleh masyarakat Arab untuk memamerkan segala yang mereka miliki, seperti hasil dagangan, syair, sihir, dan lainnya. Kemudian, saat Islam datang, nama-nama hari yang digunakan pada masa jahiliyah mengalami perubahan.
Orang yang pertama kali mengubahnya menjadi Jumat adalah Ka’ab bin Luay. Sebelum kedatangan Nabi ke Madinah, penduduk di sana berkumpul dan membahas perihal Ahli Kitab yang memiliki hari tertentu sebagai waktu berkumpul. Lalu mereka bersepakat menjadikan Hari ‘Arubah sebagai hari berkumpulnya umat Islam untuk beribadah dan mengganti nama ‘Arubah menjadi Jumat.
Ada tiga versi cara membaca kata jumat dalam bahasa Arab, yaitu jumu’ah, jum’ah, dan juma’ah. Namun, penyebutan yang populer adalah jumu’ah. Menurut Al-Farra’, ketiga bacaan tersebut merupakan sifat hari, artinya berkumpulnya manusia.
Demikian pula mengenai asal penamaan kata Jumat, ada banyak pendapat. Pendapat yang lebih sahih, seperti yang tertera dalam riwayat Imam Ahmad bahwa Allah menghimpun penciptaan Nabi Adam as pada hari itu.
Tinggalkan Aktivitas Dagang
Selanjutnya, pada ayat di atas, Allah juga mengingatkan hamba-Nya agar meninggalkan aktivitas jual beli saat panggilan salat dikumandangkan. Hal ini karena saat hari mulai siang, orang-orang Islam masih terbawa kebiasaan penduduk Arab sebelumnya yang melakukan aktivitas seperti berdagang. Sehingga, Allah mengajak mereka untuk bersegera dalam aktivitas transaksi akhirat dan meninggalkan transaksi dunia sampai salat selesai dilaksanakan.
As-Shabuni menyebutkan, larangan ini tidak hanya berlaku untuk jual beli, tetapi berlaku juga untuk aktivitas muamalah yang lain, seperti sewa-menyewa, pinjaman, pesanan, dan lainnya.
Baca Juga
Ada beberapa hikmah yang perlu kita tahu di balik pensyariatan sholat Jum’at.
Pertama, memperkuat silaturahim serta penyatuan visi dan misi umat. Hal ini bisa dilihat dari larangan berbicara bagi jamaah ketika khatib telah membacakan khutbahnya. Mereka juga bersama-sama mendengarkan pesan-pesan yang disampaikan dalam khutbah yang memotivasi diri dalam meningkatkan keimanan dan ketaqwaan.
Kedua, pengingat diri akan pentingnya sungguh-sungguh dan semangat menuju Allah Sang Pemberi Rezeki. Dengan demikian, rezeki itu akan dicurahkan pada kita tanpa harus melalaikan ibadah kepada-Nya.
(mhy)