Surah Maryam Ayat 26: Kisah Maryam Berpuasa Bicara
loading...
A
A
A
Dalam Al-Qur’an , puasa disebutkan dengan dua istilah, yakni shiyam dan shaum. Meskipun keduanya berasal dari akar kata yang sama, namun terdapat perbedaan.
Istilah pertama merujuk pada menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seks demi karena Allah sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Sedangkan shaum bermakna menahan diri tidak mengucapkan sesuatu sebagaimana Maryam berpuasa bicara.
Kisah Maryam berpuasa bicara Allah SWT ceritakan dalam surah Maryam [19] ayat 26 yang berbunyi:
“Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (QS Maryam [19] ayat 26).
Laman Tafsir Al-Quran mengutip Tafsir al-Sa’adi menyebutkan, secara umum, surah Maryam [19] ayat 26 berbicara mengenai kitab Allah SWT kepada Maryam agar ia makan, minum dan berbahagia di tengah carut-marut persoalan kehamilannya yang dipertanyakan oleh Bani Israil.
Ia diperintahkan untuk tidak berbicara sepatah kata apa pun terkait permasalahan tersebut dan dengan sabar menanti datangnya kebenaran.
Kehebohan bani Israil berkenaan kehamilan Maryam adalah hal yang wajar. Sebab ia dikenal sebagai sosok yang mulia dan tidak pernah disentuh laki-laki mana pun.
Ibnu Katsir menuturkan dalam Qashash al-Anbiya’, Maryam memusatkan seluruh perhatiannya untuk beribadah di Masjid. Ia hanya akan keluar ketika masa haid atau ada keperluan mendesak seperti mengambil air atau mendapatkan makanan.
Kebingungan tersebut juga dialami oleh orang-orang terdekat Maryam. Misalnya, Yusuf bin Ya’kub – sepupu Maryam dan orang pertama yang menyadari kehamilannya – terkejut ketika melihat tanda-tanda kehamilan Maryam. Ia merasa bingung dengan kejadian yang dilihatnya, sebab ia yakin bahwa Maryam adalah perempuan mulia dan jauh dari berbagai perbuatan dosa.
Menurut Ibnu Katsir, untuk menghilangkan kebingungannya tersebut, Yusuf kemudian mendatangi Maryam dan bertanya kepadanya, “Wahai Maryam, mungkinkah ada tumbuhan tanpa adanya biji?” (sebuah kiasan mengenai kehamilan Maryam). Maryam lalu menjawab, “Ya. Allah SWT telah menciptakan Adam tanpa adanya laki-laki dan perempuan.”
Yusuf berkata, “Kalau begitu ceritakanlah tentang kondisimu kepadaku.”
Maryam lantas menceritakan kondisinya yang sesungguhnya, bahwa ia telah mengandung seorang anak yang Allah SWT anugerahkan tidak melalui perkawinan antara laki-laki secara biologis, tetapi ditiupkan langsung ke dalam rahimnya atas izin-Nya. Ia juga diberitahu bahwa anak itu kelak akan menjadi seorang nabi dan rasul Allah SWT.
Jawaban Maryam ini diceritakan Allah SWT dalam surah Ali Imran [3] ayat 45-46 yang bermakna:
“(Ingatlah), ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya (yaitu seorang putra), namanya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia (sewaktu) dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk di antara orang-orang saleh.”
Kendati Yusuf percaya dengan apa yang disampaikan Maryam, namun mayoritas bani Israil tidak mempercayainya. Sebagian orang – dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang zindik – bahkan menuduhnya telah berbuat zina dengan Yusuf yang sering beribadah di Masjid. Tuduhan semacam ini masif dilancarkan kepada Maryam di masa kehamilannya.
Di tengah-tengah kehamilannya, Maryam kemudian menyisihkan diri dari hiruk-pikuk keramaian dan pergi ke tempat yang jauh. Meskipun ia merasakan tekanan mental yang cukup tinggi karena tuduhan bani Israil terhadapnya terkait kehamilannya, namun ia menjalani semua itu dengan penuh kesabaran dan keyakinan terhadap Allah SWT.
