Puasa dan Kesehatan Mental
loading...
A
A
A
Prof Abdul Mu'ti
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah
Ramadan adalah bulan di mana manusia diperintahkan untuk memperbanyak berdoa. Allah begitu dekat dan akan mengabulkan pinta hamba-Nya (Qs al-Baqarah [2]: 186). Di antara doa yang makbul adalah doa orang yang tengah berpuasa. Dengan berpuasa dan menunaikan ibadah Ramadan, Insya Allah, iman semakin kuat, hati menjadi tentram, dan hidup menjadi tenang. Itulah kunci kebahagiaan dan kesehatan mental.
Pada hari Kesehatan Dunia 2021, mengambil tema Mental Health In Unequal World (Kesehatan Mental di Dunia yang Timpang). Setelah dua tahun dalam masa pandemi Covid-19, dunia mengalami masalah yang kompleks, salah satunya kesehatan mental. Penyebabnya sangat beragam. Pandemi Covid-19 telah menimbulkan krisis ekonomi. Jutaan orang di dunia hidup dalam kemiskinan, menganggur, sakit, kehilangan keluarga, dan berbagai masalah lainnya. World Health Organization (WHO) melaporkan, selama pandemi 250 juta orang mengalami masalah mental. 800.000 orang mati bunuh diri.
Di Indonesia, jumlah penderita gangguan mental juga sangat tinggi. Data kementerian kesehatan (2018) mencatat di kalangan penduduk berusia di atas 15 tahun terdapat 19 juta orang mengalami gangguan mental-emosional dan 12 juta mengalami depresi. Direktur pencegahan dan masalah kesehatan jiwa dan napa (2016) menyatakan 1 dari 5 (20%) orang Indonesia mengalami gangguan jiwa. Angka bunuh diri juga tinggi. Dalam setahun 1800 orang bunuh diri atau rata-rata lima orang setiap hari. Komposisi paling banyak (47,7%) mereka yang bunuh diri adalah kelompok muda berusia 10-39 tahun.
Selama pandemi Covid-19 angka gangguan jiwa kemungkinan besar meningkat. Tekanan ekonomi, kesehatan, dan masalah-masalah sosial semakin kuat. Selain gangguan kesehatan fisik, gangguan kesehatan mental seperti kesepian, depresi mayor, skizofrenia, ketakutan, kecemasan, obsesi kompulsif, stres, trauma, dan gangguan mental lainnya meningkat. Jumlah dan kemampuan pelayanan kesehatan oleh pemerintah sangat terbatas.
Dalam situasi demikian, seseorang tidak bisa dan tidak seharusnya menggantungkan diri pada orang lain, termasuk pemerintah. Kedekatan dan relasi sosial masyarakat mulai pudar. Kecenderungan egois dan individualisme meningkat. Yang bisa dilakukan adalah melakukan self-healing dan membangun ketahanan mental mandiri melalui agama.
Sesuai dengan tujuannya, agama disyariatkan untuk kebahagiaan hidup umat manusia. Kebahagiaan hidup diraih dengan beribadah, salah satunya ibadah puasa Ramadan. Selama Ramadan manusia beriman diperintah oleh Allah untuk berpuasa dan melaksanakan ibadah lainnya seperti salat Tarawih, tilawah Alquran, memperbanyak sedekah, silaturrahim, dan ibadah lainnya. Puasa mendidik manusia untuk bersabar dalam situasi yang berat: kemelaratan, kesempitan, dan peperangan (Qs. al-Baqarah [2]: 177).
Hadits Nabi menyebutkan: Puasa adalah separuh dari kesabaran. Hakikat puasa adalah menahan diri (al-imsak). Puasa melatih manusia untuk bisa bertahan ketika banyak hal tidak bisa diraih, dinikmati, dan dimiliki. Membaca Alquran bisa mendatangkan ketenangan dan obat bagi jiwa (Qs. Yunus [10]:57).
