Kisah Urwah bin Zubair dan Doa 4 Remaja di Kaki Kakbah yang Terkabul
loading...
A
A
A
Belum lagi tangan seorang ayah ini bersih dari tanah penguburan putranya, salah satu telapak kakinya terluka. Betisnya tiba-tiba membengkak, penyakit semakin menjalar dengan cepatnya.
Kemudian bergegaslah amirul mukminin mendatangkan para tabib dari seluruh negeri untuk mengobati tamunya dan memerintahkan mereka untuk mengobati Urwah dengan cara apa pun.
Namun, para tabib itu sepakat untuk mengamputasi kaki Urwah sampai betis sebelum penyakit menjalar ke seluruh tubuh yang dapat merenggut nyawanya.
Jalan itu harus ditempuh. Tatkala ahli bedah telah datang dengan membawa pisau untuk menyayat daging dan gergaji untuk memotong tulangnya, tabib berkata kepada Urwah, “Sebaiknya kami memberikan minuman yang memabukkan agar Anda tidak merasakan sakitnya diamputasi.”
Akan tetapi Urwah menolak, “Tidak perlu, aku tidak akan menggunakan yang haram demi mendapatkan afiat (kesehatan). Tabib berkata, “Kalau begitu kami akan membius Anda!” beliau menjawab, “Aku tidak mau diambil sebagian dari tubuhku tanpa kurasakan sakitnya agar tidak hilang pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Ketika operasi hendak dimulai, beberapa orang mendekati Urwah, lalu ia bertanya, “Apa yang hendak mereka lakukan?” Lalu dijawab, “Mereka akan memegangi Anda, sebab bisa jadi Anda nanti merasa kesakitan lalu menggerakkan kaki dan itu bisa membahayakan Anda.”
Urwah berkata, “Cegahlah mereka, aku tidak membutuhkannya. Akan kubekali diriku dengan zikir dan tasbih.”
Mulailah Tabib menyayat dagingnya dengan pisau dan tatkala mencapai tulang, diambillah gergaji untuk memotongnya. Sementara itu Urwah tak henti-hentinya mengucapkan, “Laa ilaaha Illa Allah Allahu Akbar”, sang tabib terus melakukan tugasnya dan Urwah juga tetap bertakbir hingga selesai proses amputasi itu.
Setelah itu dituangkanlah minyak yang telah dipanaskan mendidih dan dioleskan dibetis Urwah bin Zubair untuk menghentikan perdarahan dan menutup lukanya. Urwah pingsan untuk beberapa lama dan terhenti membaca ayat-ayat Al-Qur’an di hari itu. Inilah satu-satunya hari di mana ia tidak bisa melakukan kebiasaan yang ia jaga sejak remajanya.
Ketika Urwah tersadar dari pingsannya, ia meminta potongan kakinya. Dibolak-baliknya sambil berkata, “Dia (Allah) yang membimbing aku untuk membawamu di tengah malam ke masjid, Allah Maha Mengetahui bahwa aku tak pernah menggunakannya untuk hal-hal yang haram.”
Kemudian dibacanya syair Ma’an bin Aus:
Tak pernah kuingin tanganku menyentuh yang haram
Tidak juga kakiku membawaku kepada yang haram
Telinga dan pandangan mataku pun demikian
Tidak pula menuntun ke arahnya pandangan dan pikiran
Aku tahu, tiadalah aku ditimpa musibah dalam kehidupan
Melainkan telah menimpa orang sebelumku.
Kejadian tersebut membuat amirul mukminin, Al-Walid bin Abdul Malid sangat terharu. Urwah telah kehilangan putranya, lalu sebelah kakinya. Maka dia berusaha menghibur dan menyabarkan hati tamunya atas musibah yang menimpanya tersebut.
Bersamaan dengan itu, di rumah khalifah datang satu rombongan Bani Abbas yang salah seorang di antaranya buta matanya. Kemudian al-Walid menanyakan sebab musabab kebuataannya.
Di menjawab, “Wahai amirul mukminin, dulu tidak ada seorang pun di kalangan Bani Abbas yang lebih kaya dalam harta dan anak dibanding saya. Saya tinggal bersama keluarga di lembah di tengah kaum saya. Mendadak muncullah air bah yang langsung menelan habis seluruh harta dan keluarga saya. Yang tersisa bagi saya hanyalah seokor unta dan seorang bayi yang baru lahir. Maka saya taruh bayi itu di atas tanah lalu saya kejar onta tadi. Belum seberapa jauh, saya mendengar jerit tangis bayi itu.
Saya menoleh, ternyata kepalanya telah berada di mulut srigala yang telah memangsanya. Saya kembali, tapi tak bisa berbuat apa-apa lagi karena bayi itu telah habis dilalapnya. Lalu serigala itu lari dengan kencangnya. Akhirnya aku kembali mengejar onta liar tadi sampai dapat. Tapi begitu saya mendekat dia menyepak dengan keras hingga hancur wajah saya dan buta kedua mata saya.
Demikianlah saya dapati diri saya kehilangan semua harta dan keluarga dalam sehari semalam saja dan hidup tanpa memiliki penglihatan.”
Kemudian Al-Walid berkata kepada pengawalnya, “Ajaklah orang ini menemui tamu kita Urwah, lalu mintalah agar ia mengisahkan nasibnya agar beliau tahu bahwa ternyata masih ada orang yang ditimpa musibah lebih berat darinya.”
Tatkala beliau diantarkan pulang ke Madinah dan menjumpai keluarganya, Urwah berkata sebelum ditanya, “Janganlah kalian risaukan apa yang kalian lihat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku empat orang anak dan Dia berkehendak mengambil satu. Maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Dia mengambil sedikit dariku dan masih banyak yang ditinggalkan-Nya untukku. Bila Dia menguji sekali, kesehatan yang Dia karuniakan masih lebih banyak dan lama darinya.”