Tatkala waktu melahirkan sudah dekat, rasa sakit menjelang melahirkan membuat Maryam menuju ke bawah pohon kurma dan ia bersandar di bawahnya. Rasa sakit itu teramat mendalam, Maryam bahkan dikisahkan berkata, “Wahai betapa baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.”
Ketika itu, “Maka dia Jibril berseru kepadanya dari tempat yang rendah. Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.”
Jibril menyampaikan pesan dari Allah SWT agar Maryam jangan bersedih hati bersusah pikiran, karena Allah telah menyediakan air yaitu sebuah anak sungai yang kecil dan airnya jernih.
Setelah melahirkan (pasca nifas), Maryam kemudian kembali kepada kaumnya. Namun sebelum itu, Allah telah mengilhamkan kepadanya agar berpuasa bicara dan tidak berbicara kepada seorang manusia pun. Menurut Qatadah dan as-Suddi, puasa berbicara ini merupakan salah satu syariat puasa zaman itu dan sudah lumrah bagi kalangan bani Israil.
Ketika Bani Israil ingin bertanya mengenai kondisinya dan anaknya, Maryam memberikan isyarat tangan bahwa ia sedang berpuasa bicara sehingga tidak mungkin menjawab segala pertanyaan dan tuduhan yang dilancarkan kepadanya. Ia juga menunjuk ke arah bayinya yang berada dalam pelukan sebagai isyarat “jika ingin bertanya silakan tanyakan padanya secara langsung.”
Melihat isyarat Maryam yang berpuasa bicara, sebagian masyarakat Israil menjadi marah, sebab hal itu seakan-akan menghina mereka. Salah seorang di antara mereka berkata, “bagaimana mungkin kami akan berbicara kepada anak kecil yang masih dalam ayunan?”
Saat itu juga, atas izin Allah swt, sang bayi ( nabi Isa ) menjawab dan menjelaskan siapa dirinya sekaligus membersihkan nama Maryam dari berbagai tuduhan keji.
Istilah pertama merujuk pada menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seks demi karena Allah sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Sedangkan shaum bermakna menahan diri tidak mengucapkan sesuatu sebagaimana Maryam berpuasa bicara.
Kisah Maryam berpuasa bicara Allah SWT ceritakan dalam surah Maryam [19] ayat 26 yang berbunyi:
فَكُلِيْ وَاشْرَبِيْ وَقَرِّيْ عَيْنًا ۚفَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّا ۚ
٢٦“Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (QS Maryam [19] ayat 26).
Laman Tafsir Al-Quran mengutip Tafsir al-Sa’adi menyebutkan, secara umum, surah Maryam [19] ayat 26 berbicara mengenai kitab Allah SWT kepada Maryam agar ia makan, minum dan berbahagia di tengah carut-marut persoalan kehamilannya yang dipertanyakan oleh Bani Israil.
Ia diperintahkan untuk tidak berbicara sepatah kata apa pun terkait permasalahan tersebut dan dengan sabar menanti datangnya kebenaran.
Kehebohan bani Israil berkenaan kehamilan Maryam adalah hal yang wajar. Sebab ia dikenal sebagai sosok yang mulia dan tidak pernah disentuh laki-laki mana pun.
Ibnu Katsir menuturkan dalam Qashash al-Anbiya’, Maryam memusatkan seluruh perhatiannya untuk beribadah di Masjid. Ia hanya akan keluar ketika masa haid atau ada keperluan mendesak seperti mengambil air atau mendapatkan makanan.
Kebingungan tersebut juga dialami oleh orang-orang terdekat Maryam. Misalnya, Yusuf bin Ya’kub – sepupu Maryam dan orang pertama yang menyadari kehamilannya – terkejut ketika melihat tanda-tanda kehamilan Maryam. Ia merasa bingung dengan kejadian yang dilihatnya, sebab ia yakin bahwa Maryam adalah perempuan mulia dan jauh dari berbagai perbuatan dosa.