Membaca Alquran dengan iman dan secara tartil (pelan, penuh penghayatan, dan teratur) akan menggetarkan hati. Memperbanyak salat dan berdoa akan menghadirkan ketenangan dan menumbuhkan harapan. Stres, depresi, dan berbagai gangguan mental terjadi manakala manusia merasa sendiri, hampa, dan tidak ada tempat mengadu. Melalui salat dan doa, manusia bisa menyampaikan semua keluh kesah dan permintaan kepada Allah tanpa ada batas.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah
Ramadan adalah bulan di mana manusia diperintahkan untuk memperbanyak berdoa. Allah begitu dekat dan akan mengabulkan pinta hamba-Nya (Qs al-Baqarah [2]: 186). Di antara doa yang makbul adalah doa orang yang tengah berpuasa. Dengan berpuasa dan menunaikan ibadah Ramadan, Insya Allah, iman semakin kuat, hati menjadi tentram, dan hidup menjadi tenang. Itulah kunci kebahagiaan dan kesehatan mental.
Pada hari Kesehatan Dunia 2021, mengambil tema Mental Health In Unequal World (Kesehatan Mental di Dunia yang Timpang). Setelah dua tahun dalam masa pandemi Covid-19, dunia mengalami masalah yang kompleks, salah satunya kesehatan mental. Penyebabnya sangat beragam. Pandemi Covid-19 telah menimbulkan krisis ekonomi. Jutaan orang di dunia hidup dalam kemiskinan, menganggur, sakit, kehilangan keluarga, dan berbagai masalah lainnya. World Health Organization (WHO) melaporkan, selama pandemi 250 juta orang mengalami masalah mental. 800.000 orang mati bunuh diri.
Di Indonesia, jumlah penderita gangguan mental juga sangat tinggi. Data kementerian kesehatan (2018) mencatat di kalangan penduduk berusia di atas 15 tahun terdapat 19 juta orang mengalami gangguan mental-emosional dan 12 juta mengalami depresi. Direktur pencegahan dan masalah kesehatan jiwa dan napa (2016) menyatakan 1 dari 5 (20%) orang Indonesia mengalami gangguan jiwa. Angka bunuh diri juga tinggi. Dalam setahun 1800 orang bunuh diri atau rata-rata lima orang setiap hari. Komposisi paling banyak (47,7%) mereka yang bunuh diri adalah kelompok muda berusia 10-39 tahun.
Selama pandemi Covid-19 angka gangguan jiwa kemungkinan besar meningkat. Tekanan ekonomi, kesehatan, dan masalah-masalah sosial semakin kuat. Selain gangguan kesehatan fisik, gangguan kesehatan mental seperti kesepian, depresi mayor, skizofrenia, ketakutan, kecemasan, obsesi kompulsif, stres, trauma, dan gangguan mental lainnya meningkat. Jumlah dan kemampuan pelayanan kesehatan oleh pemerintah sangat terbatas.
Dalam situasi demikian, seseorang tidak bisa dan tidak seharusnya menggantungkan diri pada orang lain, termasuk pemerintah. Kedekatan dan relasi sosial masyarakat mulai pudar. Kecenderungan egois dan individualisme meningkat. Yang bisa dilakukan adalah melakukan self-healing dan membangun ketahanan mental mandiri melalui agama.
Sesuai dengan tujuannya, agama disyariatkan untuk kebahagiaan hidup umat manusia. Kebahagiaan hidup diraih dengan beribadah, salah satunya ibadah puasa Ramadan. Selama Ramadan manusia beriman diperintah oleh Allah untuk berpuasa dan melaksanakan ibadah lainnya seperti salat Tarawih, tilawah Alquran, memperbanyak sedekah, silaturrahim, dan ibadah lainnya. Puasa mendidik manusia untuk bersabar dalam situasi yang berat: kemelaratan, kesempitan, dan peperangan (Qs. al-Baqarah [2]: 177).
Hadits Nabi menyebutkan: Puasa adalah separuh dari kesabaran. Hakikat puasa adalah menahan diri (al-imsak). Puasa melatih manusia untuk bisa bertahan ketika banyak hal tidak bisa diraih, dinikmati, dan dimiliki. Membaca Alquran bisa mendatangkan ketenangan dan obat bagi jiwa (Qs. Yunus [10]:57).
Membaca Alquran dengan iman dan secara tartil (pelan, penuh penghayatan, dan teratur) akan menggetarkan hati. Memperbanyak salat dan berdoa akan menghadirkan ketenangan dan menumbuhkan harapan. Stres, depresi, dan berbagai gangguan mental terjadi manakala manusia merasa sendiri, hampa, dan tidak ada tempat mengadu. Melalui salat dan doa, manusia bisa menyampaikan semua keluh kesah dan permintaan kepada Allah tanpa ada batas.
(hdr)