Kemudian bergegaslah amirul mukminin mendatangkan para tabib dari seluruh negeri untuk mengobati tamunya dan memerintahkan mereka untuk mengobati Urwah dengan cara apa pun.
Namun, para tabib itu sepakat untuk mengamputasi kaki Urwah sampai betis sebelum penyakit menjalar ke seluruh tubuh yang dapat merenggut nyawanya.
Jalan itu harus ditempuh. Tatkala ahli bedah telah datang dengan membawa pisau untuk menyayat daging dan gergaji untuk memotong tulangnya, tabib berkata kepada Urwah, “Sebaiknya kami memberikan minuman yang memabukkan agar Anda tidak merasakan sakitnya diamputasi.”
Akan tetapi Urwah menolak, “Tidak perlu, aku tidak akan menggunakan yang haram demi mendapatkan afiat (kesehatan). Tabib berkata, “Kalau begitu kami akan membius Anda!” beliau menjawab, “Aku tidak mau diambil sebagian dari tubuhku tanpa kurasakan sakitnya agar tidak hilang pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Ketika operasi hendak dimulai, beberapa orang mendekati Urwah, lalu ia bertanya, “Apa yang hendak mereka lakukan?” Lalu dijawab, “Mereka akan memegangi Anda, sebab bisa jadi Anda nanti merasa kesakitan lalu menggerakkan kaki dan itu bisa membahayakan Anda.”
Urwah berkata, “Cegahlah mereka, aku tidak membutuhkannya. Akan kubekali diriku dengan zikir dan tasbih.”
Mulailah Tabib menyayat dagingnya dengan pisau dan tatkala mencapai tulang, diambillah gergaji untuk memotongnya. Sementara itu Urwah tak henti-hentinya mengucapkan, “Laa ilaaha Illa Allah Allahu Akbar”, sang tabib terus melakukan tugasnya dan Urwah juga tetap bertakbir hingga selesai proses amputasi itu.
Setelah itu dituangkanlah minyak yang telah dipanaskan mendidih dan dioleskan dibetis Urwah bin Zubair untuk menghentikan perdarahan dan menutup lukanya. Urwah pingsan untuk beberapa lama dan terhenti membaca ayat-ayat Al-Qur’an di hari itu. Inilah satu-satunya hari di mana ia tidak bisa melakukan kebiasaan yang ia jaga sejak remajanya.
Ketika Urwah tersadar dari pingsannya, ia meminta potongan kakinya. Dibolak-baliknya sambil berkata, “Dia (Allah) yang membimbing aku untuk membawamu di tengah malam ke masjid, Allah Maha Mengetahui bahwa aku tak pernah menggunakannya untuk hal-hal yang haram.”
Kemudian dibacanya syair Ma’an bin Aus:
Tak pernah kuingin tanganku menyentuh yang haram
Tidak juga kakiku membawaku kepada yang haram
Telinga dan pandangan mataku pun demikian
Tidak pula menuntun ke arahnya pandangan dan pikiran
Aku tahu, tiadalah aku ditimpa musibah dalam kehidupan
Melainkan telah menimpa orang sebelumku.
Kejadian tersebut membuat amirul mukminin, Al-Walid bin Abdul Malid sangat terharu. Urwah telah kehilangan putranya, lalu sebelah kakinya. Maka dia berusaha menghibur dan menyabarkan hati tamunya atas musibah yang menimpanya tersebut.
Bersamaan dengan itu, di rumah khalifah datang satu rombongan Bani Abbas yang salah seorang di antaranya buta matanya. Kemudian al-Walid menanyakan sebab musabab kebuataannya.
Di menjawab, “Wahai amirul mukminin, dulu tidak ada seorang pun di kalangan Bani Abbas yang lebih kaya dalam harta dan anak dibanding saya. Saya tinggal bersama keluarga di lembah di tengah kaum saya. Mendadak muncullah air bah yang langsung menelan habis seluruh harta dan keluarga saya. Yang tersisa bagi saya hanyalah seokor unta dan seorang bayi yang baru lahir. Maka saya taruh bayi itu di atas tanah lalu saya kejar onta tadi. Belum seberapa jauh, saya mendengar jerit tangis bayi itu.
Saya menoleh, ternyata kepalanya telah berada di mulut srigala yang telah memangsanya. Saya kembali, tapi tak bisa berbuat apa-apa lagi karena bayi itu telah habis dilalapnya. Lalu serigala itu lari dengan kencangnya. Akhirnya aku kembali mengejar onta liar tadi sampai dapat. Tapi begitu saya mendekat dia menyepak dengan keras hingga hancur wajah saya dan buta kedua mata saya.
Demikianlah saya dapati diri saya kehilangan semua harta dan keluarga dalam sehari semalam saja dan hidup tanpa memiliki penglihatan.”
Kemudian Al-Walid berkata kepada pengawalnya, “Ajaklah orang ini menemui tamu kita Urwah, lalu mintalah agar ia mengisahkan nasibnya agar beliau tahu bahwa ternyata masih ada orang yang ditimpa musibah lebih berat darinya.”
Tatkala beliau diantarkan pulang ke Madinah dan menjumpai keluarganya, Urwah berkata sebelum ditanya, “Janganlah kalian risaukan apa yang kalian lihat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku empat orang anak dan Dia berkehendak mengambil satu. Maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Dia mengambil sedikit dariku dan masih banyak yang ditinggalkan-Nya untukku. Bila Dia menguji sekali, kesehatan yang Dia karuniakan masih lebih banyak dan lama darinya.”