Menurut Ibnu Katsir, untuk menghilangkan kebingungannya tersebut, Yusuf kemudian mendatangi Maryam dan bertanya kepadanya, “Wahai Maryam, mungkinkah ada tumbuhan tanpa adanya biji?” (sebuah kiasan mengenai kehamilan Maryam). Maryam lalu menjawab, “Ya. Allah SWT telah menciptakan Adam tanpa adanya laki-laki dan perempuan.”
Yusuf berkata, “Kalau begitu ceritakanlah tentang kondisimu kepadaku.”
Maryam lantas menceritakan kondisinya yang sesungguhnya, bahwa ia telah mengandung seorang anak yang Allah SWT anugerahkan tidak melalui perkawinan antara laki-laki secara biologis, tetapi ditiupkan langsung ke dalam rahimnya atas izin-Nya. Ia juga diberitahu bahwa anak itu kelak akan menjadi seorang nabi dan rasul Allah SWT.
Jawaban Maryam ini diceritakan Allah SWT dalam surah Ali Imran [3] ayat 45-46 yang bermakna:
“(Ingatlah), ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya (yaitu seorang putra), namanya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia (sewaktu) dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk di antara orang-orang saleh.”
Kendati Yusuf percaya dengan apa yang disampaikan Maryam, namun mayoritas bani Israil tidak mempercayainya. Sebagian orang – dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang zindik – bahkan menuduhnya telah berbuat zina dengan Yusuf yang sering beribadah di Masjid. Tuduhan semacam ini masif dilancarkan kepada Maryam di masa kehamilannya.
Di tengah-tengah kehamilannya, Maryam kemudian menyisihkan diri dari hiruk-pikuk keramaian dan pergi ke tempat yang jauh. Meskipun ia merasakan tekanan mental yang cukup tinggi karena tuduhan bani Israil terhadapnya terkait kehamilannya, namun ia menjalani semua itu dengan penuh kesabaran dan keyakinan terhadap Allah SWT.
Tatkala waktu melahirkan sudah dekat, rasa sakit menjelang melahirkan membuat Maryam menuju ke bawah pohon kurma dan ia bersandar di bawahnya. Rasa sakit itu teramat mendalam, Maryam bahkan dikisahkan berkata, “Wahai betapa baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.”
Ketika itu, “Maka dia Jibril berseru kepadanya dari tempat yang rendah. Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.”
Jibril menyampaikan pesan dari Allah SWT agar Maryam jangan bersedih hati bersusah pikiran, karena Allah telah menyediakan air yaitu sebuah anak sungai yang kecil dan airnya jernih.
Setelah melahirkan (pasca nifas), Maryam kemudian kembali kepada kaumnya. Namun sebelum itu, Allah telah mengilhamkan kepadanya agar berpuasa bicara dan tidak berbicara kepada seorang manusia pun. Menurut Qatadah dan as-Suddi, puasa berbicara ini merupakan salah satu syariat puasa zaman itu dan sudah lumrah bagi kalangan bani Israil.
Ketika Bani Israil ingin bertanya mengenai kondisinya dan anaknya, Maryam memberikan isyarat tangan bahwa ia sedang berpuasa bicara sehingga tidak mungkin menjawab segala pertanyaan dan tuduhan yang dilancarkan kepadanya. Ia juga menunjuk ke arah bayinya yang berada dalam pelukan sebagai isyarat “jika ingin bertanya silakan tanyakan padanya secara langsung.”
Melihat isyarat Maryam yang berpuasa bicara, sebagian masyarakat Israil menjadi marah, sebab hal itu seakan-akan menghina mereka. Salah seorang di antara mereka berkata, “bagaimana mungkin kami akan berbicara kepada anak kecil yang masih dalam ayunan?”
Saat itu juga, atas izin Allah swt, sang bayi ( nabi Isa ) menjawab dan menjelaskan siapa dirinya sekaligus membersihkan nama Maryam dari berbagai tuduhan keji.
(mhy)